Dapat Remisi, Keponakan Ba’asyir Bebas Lebih Cepat

Noeim Ba'asyir sejatinya menjalani penjara enam tahun setelah terbukti menyembunyikan senjata api dan bahan peledak miliki jaringan Alqaeda Indonesia.
Arie Firdaus
2019.02.19
Jakarta
190219_ID_Remisi_1000.jpg Noeim Ba’asyir menunjukkan surat keterangan pembebasan sesaat sebelum meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan Tulungagung di Jawa Timur, 19 Februari 2019.
Eko Widianto/BeritaBenar

Setelah mendapatkan sejumlah remisi, narapidana terorisme yang juga keponakan Abu Bakar Ba’asyir, Noeim Baasyir, Selasa, 19 Februari 2019, menghirup udara bebas lebih cepat dari masa hukuman.

Noeim (45) mendekam sekitar lima tahun di penjara, atau lebih sedikit dari vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Mei 2014 lalu yang menghukumnya enam tahun penjara setelah dianggap terbukti menyembunyikan senjata api, lima butir peluru, dan 25 kilogram potasium milik kelompok Alqaeda Indonesia pimpinan Badri Hartono.

Badri sendiri dikenai hukuman 10 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Juni 2013.

"Betul (bebas), kini dibawa ke Solo," ungkap Hasyim, staf keluarga Abu Bakar Ba’asyir kepada BeritaBenar, Selasa.

Namun Hasyim tak merinci kondisi Noeim dan apa yang akan dilakukannya selepas lepas dari penjara.

"Saya belum tahu," tuturnya.

Noeim dikutip dari kantor berita Antara, sesaat sebelum meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan (LP) IIB Tulungagung, Jawa Timur, --tempat dia ditahan sejak pertengahan 2017, sempat mengatakan ingin berfokus mengurus keluarga selepas bebas.

Tatkala ditanya apakah ia bakal merealisasikan rencana mendirikan pondok pesantren, dia menukas singkat, "Insya Allah."

Menolak deradikalisasi

Noeim meninggalkan kompleks LP sekitar pukul 09.00 WIB, mengenakan kaos berwarna cokelat.

Dibungkus peci hitam, rambutnya yang dicat dibiarkan tergerai hingga menutup pundak.

Wajahnya semringah, terus-terusan menebar senyum di balik cambang dan jenggotnya yang berwarna senada.

Dia bahkan menunjukkan surat keterangan pembebasannya kepada wartawan.

Sebelum berlalu, ia sempat ditanya perihal komitmen dan kesetian kepada Indonesia, Noeim menjawab singkat, “Saya orang Indonesia.”

"Semua sudah saya sampaikan ke bagian pembinaan. Silakan tanya langsung ke bagian pembinaan dan pendidikan LP."

Tetapi, Kepala LP IIB Tulungagung, Erry Taruna, tak merinci remisi yang didapat Noeim sehingga dapat keluar lebih cepat dari penjara.

Ia hanya mengatakan selama mendekam di LP tersebut, Noeim tergolong berkelakuan baik, kendati menolak kegiatan pembinaan dan deradikalisasi.

"Ia, misalnya, tidak mau mengikuti kegiatan pembinaan rohani yang kami adakan. Juga tidak mau salat Jumat," ujar Erry kepada wartawan.

Sebelum mendekam di LP IIB Tulungagung, Noeim memang sempat beberapa kali berpindah tahanan.

Pada mulanya, ia ditahan di LP Kelas IIA Pamekasan Madura, Jawa Timur.

Tetapi kemudian ia dipindahkan ke LP Kelas IIB Tuban pada Juli 2016, setelah ia mengamuk karena permintaannya agar LP Kelas IIA Pamekasan tempatnya ditahan itu menyediakan bilik asmara, atau ruangan untuk menyalurkan kebutuhan biologis bagi para napi yang telah beristri atau bersuami, tidak dipenuhi pihak penjara.

I Wayan Dusak selaku Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukun dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) saat itu mengatakan bahwa sesuai aturan, LP memang tidak menyediakan bilik asmara untuk narapidana kasus terorisme dan narkotika.

Setahun di Tuban, Noeim kemudian meminta dipindah ke LP Kelas IIB Tulungagung dengan alasan ingin menenangkan diri, sampai akhirnya bebas.

Dicurigai kelompok sendiri

Tidak ada tanggapan dari Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris, terkait  narapidana terorisme yang bebas tanpa mengikuti program deradikalisasi, semisal Noeim.

Telepon dan pesan singkat BeritaBenar tak beroleh balasan.

Namun tahun lalu, Irfan Idris sempat mengatakan bahwa pihaknya memang tidak dapat memaksakan jika ada narapidana yang menolak program deradikalisasi yang digelar BNPT.

"Itu masih menjadi kendala," kata Irfan.

Ihwal ini pun diakui Kepala BNPT Suhardi Alius saat rapat dengar pendapat dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Januari lalu.

"Orang-orang yang hardcore itu memang tidak mau melaksanakan program deradikalisasi," ujar Suhardi.

Pengamat terorisme dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Adhe Bhakti menambahkan, narapidana kasus terorisme yang bebas tanpa mengikuti program deradikalisasi tetap harus diwaspadai.

Meski khusus untuk Noeim, ditambahkan Adhe, pengaruhnya bisa dikatakan tidak besar.

"Bahkan sebagian ikhwan ada yang curiga dia antek thogut," kata Adhe.

Sebelum dipenjara, ujar Adhe, peran Noeim sebenarnya juga tidak begitu menonjol di kalangan kelompok radikal.

Adhe pun menyebut bahwa sejatinya Noeim tak terkait jaringan Alqaeda, meski dijerat pasal menyembunyikan senjata api dan bahan peledak milik anggota kelompok tersebut.

“Bukan anggota kelompok Badri (Alqaeda). Hanya ada kenal, jadi ketika dititipi, dia mau saja,” tambah Adhe.

Noeim ditangkap pada 14 Mei 2013, pada pukul 17.00 WIB di tempat tinggalnya di Jalan Kenong Nomor 43 Kampung Padangan, Serengan, Solo, Jawa Tengah.

"Ia termasuk labil, sering marah-marah dan bikin keributan. Terutama setelah jatah ‘kamar biologis’ ditiadakan. Itu mungkin yang membuat dia kemudian cukup 'terpandang'," pungkas Adhe.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.