Harga Mahal Reformasi Jangan Diabaikan: Mantan Aktivis
2015.05.21

Aktivis mengingatkan setiap warga negara Indonesia (WNI) untuk menghargai demokrasi yang telah dibayar mahal.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengakomodasi suara mahasiswa dengan memberikan kesempatan untuk menyampaikannya secara damai dan terbuka di Istana Negara.
“Harga demokrasi di Indonesia dibayar dengan mahal harganya. Telah dibayar dengan darah dan air mata, karena itu seharusnya kita menghargainya dengan melakukan yang terbaik untuk Indonesia,” kata Budiman Sujadmiko, mantan aktivis dari Universitas Gajah Mada yang telah menuntut lengsernya Suharto sejak 4 tahun sebelum pengunduran diri Suharto.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," kata Presiden Suharto 17 tahun lalu.
Pengumuman tersebut disambut dengan sorak-sorai, tangis dan jeritan keras masyarakat luas ketika itu.
Masyarakat haus akan perubahan setelah 32 tahun lamanya berada dalam represi otoritarian Orde Baru dan keterpurukan ekonomi yang melanda ketika itu.
“Saya hanya bisa mendengar pengunduran resmi Presiden Suharto lewat radio. Saya meringkuk di penjara Salemba,” kata Budiman.
Ia mengatakan akhirnya dibebaskan dari penjara setelah B.J. Habibie menjabat sebagai presiden. Sebelumnya Budiman mengaku diletakkan di dalam satu penjara dengan Xanana Gusmao, pemimpin gerakan pro-kemerdekaan Timor Timur yang pernah menjabat sebagai Presiden Timor Leste.
“Saya divonis 13 dalam penjara oleh Orde Baru. Tetapi dibebaskan tanpa syarat setelah Presiden Habibie menjabat,” katanya lanjut sambil menambahkan bahwa ia dibebaskan tanggal 10 Desember 1999 setelah setahun lebih dipenjara.
Tuntutan Mahasiswa
Tujuh belas tahun menjelang reformasi juga ditandai dengan tuntutan mahaiswa.
Untuk mencegah kemungkinan kerusuhan, Presiden Jokowi mengundang perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari seluruh universitas di Indonesia ke Istana.
“Tujuannya agar beliau [Presiden] bisa mendengarkan keluhan, tuntutan dan aspirasi dalam menanggapi isu nasional terkini,” kata Ketua BEM Universitas Indonesia Andi Aulia Rahman.
Salah satu tuntutan adalah menjamin harga BBM maksimum.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan juga melakukan orasi di tengah mahasiswa yang sedang melakukan aksi unjuk rasa, di Istana Merdeka, tanggal 21 Mei.
Ratusan Mahasiswa melakukan protes tanggal 20 bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional. Selain tiga permohonan yang disampaikan, mahasiswa yang beroposisi juga meminta Presiden Jokowi lengser.
Kritikan berlanjut terhadap hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi bagi terdakwa narkoba.
“Jokowi pecundang,” kata salah satu demonstran.
Pemerintah mengerahkan 7000 personel TNI dan kepolisian untuk mengawal demonstrasi.
Bersama dengan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto dan beberapa staf kenegaraan, Luhut menyerukan “Hidup Mahasiswa!” dengan lantang.
Luhut menyampaikan kepada demonstran bahwa Presiden Jokowi telah sepakat untuk mendengar tuntutan mahasiswa.
"Diskusinya itu berjalan dengan baik, alot, dan menyatu. Teman-teman kalian itu punya pemikiran-pemikiran yang matang dan perlu diapresiasi," katanya.
Rasa tidak puas disampaikan oleh beberapa demonstran.
“Pejabat turun tahta hanya untuk meredakan demo menjadi ciri pemerintahan Jokowi. Tetapi apakah kita akan melihat realisasinya?” kata Bustiono Saputra, dari Universitas Trisakti yang ikut dalam demonstrasi tersebut.
Bustiono mengingatkan bahwa pada hari Buruh tanggal 1 Mei lalu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri turun berdemo bersama dengan kaum buruh, tetapi setelah itu “sepi tak ada realisasi,” katanya lanjut.
Luhut dalam orasinya mengatakan dialog adalah kunci mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia.
"Komunikasi harus dilakukan dengan santun. Masa depan negara ini ada di tangan kalian…tapi jangan jadi bangsa pecundang," lanjut Luhut.
“Saya harap pemerintahan sekarang tidak akan mengingkari janji seperti ketika jaman Suharto,” kata Bustiono.
Wajah Indonesia setelah 17 tahun reformasi
Ketika ditanya tentang wajah Indonesia setelah 17 tahun reformasi, Budiman, mantan aktivis, mengatakan bahwa terlalu dini untuk mengatakan “puas” dengan hasil yang dicapai.
“Kita tentunya telah mencapai beberapa hal dengan berhasil termasuk kebebasan pers, pembangunan, peningkatan kesejahteraan dan pendidikan, tetapi juga masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,” katanya sambil mengingatkan semakin merosotnya ekonomi Indonesia, termasuk pengadilan untuk pelanggar hak asasi manusia (HAM) yang diwarisi dari Orde Baru sampai sekarang belum diselesaikan.
Budiman yang sekarang menjabat sebagai politisi PDI-P di DPR merasakn kemajuan setelah reformasi.
“Saya tidak menyesal dengan perjuangan kami [aktivis] untuk mencapai titik sekarang ini,” katanya.
Ia menambahkan jika masyarakat belum puas dengan arah Indonesia sekarang, harus menunggu sampai pemilu berikutnya.
“Demo boleh-boleh saja, tetapi kalau minta turunkan Jokowi, ya tunggu pemilu. Itu bagian dari demokrasi," lanjut Budiman.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang juga membuat draft pengunduran diri Suharto menyatakan kita harus melihat titik reformasi untuk terus melangkah maju.
“Kita tidak seharusnya puas. Masih ada banyak hal yang harus diperjuangankan,” katanya kepada BeritaBenar.