Raja Belanda Minta Maaf atas Pembantaian Pasca Kemerdekaan Indonesia
2020.03.10
Jakarta

Raja Belanda Willem-Alexander menyampaikan permintaan maaf, Selasa (10/3/2020) atas pembantaian rakyat sipil yang dilakukan tentara negaranya pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dalam pidato di hadapan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam kunjungan kenegaraan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Raja Willem-Alexander mengakui bahwa kekerasan yang dilakukan Belanda saat itu memakan banyak korban jiwa.
“Sejalan dengan pernyataan yang pernah disampaikan Pemerintah sebelumnya, saya ingin mengungkapkan penyesalan dan meminta maaf atas kekerasan yang berlebihan dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu (setelah Proklamasi 17 Agustus 1945),” kata Willem-Alexander yang ditemani istrinya Ratu Maxima.
“Pernyataan ini saya buat dengan kesadaran penuh bahwa rasa sakit dan kesedihan keluarga korban penjajahan masih terus dirasakan hingga hari ini,” tambahnya.
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan setelah Jepang angkat kaki karena kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Pasukan Sekutu.
Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia melalui seremonial penyerahan di Istana Dam di Amsterdam usai agenda Konferensi Meja Bundar, 27 Desember 1949.
Baru pada tahun 2005, Belanda mengakui bahwa kemerdekana Indonesia adalah pada 17 Agustus 1945, melalui pernyataan Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Ben Bot.
“Pemerintah Belanda telah mengakui secara politik maupun moral sejak 15 tahun lalu. Kami juga mengucapkan selamat pada Indonesia yang merayakan 75 tahun kemerdekaannya, 17 Agustus nanti,” kata Raja Willem, seraya berharap kunjungannya ini bisa menjadi tanda bahwa negara yang berlawanan dapat tumbuh bersama.
“Hari ini Raja menyampaikan pengakuan secara politik dan moral. Dan ada satu elemen yang baru yaitu beliau menyampaikan penyesalan dan maaf atas kekerasan yang terjadi dari pihak Belanda. Saya kira itu cukup jelas dan tidak perlu dijelaskan lebih lanjut,” kata Menteri Luar Negeri RI, Retno LP Marsudi.
Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi mengajak Belanda untuk membangun hubungan bilateral yang berdasarkan pada penghormatan terhadap kedaulatan atas hubungan yang setara dan menguntungkan.
“Kita tentu tidak dapat menghapus sejarah, namun kita dapat belajar dari masa lalu. Kita jadikan sejarah tersebut untuk meneguhkan komitmen kita membangun sebuah hubungan yang setara, yang saling menghormati dan saling menguntungkan,” kata Jokowi.
Pada kesempatan tersebut, Pemerintah Belanda juga mengembalikan keris milik pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro, kepada Indonesia.
Melansir situs resmi pemerintah Belanda, Senin (9/3/2020), keris berwarna hitam dengan ukiran berlapis emas itu sempat dikabarkan hilang pada tahun 1883 dan baru diumumkan penemuannya setelah proses identifikasi yang dilakukan peneliti Museum Volkenkunde, Leiden, pada 3 Maret 2020.
Permintaan maaf dan kompensasi
Permintaan maaf kepada Indonesia itu untuk pertama kalinya dilakukan oleh anggota kerajaan Belanda, setelah pemerintah Den Hague menyatakan penyesalan serupa tahun 2013.
Permintaan maaf tersebut dilakukan setelah para janda korban kekerasan pembantaian militer Belanda mengadukan pemerintah negara itu ke pengadilan.
Duta Besar Belanda untuk Indonesia saat itu, Tjeerd de Zwaan meminta maaf secara resmi atas pembantaian yang dilakukan militer Belanda di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat antara 1946 – 1947.
Sejumlah catatan sejarah menyebut 1.500 hingga 40.000 orang tewas dalam pembantaian Belanda di Sulawesi Selatan di bawah komando Raymond Pierre Paul Westerling dan nyaris 500 orang tewas dalam insiden Rawagede di Jawa Barat.
Permintaan maaf itu menjadi simbol yang pertama setelah Pengadilan Distrik Den Haag memutuskan Belanda bersalah karena melakukan eksekusi massal Rawagede tahun 1947.
Pengadilan juga memutuskan Belanda wajib membayar ganti rugi sesuai dengan hukum atas penganiayaan yang dilakukan. Setelah putusan itu, Pemerintah Belanda membentuk skema reparasi untuk korban perang kemerdekaan pada tahun 1945-1950.
Belanda lalu membayarkan ganti rugi kepada sembilan keluarga korban pembantaian Rawagede, masing-masing 20.000 euro atau saat itu setara Rp243 juta.
“Tuntutan atas ganti rugi untuk keluarga korban masih bisa diajukan. Ini seperti kita menuntut polisi yang melakukan kekerasan berlebihan, bentuknya kompensasi ganti rugi,” kata Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana.
Kerja sama bilateral
Dalam pertemuan Raja Willem dan Presiden Jokowi juga disepakati kerja sama bilateral di sektor bisnis dengan nilai mencapai US $1 miliar atau setara Rp14,3 triliun.
Beberapa kerja sama itu meliputi produksi kelapa sawit berkelanjutan, pengembangan sumber daya manusia, serta pengelolaan dalam pengendalian penyakit menular.
“Di kawasan Eropa, Belanda adalah mitra dagang Indonesia terbesar kedua, mitra investasi terbesar pertama dan mitra pariwisata terbesar keempat,” kata Jokowi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2018, Belanda masuk sebagai tiga negara tujuan ekspor sawit terbesar Indonesia, dengan nilai mencapai US $711,62 miliar. Sebaliknya, nilai impor produk Belanda ke Indonesia pada periode tahun yang sama hanya mencapai US $1,23 miliar.
Kecelakaan maut
Persiapan kunjungan pasangan kerajaan Belanda ke Palangkaraya diwarnai kecelakaan hari Senin yang melibatkan dua kapal cepat di sungai Palangkaraya yang menewaskan tujuh orang, termasuk komandan Kodim Kuala Kapuas, Letkol Bambang Kristianto Bawono.
Dua puluh orang berhasil diselamatkan.
Kecelakaan terjadi saat survey lokasi yang akan dikunjungi Raja Willem dan Ratu Maxima di Kalimantan Tengah.
Raja dan Ratu Belanda dijadualkan untuk berkunjung ke sana untuk mendiskusikan konservasi hutan tropis di Kalimantan, Rabu.
"Kami turut duka cita mendalam atas kecelakaan kapal tragis kemarin di Sungai Sebangau,” kata Raja Willem, “pikiran kami bersama keluarga para korban dan mereka yang terluka.”