Proyek Reklamasi Teluk Jakarta Kembali Dilanjutkan
2016.09.22
Jakarta

Tak lama setelah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman memberi lampu hijau kelanjutan proyek reklamasi pada 13 September lalu, aktivitas pembangunan beberapa pulau buatan di Teluk Jakarta kembali berlangsung.
Sejumlah alat berat dan truk berseliweran di atas Pulau C dan D yang dikembangkan PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Saepudin, seorang nelayan Muara Angke mengatakan, aktivitas pembangunan di kedua pulau itu kembali bergeliat sejak akhir pekan lalu.
"Makin ramai (aktivitasnya)," katanya kepada BeritaBenar, Kamis, 22 September 2016. "Sebelumnya sempat sepi meski penjagaan tetap ketat. Nelayan tak dibolehkan mendekat."
Pulau C dan D yang direncanakan seluas 276 hektare dan 312 hektare berjarak sekitar 100 meter dari kawasan elit Pantai Indah Kapuk.
Oleh pengembang, kedua pulau itu diproyeksikan menjadi kawasan pemukiman, tempat rekreasi, kawasan komersil, dan pertokoan dan terintegrasi dengan Pantai Indah Kapuk.
Hal sama dituturkan nelayan lain, Suhali. "Pulau C dan D itu langsung aktif membangun," katanya.
Kondisi itu, lanjutnya, berbeda dibanding kondisi pulau-pulau lain. Ia mencontohkan aktivitas pembangunan Pulau G yang dikembangkan PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land.
Sejak keputusan melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta, belum tampak kembali aktivitas pembangunan di pulau buatan yang direncanakan 160 hektare itu.
Menunggu ketetapan pemerintah
PT Agung Podomoro Land ketika dikofirmasi BeritaBenar menyatakan masih menunggu ketetapan pemerintah, sebelum melanjutkan kembali reklamasi Pulau G.
"Kami pelajari prasyarat teknis apa saja yang diminta," ungkap Sekretaris PT Agung Podomoro Land, Justini Omas. “Kami ingin mengikuti ketetapan pemerintah untuk kelanjutan Pulau G."
Kelanjutan reklamasi diputuskan Kementerian Kemaritiman setelah menggelar rapat dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Perusahaan Listrik Negara, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang menetapkan proyek ini layak dilanjutkan karena banyak manfaat.
Dalam pernyataan 13 September lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, proyek ini bisa mencegah penurunan tanah Jakarta dan mencegah banjir air laut.
"Setiap tahun, Jakarta itu turun 7,5 cm," ujarnya.
Perihal pembangunan yang menghalangi aliran air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Luhut menyebut bisa selesai dengan rekayasa teknis.
PLTGU yang memang mengandalkan arus laut Teluk Jakarta dalam proses pendinginan mesin, terletak di kawasan Muara Karang, Pluit, yang berseberangan dengan Pulau G dan H.
"Itu bisa dikaji dan direkayasa," kata Luhut. "Jadi, tak ada alasan untuk tidak melanjutkan reklamasi."
Sempat dihentikan
Menghambat operasi pembangkit listrik Muara Karang itulah yang menjadi salah satu alasan reklamasi dihentikan pemerintah lewat Menteri Koordiantor Kemaritiman yang saat itu dijabat Rizal Ramli, pada 30 Juni lalu.
Proyek itu juga dinilai mengganggu biota laut, jalur kapal, dan aktivitas nelayan yang menggantungkan hidup dengan mencari ikan di Teluk Jakarta.
Terkait dampak buruk bagi aktivitas nelayan dan masyarakat lokal itu, Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta telah memutuskan supaya proyek reklamasi, khususnya Pulau G, dihentikan.
Keputusan pada 31 Mei lalu diambil menyusul gugatan yang didaftarkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Muara Angke.
Soal sikap Luhut yang menganulir keputusan yang pernah ia buat, Rizal Ramli terlihat enggan berpolemik.
"Silakan tanya Pak Luhut (Panjaitan) saja," katanya saat ditanya BeritaBenar. "Saya tak mau berkomentar apa-apa."
Menuai protes
Keputusan melanjutkan reklamasi ini menuai rangkaian protes dari para nelayan dan aktivis lingkungan. Sejak Luhut mengatakan proyek reklamasi dilanjutkan, tercatat dua kali unjuk rasa penolakan terjadi di depan kantor Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Unjuk rasa terakhir terjadi Senin lalu, yang melibatkan sekitar seratus orang; gabungan dari nelayan, aktivis lingkungan, dan mahasiswa. Selain berorasi mengecam keputusan Menteri Luhut, mereka juga membawa spanduk dan ikan.
Protes membawa ikan itu, menurut salah seorang nelayan bernama Ilyas, adalah wujud sindiran kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang sempat mengatakan bahwa Teluk Jakarta telah tercemar dan tak lagi ditinggali ikan.
"Kami siap membakar kapal nelayan sebagai bentuk perlawanan," kata seorang aktivis nelayan dalam aksinya.
Konsep era Soeharto
Reklamasi Teluk Jakarta adalah rencana yang telah ada sejak zaman Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1995 tentang reklamasi.
Keputusan itulah yang dijadikan dasar hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menerbitkan izin 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta memberi pengembangan ke-17 pulau yang ditaksir berbiaya total sekitar Rp500 triliun kepada delapan pengembang.
Ahok mengatakan bahwa reklamasi diperlukan untuk menjawab permasalahan kondisi tanah yang semakin menurun dan naiknya air permukaan laut.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung, April lalu mengatakan proyek reklamasi ini adalah bagian dari program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), yang memuat pembangunan tanggul raksasa berbentuk garuda di sepanjang pesisir Jakarta, untuk menjaga banjir air laut dan untuk mengurangi penurunan tanah.
Proyek ini ditentang berbagai kalangan termasuk kelompok pecinta lingkungan Walhi, yang mengatakan reklamasi tidak membantu pencegahan penurunan tanah, melainkan akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Para pengecam reklamasi juga mengklaim bahwa proyek ini hanya akan menguntungkan para pengembang dan masyarakat kelas atas dan bukan semua warga.