Tim Prabowo Menduga Ada 17,5 Juta DPT Janggal di Pemilu 2019
2019.04.01
Jakarta

Tim Badan Pemenangan Pemilu (BPN) pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengklaim telah menemukan 17,5 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang janggal dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April mendatang.
Mereka pun mengancam akan menempuh jalur hukum, bahkan menggerakkan massa, andaikata Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menanggapi serius laporan terkait DPT yang didaftarkan, Senin, 1 April 2019.
"Pejabat yang berwenang untuk hal ini, kalau mereka tidak melakukan yang sesuai temuan masyarakat, termasuk kami, mereka akan menghadapi gugatan pidana," kata Direktur Komunikasi dan Media BPN Prabowo-Sandiaga, Hasim Djojohadikusumo dalam keterangan pers di Jakarta.
"Ya, mungkin gugatan ke Bareskrim (Badan Reserse dan Kriminal), mungkin ke Interpol, tergantung bagian hukum."
Kejanggalan DPT yang dimaksud Hashim, antara lain, terkait temuan banyaknya calon pemilih lahir pada tanggal yang sama yakni 1 Januari, 1 Juli, dan 31 Desember. Masing-masing berjumlah 2,3 juta, 9,8 juta, dan 5,3 juta.
Adapula calon pemilih di atas 90 tahun sebesar 304 ribu, di bawah 17 tahun sejumlah 20 ribu, dan kartu keluarga yang dinilai manipulatif di Banyuwangi, Jawa Timur sebanyak 41 ribu.
Klaim kejanggalan 17,5 juta ini merupakan "tekanan" terbaru yang disampaikan tim kampanye Prabowo-Sandiaga.
Hal serupa sebelumnya pernah diutarakan juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga yang juga Wakil Ketua Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad Riza Patria kala rapat dengar pendapat antara DPR dan KPU pada 13 Maret lalu.
Ketika itu, Ahmad Riza mengatakan bahwa pemaparan DPT janggal itu bukan bermaksud menyalahkan KPU selaku penyelenggara.
"Saya ingin mengajak kita berpikir positif, karena masalah data ini masalah ini penting dan dari tahun ke tahun," ujarnya kala itu.
Pada September tahun lalu, tim Prabowo-Sandiaga juga sempat menolak penetapan DPT setelah mereka mengklaim menemukan sekitar 25 juta data ganda dalam daftar pemilih sementara yang disusun KPU.
KPU sendiri menetapkan total pemilih dalam pemilihan umum 2019 sebanyak 192 juta orang.
Upaya delegitimasi
Terkait laporan kejanggalan DPT, Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan bahwa sudah mengecek langsung ke Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dan mendapati bahwa data tersebut sebagai perihal wajar.
Menurut Viryan, banyaknya calon pemilih lahir pada tiga tanggal yang sama disebabkan banyaknya warga lupa tanggal dan bulan lahir mereka, sehingga petugas di lapangan yang melakukan pencatatan menyamakan tarikh kelahiran mereka.
"Misalnya ada pemilih yang saat pencatatan kependudukan tidak mengingat tanggal lahir, maka hal seperti itu disamakan tanggal kelahirannya. Ada yang tanggal 1 Januari, 31 Desember, dan 1 Juli," ujar Viryan kepada BeritaBenar.
"Praktek seperti ini juga sudah dilakukan sejak Pemilu 2014."
Sedangkan juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding, menilai pernyataan BPN Prabowo-Sandiaga itu tak ubahnya sebagai upaya untuk mendelegitimasi dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap KPU.
"Seolah-olah KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) itu tidak bersikap netral dalam Pemilu 2019," kata Karding kepada BeritaBenar.
Begitu pula penilaian pengamat politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing yang menyebut pernyataan-pernyataan BPN sebagai siasat membentuk opini bahwa KPU tidak netral dalam menjalankan tugas.
"Menurut saya, wacara politik yang dilempar ke publik tentu memiliki agenda. Bisa jadi salah satunya, mem-framing bahwa KPU tidak netral," pungkas Emrus.
‘People power’
Sementara itu politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga bagian tim kampanye Prabowo-Sandiaga, Amien Rais, dalam kesempatan sama mendesak KPU menuntaskan dugaan kejanggalan yang dilaporkan BPN.
Ia pun mengancam akan mengerahkan massa jikalau laporan tersebut tidak segera diselesaikan.
"Jika DPT dipenuhi ghost voters dan kami punya bukti kecurangan yang sistematik, saya akan mengerahkan massa untuk kumpul di Monas (Monumen Nasional), menggunakan people power," ujarnya.
Pengerahan massa, dinilai Amien sebagai langkah tepat karena Mahkamah Konstitusi (MK) kini sudah tidak bisa lagi dipercaya.
Sesuai regulasi, sengketa Pemilu sejatinya hanya diajukan melalui MK.
Hal ini pernah ditempuh Prabowo Subianto saat kalah dari Joko "Jokowi" Widodo dalam Pemilu 2014.
"Kami tidak percaya MK. Jadi kami harus menyelesaikan masalah on our own," tambah Amien.
Terkait pernyataan Amien, juru bicara MK Fajar Laksono mengaku heran karena Amien merupakan salah seorang tokoh yang mendorong kelahiran MK saat menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
"Pak Amien Rais termasuk turut menggagas dan mengesahkan pembentukan MK dengan segala kewenangannya, termasuk memutus sengketa hasil pemilu," kata Fajar.
"Maka dengan mengatakan bahwa membawa perkara kecurangan Pemilu ke MK tidak ada gunanya, ini yang patut disesalkan."