Aktivis Kecam Rencana Pengiriman Kembali TKI ke Timur Tengah
2018.06.05
Jakarta

Rencana pemerintah mencabut larangan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah dengan kembali mengirimkan sekitar 30,000 TKI ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, menuai kecaman dari pegiat pekerja migran.
“Kami mengecam karena landasan hukum tidak jelas. Terlalu beresiko mengirimkan TKI sebanyak itu tanpa ada landasan hukum, bisa menambah masalah,” kata Koordinator Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran, Savitri Wisnuwardani kepada BeritaBenar, Selasa, 5 Juni 2018.
Dia menambahkan sejak disahkan UU No 18/2017 tentang pelindungan Pekerja Migran Indonesia pada 22 November 2017, peraturan turunan belum jelas.
“Masyarakat sipil belum dilibatkan dalam proses pembahasan peraturan turunan. Kami merasa buruh migran tetap sebagai objek bukan subjek karena tidak dilibatkan,” kata Savitri.
Pada tahun 2015, menanggapi berbagai kasus kekerasan yang dialami TKI di Timur Tengah dan dengan dieksekusinya dua TKI oleh pemerintah Arab Saudi pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia memberlakukan larangan pengiriman TKI ke 21 negara di Timur Tengah.
Data BNP2TKI menunjukkan terdapat 809 kasus pekerja migran yang bekerja di Arab Saudi. Jumlah itu turun dibandingkan tahun 2016 dengan jumlah 1.145 kasus pekerja migran yang bekerja di Arab Saudi.
Meski turun, kasusnya tetap banyak padahal pengiriman pekerja migran distop. Data mencatat selama bulan Januari-Mei 2018 terdapat 225 kasus.
“Artinya setiap bulan sekitar 38 pengaduan yang masuk,” katanya.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo minta pemerintah agar mengkaji ulang rencana tersebut mengingat banyaknya kasus pelanggaran HAM yang menimpa buruh migran.
“Yang harus disiapkan adalah kesiapan tata kelola migrasi di bawah UU baru,” katanya.
Menurutnya, pemerintah juga harus memikirkan ulang tujuan penempatan TKI karena desakan Indonesia kepada Arab Saudi untuk melakukan perbaikan tidak ada perubahan signifikan.
Ia menambahkan, penempatan TKI ke Timur Tengah belum memenuhi syarat seperti disebut dalam UU baru karena hampir semua negara belum ada bilateral agreement (MoU) dengan buruh migran.
Negara tujuan
Beberapa waktu lalu, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid, mengatakan pemerintah berencana mengirim 30 ribu pekerja rumah tangga (PRT) ke Arab Saudi dan Qatar.
Menanggapi hal itu, Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Soes Hindharno menjelaskan ada tiga negara yang intens meminta Indonesia untuk membuka kembali pengiriman TKI.
“Tiga negara tersebut antara lain Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar. Mereka beritikad untuk memperbaiki perlindungan buruh migran demi mendapatkan kuota buruh migran Indnesia,” katanya kepada wartawan.
Ia mengaku, meskipun pemerintah telah melarang pengiriman TKI ke Timur Tengah tapi masih ada TKI illegal yang berangkat ke sejumlah negara di Timur Tengah.
Menurut data Migrant Care, sekitar 2.000 pekerja informal telah berangkat ke Timur Tengah selama 2015-2016.
Dirjen Imigrasi merilis telah menggagalkan sebanyak 1.500 TKI ilegal ke sejumlah negara terutama ke negara-negara Timur Tengah, tahun lalu.
Soes mengharapkan pada September atau akhir tahun 2018 semua pembahasan bisa disepakati bersama sehingga pengiriman TKI bisa dilakukan.
“Masa percobaan dulu kalau memang gagal akan dicabut kembali dan Kepmen 260/2015 masih ada dan tetap berlaku,” katanya.
Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan MoU dengan Arab Saudi tidak pernah berlaku karena syaratnya bahwa Indonesia akan mulai proses ratifikasi jika Saudi sudah meratifikasi.
“Karena Saudi saat itu belum ratifikasi, Indonesia juga tak ratifikasi. Kalau dipersiapkan dengan baik harusnya bisa mengurangi permasalahan TKI. Tapi jika tidak dipersiapkan dengan baik justru menambah permasalahan," katanya.
Dalam konsep awal pilot project, Iqbal menambahkan TKI akan diberikan pelatihan yang lebih baik dan sesuai kebutuhan sehingga nanti dapat bekerja sesuai harapan pengguna dan bisa melindungi dirinya sendiri.
“Pertanyaannya apakah pelatihan sudah siap? Banyaklah pertanyaan yang masih harus dijawab sebelum keputusan diambil,” ujarnya pesimis.
Pembenahan
Wakil Ketua Komisi IX, Saleh Daulay mengakui masalah TKI di Timur Tengah memang sangat rumit. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR sedang mencari solusi terbaik agar pengiriman TKI ke Timur Tengah tidak mengalami kendala.
“Bagi mereka yang sudah berada di negara tujuan semakin terlindungi,” katanya.
Pembenahan yang harus dilakukan antara lain sebelum diberangkatkan, semasa kerja di negara tujuan dan sepulang kerja ke tanah air.
“Fokusnya harus itu. Dokumen harus sah, pengetahuan soal pekerjaan harus paham kalau tidak sulit. Apalagi budaya dan bahasa berbeda. Harus disosialisasikan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Komisi IX, Dede Yusuf, yang menyatakan selama ini justru banyak TKI ilegal karena tidak satu pintu dari pemerintah.
Oleh karena itu, kewenangan pemerintah untuk membuka atau menutup negara tujuan jika sudah ada perlindungan untuk pekerja migran di negara tujuan.
“Hak untuk bekerja di luar negeri juga tidak bisa dihambat asal dilakukan secara benar,” ujarnya.