Studi: Reformasi kepolisian Indonesia terhenti, “budaya kekerasan” berlanjut
2024.10.09
Jakarta

Hampir seperempat abad sejak transisi Indonesia menuju demokrasi, lembaga kepolisian, yang dulunya merupakan instrumen otoriterisme, masih dibebani "budaya kekerasan" dan minimnya akuntabilitas, demikian laporan SETARA Institute yang dirilis pada Rabu (9/10).
Sementara, revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yang tujuannya untuk mereformasi kepolisian, justru akan memperburuk institusi ini, kata para kritikus. Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri itu dinilai hanya memperluas kewenangan polisi tanpa memberi kewenangan kepada lembaga pengawas Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Studi berjudul "Desain Transformasi Polri untuk Mendukung Visi Indonesia 2045" ini mengidentifikasi 130 masalah yang menghambat transformasi Polri, termasuk lemahnya penegakan hukum, keterbatasan integritas, pelayanan publik yang tidak responsif, dan kurangnya transformasi kelembagaan.
“Masalah ini menjadi hambatan reformasi Polri sehingga saat ini reformasi Polri tidak menunjukkan perubahan signifikan,” ujar tim peneliti dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie.
“Polisi harus menjadi lebih demokratis dan akuntabel. Jika mereka gagal melakukan reformasi, hal itu dapat memengaruhi kemajuan Indonesia menuju demokrasi,” kata Ismail Hasani, salah satu penulis laporan SETARA.
Kajian lembaga advokasi hak asasi manusia (HAM) itu mencantumkan sejumlah pelanggaran serius, termasuk kasus penyiksaan yang menyebabkan kematian tahanan, pemaksaan pengakuan, dan pemalsuan tanda tangan. Masalah lain yang meresahkan adalah penangkapan paksa tanpa surat perintah resmi, pemerasan, dan penggeledahan yang tidak sah.
Di sisi lain, akuntabilitas dan transparansi dalam kepolisian sangat kurang, demikian hasil studi itu.
Penelitian yang dilakukan pada 1-5 Juni 2024, melibatkan wawancara mendalam dengan 167 pakar di 50 kota dan desa, serta tinjauan literatur.
Upaya reformasi dimulai setelah pemisahan kepolisian dari militer pada tahun 2000, dua tahun setelah jatuhnya Presiden Suharto setelah 32 tahun berkuasa. Langkah tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mendemokratisasi lembaga itu. Namun, reformasi berjalan serampangan, kata laporan itu.
"Meskipun terjadi perubahan sporadis seperti modernisasi layanan publik, Polri masih menghadapi tantangan sistematis dalam berkontribusi pada penguatan ketahanan dan tata kelola nasional," demikian kajian SETARA.
Meskipun laporan tersebut mengakui beberapa kemajuan, seperti dalam digitalisasi layanan publik, masalah terus berlanjut, termasuk persepsi bahwa keadilan hanya ditegakkan ketika kasus-kasus menjadi viral di internet.
Masyarakat Indonesia sangat tidak percaya pada kemauan polisi untuk menangani pengaduan secara efektif.
Menurut penelitian tersebut, 61,7% ahli yang disurvei menilai kinerja kepolisian buruk, sementara hanya 16,8% yang memandangnya positif.
“Ini memicu frustrasi masyarakat yang diungkapkan melalui media sosial, seperti munculnya beragam tagline mengenai Polri oleh masyarakat, di antaranya #percumalaporpolisi dan #noviralnojustice,” kata Yosarie.
Laporan SETARA mendesak polisi untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan bagi polisi. Organisasi advokasi HAM lainnya, KontraS, melaporkan 654 insiden kekerasan oleh polisi antara Juli 2023 dan Juni 2024, yang mengakibatkan 37 kematian.
Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya 58 kasus penangkapan sewenang-wenang oleh polisi yang melibatkan 412 aktivis HAM antara tahun 2019 - 2023.
RUU kontradiktif?
Sementara itu, kelompok HAM dan pakar hukum mengkritik RUU Polri yang mengusulkan perubahan terhadap undang-undang Kepolisian yang diterbitkan pada 2002.
Mereka mengatakan bahwa RUU tersebut yang saat ini sedang dibahas di parlemen, memperluas kewenangan polisi di bidang seperti pengumpulan data intelijen, pengawasan daring, dan penyadapan.
RUU tersebut tidak mengatasi masalah kekerasan dan akuntabilitas polisi yang ada, kata para kritikus. Sebaliknya, perubahan tersebut mengusulkan pemberian kewenangan yang terlalu luas kepada polisi, khususnya di ranah digital, yang memungkinkan polisi untuk mengendalikan ruang daring, termasuk kewenangan untuk menghapus konten, memblokir situs web, dan memperlambat akses internet atas nama keamanan nasional.
Kepercayaan publik terhadap polisi juga tercoreng dalam kaitannya dengan operasi internal kepolisian.
Sejumlah kasus dalam beberapa tahun belakangan ini telah membuat kepercayaan publik terhadap Polri menurun, antara lain kasus pembunuhan oleh mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Jenderal Polisi Ferdy Sambo, kasus tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang dan kasus Kapolda Teddy Minahasa terlibat narkoba.
Kombes Polisi Benny Iskandar, kepala Divisi Kebijakan Umum di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, mengakui masalah-masalah yang diidentifikasi dalam laporan SETARA, dengan menyebut keterbatasan personel dan keterbatasan anggaran sebagai hambatan utama dalam mencapai tujuan reformasi.
“130 masalah itu banyak, mungkin akan dibagi per lima tahun ke depan target mana yang akan diselesaikan terlebih dahulu,” kata Benny dalam diskusi.
“Target kita pada tahun 2045 adalah setidaknya setara dengan institusi kelas dunia.”
Angel Damayanti, analis keamanan di Universitas Kristen Indonesia, mengatakan Polri membutuhkan reformasi dalam tiga bidang utama – personel, struktur kelembagaan, dan hubungan antarlembaga.
“Polri memiliki kewenangan yang sangat luas tetapi sumber daya manusianya sangat terbatas, sehingga sulit untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut,” katanya.
“Saya berharap pada tahun 2045, Polri telah mengatasi pergumulan internalnya dan lebih siap untuk menangani tantangan eksternal.”