Rafiq Syamsudin, Tobatnya Perakit Bom Konflik Poso
2017.01.05
Poso

Lelaki 45 tahun itu tampak santai. Sesekali dia tertawa lepas. Dulu, Rafiq Syamsudin sulit ditemui untuk wawancara tentang perannya dalam konflik komunal di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Selain sebagai komandan kelompok bersenjata “jihad” angkatan pertama, dia juga punya peran penting lain. Pria berkulit sawo matang itu mengaku ahli merakit senjata api dan bom sehingga cukup ditakuti pihak lawan.
"Dulu orang sulit bertemu saya. Orang takut, apalagi keseharian saya menenteng senjata dan bom," tegasnya ketika ditemui BeritaBenar di Poso, beberapa waktu lalu.
Konflik komunal di Poso dipicu perkelahian dua pemuda beragama Islam dan Kristen pada akhir 1998 di tengah panasnya suasana pemilihan kepala daerah, yang meluas menjadi perang antaragama. Kerusuhan tersebut juga menarik milisi dari luar Sulawesi untuk datang ke Poso dan ikut berperang dalam konflik yang menewaskan ribuan orang dan membuat ratusan orang mengungsi selama tahun 1998 – 2001.
Konflik berakhir setelah para pihak sepakat untuk menghentikan kekerasan dengan menandatangani Deklarasi Malino di Sulawesi Selatan, tahun 2002. Perdamaian terwujud atas prakarsa Jusuf Kalla, yang waktu itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Masalah keamanan terjadi lagi pada 2010 dengan munculnya kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah.
MIT diklaim bertanggungjawab terhadap pemboman sebuah kantor polisi, serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap polisi dan sejumlah warga Poso, termasuk pemenggalan kepala tiga petani.
Menurut Rafiq, MIT muncul karena ketidakpuasan terhadap penguasa yang dinilai tidak menegakkan hukum dan dendam karena anggota keluarga mereka menjadi korban saat konflik.
“Santoso dan Basri menyimpan dendam begitu dalam kepada aparat penegak hukum karena di mata mereka, aparat berpihak,” kata Rafiq.
"Mereka kemudian diperkuat dukungan dari kelompok bersenjata dari Jawa, Bima, dan daerah lain."
Rafiq mengaku dia tak diajak bergabung dengan MIT padahal Santoso dan Basri cukup dekat dengannya. Tapi, dia memonitor perkembangan kelompok yang kemudian menyatakan dukungan pada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Saat Santoso tewas dalam baku tembak dengan pasukan TNI di pegunungan Tambarana pada 18 Juli 2016, Rafiq mengaku ikut melayat.
Dalam rangka menangkap seluruh anggota MIT, pemerintah telah melancarkan Operasi Camar Maleo pada 2015, dilanjutkan dengan Operasi Tinombala pada 2016 yang masih terus berlanjut.
Anggota MIT yang tadinya berkisar 40 orang sekarang masih tersisa sembilan orang.
Karena dendam
Rafiq mengaku alasannya bergabung dengan kelompok "jihad" saat konflik pecah karena dendam melihat beberapa temannya menjadi korban. Kemampuannya dalam bidang kelistrikan dan perbengkelan digunakan untuk merakit senjata api dan bom.
"Saat itu susah mendapat senjata sementara lawan kita memiliki senjata, akhirnya saya buat sendiri dengan bahan seadanya. Ternyata jadi juga dan bisa dipakai," kenangnya.
Rafiq tak memungkiri konflik komunal di Poso bukan sekadar antarumat beragama, tapi ada kepentingan segelintir orang tidak bertanggungjawab sehingga memicu meluasnya perang.
Rafiq ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri tahun 2004 karena menyimpan bom rakitan dan senjata api beserta ratusan butir amunisi.
Pengadilan menghukumnya dua tahun penjara. Selama dalam tahanan di penjara Poso, dia mengaku menyesali perbuatannya sampai akhirnya bebas, pada 2006.
"Dalam proses menjalani penahanan, semua terasa lain. Seperti dapat hidayah, sehingga saya memutuskan untuk meninggalkan apa yang telah saya buat, termasuk tak mau lagi merakit senjata api dan bom," katanya.
Bukan ancaman
Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Hari Suprapto, menyatakan setelah bebas Rafiq bukan ancaman bagi keamanan di Poso karena diketahui telah “sadar dan fokus kepada ajaran Islam yang sebenarnya”.
"Dulu ada anggapan dia perlu diwaspadai. Tapi Polri tidak lakukan karena memang Rafiq kembali menjadi warga sipil biasa dan tidak bergabung dengan kelompok bersenjata," kata Hari kepada BeritaBenar di Palu, Senin, 2 Januari 2017.
Malah, tambahnya, Rafiq sering digunakan Polri sebagai penghubung dengan keluarga anggota MIT di Poso.
"(Sejak) Operasi Camar sampai Tinombala, Rafiq terlibat membantu Polri dan TNI untuk berhubungan dengan keluarga anggota MIT. Berkat bantuan dia juga ada beberapa DPO (daftar pencarian orang) menyerahkan diri," jelas Hari.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sulteng, Dedy Askari, mengenal Rafiq sebagai sosok terbuka dan suka bergaul. Rafiq aktif di beberapa lembaga swadaya masyarakat yang konsen pada masalah HAM dan perdamaian di Poso.
"Dia terlibat di beberapa program kami di Poso, termasuk mendekati sejumlah keluarga kelompok MIT," kata Dedy.
Subandi, seorang warga Poso mengatakan bahwa Rafiq banyak menghabiskan waktu di rumahnya yang menjadi tempat usaha tempat hiburan karaoke dan stasiun radio.
"Hari-hari dia (Rafiq) di rumah. Kadang di situ dia rapat bersama teman-teman LSM dan lainnya," tutur Subandi yang mengaku kerabat dekat Rafiq.
Rafiq memang sudah berubah. Dia berharap sembilan anggota MIT yang masih bertahan segera menyerahkan diri daripada mati konyol dikejar aparat keamanan yang memperpanjang operasi.
Ia juga meyakini kedamaian di Poso.
"Warga Poso cinta damai. Lihat saja sekarang begitu aman dan terbuka bagi siapa saja yang berkunjung," tutur Rafiq, yang enggan berbicara soal keluarganya.