Revisi UU Antiterorisme Dikhawatirkan Timbulkan Ego Sektoral

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.02.23
Jakarta
160223_ID_LAW_1000 Seorang pria yang berperan sebagai teroris (kiri) dengan bom di tubuhnya berjalan ke arah polisi dalam simulasi antiteror di Banda Aceh, 22 Februari 2016.
AFP

Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) dikhawatirkan dapat memunculkan ego sektoral aparat kepolisian bila pengumpulan data intelijen untuk strategi penanggulangan terorisme tidak melibatkan institusi lain.

Demikian pendapat seorang pengamat keamanan dan terorisme ketika diwawancara BeritaBenar di Jakarta, Selasa, 23 Februari 2016, mengenai revisi UU Antiterorisme yang akan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah.

“Saya tidak melihat adanya keterlibatan atau berbagi peran dalam pengumpulan data intelijen dengan instansi lain seperti misalnya Badan Intelijen Nasional (BIN),” ujar pengamat terorisme dan praktisi kontra terorisme terakreditasi secara internasional, Rakyan Adibrata.

“Hal ini akan menciptakan ego sektoral yang tinggi (kepolisian), karena BIN punya otoritas dalam pengumpulan data intelijen,” tambahnya.

Awal Februari, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan mengatakan bahwa tidak akan ada usulan untuk menambahkan kewenangan BIN atau TNI dalam revisi UU Antiterorisme.

Sebelumnya, Kepala BIN Sutiyoso mengatakan BIN perlu diberi kewenangan lebih untuk menangkap dan menahan mereka yang dicurigai sebagai pelaku terorisme demi penanganan kontra terorisme lebih baik. Hal itu dikatakannya sehari setelah aksi teror di Jalan Thamrin, Jakarta, 14 Januari lalu, yang menewaskan empat warga sipil.

Undang Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara mengatur bahwa BIN tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan maupun penahanan, tapi memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi terhadap sasaran.

Rakyan menyebutkan dalam konteks penanggulangan terorisme, pengumpulan data intelijen sebaiknya tak menjadi wewenang satu instansi saja, dalam hal ini kepolisian, karena terorisme merupakan musuh bersama. Sehingga tujuan yang harus dicapai adalah obyektif negara dan kerja kolektif yang melibatkan semua intelijen.

“Bila tidak diatur, ini dapat menciptakan area abu-abu yang akan menciptakan ego sektoral,” ujarnya.

Usulan dalam revisi

Beberapa usulan dalam revisi antara lain penambahan masa penahanan bagi terduga teroris yang ditangkap dari enam bulan jadi 10 bulan, penambahan masa penangkapan terduga teroris berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dari tujuh menjadi 30 hari.

Selain itu, pencabutan paspor Warga Negara Indonesia (WNI) yang bergabung dalam kelompok militan atau ikut pelatihan terorisme di luar negeri, pengawasan terhadap terduga pelaku teror selama enam bulan dan untuk mantan terpidana terorisme selama satu tahun sejak bebas dan rehabilitasi yang komprehensif bagi terpidana terorisme.

“Naskah revisi tidak memasukkan rehabilitasi komprehensif bagi korban, dan hanya memberikan rehabilitasi kompehensif bagi para pelaku. Ini sungguh tidak adil,” ujar direktur eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo.

Menurut dia, tanpa memperbaiki aturan mengenai rehabilitasi bagi korban, seperti yang diharapkan banyak pihak, maka revisi UU terorisme itu hanya semata kebutuhan institusi negara dalam melawan terorisme tanpa memikirkan para korbannya.

Supriyadi menambahkan, perhatian terhadap kontra terorisme lebih terfokus pada bagaimana mengadili, menangkap dan mencegah pelaku terorisme tetapi kurang memperhatikan korbannya.

“Minimnya respon negara terhadap korban terorisme bisa dilihat dari sedikitnya dasar regulasi bagi penanganan mereka,” jelasnya.

UU Antiterorisme hanya mengatur mengenai ketentuan hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang diberikan kepada setiap korban atau ahli waris akibat tindak pidana terorisme, tapi hal ini tidak ada peraturan pelaksanaannya, sehingga mengakibatkan hambatan dalam implementasinya.

“Secara umum pemenuhan hak-hak korban aksi terorisme masih jauh dari harapan. Perubahan UU Antiterorisme yang saat ini didorong oleh pemerintah ke DPR harusnya secara khusus memperbaiki masalah-masalah hak reparasi bagi korban,” tambahnya.

Seorang warga sedang bermain game “Tumpas Teroris” lewat telepon pintarnya di Jakarta, 29 Januari 2016. Game itu diluncurkan oleh Polri sebagai upaya untuk melawan terorisme. (AFP)

Upaya pencegahan

Namun Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris yang dihubungi terpisah menyatakan bahwa upaya pencegahan terorisme dan rehabilitasi pelaku terorisme serta memperkuat imigrasi adalah usulan utama yang diajukan lembaga tersebut dalam draf revisi UU Antiterorisme.

Namun Irfan mengatakan terkait imigrasi akan memerlukan koordinasi dengan pihak Imigrasi di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

“Ini untuk mencegah mereka yang akan pergi atau kembali dari Suriah (bergabung dengan ISIS),” ujar Irfan.

Dia menyebutkan, perlu kerjasama lebih baik dari masyarakat untuk cepat merespon dan memberi peringatan dini bagi aparat keamanan kalau melihat hal mencurigakan terkait kegiatan terorisme.

“Usulan-usulan dalam revisi sudah sesuai dengan harapan kami untuk mengutamakan pencegahan,” ujar Irfan.

Singapura deportasi 4 WNI

Sementara itu, Direktur Perlindungan Warga Negara dan Badan Hukum Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal dalam pernyataan tertulis, Selasa, membenarkan empat WNI telah dideportasi Pemerintah Singapura karena diduga mau bergabung dengan ISIS.

"Empat WNI ditangkap Imigrasi Singapura di Woodsland Checkpoint ketika dalam perjalanan dari Johor ke Singapura. Mereka diduga akan melakukan perjalanan ke wilayah yang dikuasai ISIS di Suriah. Empat orang tersebut adalah MM, US, MK dan RS," kata Lalu.

"Dugaan atas empat orang itu salah satunya didasari pada jalur masuk ke Singapura yang mencurigakan. Mereka masuk ke Singapura dengan kapal penyeberangan dari Batam. Setibanya di Singapura mereka ke Johor untuk beberapa jam dan kembali ke Singapura,” tambahnya.

Menurut Lalu, keempat orang itu telah diserahkan kepada polisi Indonesia di Batam pada 21 Februari lalu, beberapa jam setelah ditangkap polisi Singapura. Dari Batam, mereka selanjutnya dipindahkan ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut.

"Empat orang itu berasal dari Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Salah satu dari mereka diketahui pernah ke Suriah sebelumnya. Polri akan melakukan pendalaman guna mengetahui lebih jauh kaitan keempat orang itu dengan ISIS," pungkas Lalu.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.