Revisi UU Terorisme Perlu untuk Pencegahan
2016.04.21
Jakarta

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jendral Pol. Tito Karnavian menyatakan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) perlu untuk mencegah terjadinya serangan teror.
UU Antiterorisme, menurut dia, harus disesuaikan dengan dinamika pelaku teror. Apalagi UU dibuat untuk mengkriminalisasi pelaku dan hukum acara. Tapi kedua hal itu sudah tak memadai lagi sehingga perlu memasukkan unsur-unsur pencegahan dan rehabilitasi pelaku terorisme.
“Kita ingin beberapa perbuatan yang dikriminalisasi pasca temuan penyidikan hasil bom Bali,” ujar Tito kepada wartawan seusai seminar bertema Radikalisasi dan Terorisme dalam Perspektif NKRI yang digelar Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta, Kamis, 21 April 2016.
Tito menekankan perlu keseimbangan antara kriminalisasi dan pencegahan dalam revisi yang segera dibahas DPR menyusul ditetapkannya Panitia Khusus Revisi UU Antiterorisme.
Salah satu tindakan yang diusulkan adalah penindakan terhadap warga Indonesia dalam pelatihan terorisme di luar negeri atau sebagai anggota kelompok militan.
“Jangan sampai mereka diam-diam pulang, tapi mereka tidak bisa diproses hukum. Kalau mereka melakukan langkah teror nanti kita semua menyesal,” ujar Tito.
Pembicara lainnya, anggota Komisi III DPR dari PKS, Aboe Bakar Al-Habsyi mempertanyakan aspek pencegahan dalam revisi karena menurutnya berpotensi menimbulkan otoritas berlebihan dan mengarah pada umat agama tertentu.
“Perluasan arti terorisme jangan sampai ada pemasangan lambang-lambang tertentu yang dapat serta-merta disangkakan terorisme,” ujarnya, sambil menambahkan PKS akan mengawal revisi UU Antiterorisme.
Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan aspek penindakan dalam draf revisi UU Antiterorisme sudah baik tapi ada catatan dari beberapa pihak tentang kemungkinan otoritas berlebihan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Pertanyakan urgensi revisi
Perwakilan Tim Pengacara Muslim (TPM) Akhmad Kholid mempertanyakan urgensi revisi UU Antiterorisme karena menurutnya aturan yang ada sudah cukup. “Apakah sepenting itu untuk direvisi? Kami khawatir akan jadi lebih represif,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Usulan yang dikhawatirkan berpotensi represif adalah perpanjangan masa penahanan terduga teroris yang ditangkap dari enam bulan jadi 10 bulan dan penambahan masa penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup dari tujuh menjadi 30 hari.
Dia juga meminta tersangka terorisme diberi kebebasan memilih pengacara sendiri sehingga mereka tidak terpaksa memilih pengacara yang disediakan polisi karena ada tersangka terorisme enggan didampingi TPM karena takut dihukum berat.
Akan didampingi Propam
Di tempat terpisah, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan akan mengevaluasi teknis penangkapan terduga teroris untuk mencegah kejadian yang menimpa Siyono kembali terulang.
Siyono ialah terduga teroris yang ditangkap tim Densus 88 Antiteror di Klaten, Jawa Tengah, 8 Maret lalu. Tiga hari kemudian dia meninggal dunia. Polisi menyatakan bahwa korban tewas setelah berkelahi dengan polisi.
“Kami sudah tentukan kebijakan bahwa setiap penangkapan terduga teroris akan diawasi dan diterjunkan tim Propam (Profesi dan Pengamanan),” ujar Badrodin, kepada wartawan di Jakarta, Kamis.
Sehari sebelumnya saat rapat dengan anggota Komisi III DPR, Badrodin menjelaskan kronologi insiden yang menewaskan Siyono ketika anggota Densus mengajak korban ke terminal bus Krisak, Selogiri, Wonogiri.
Saat itu, polisi melepaskan borgol Siyono sebagai cara pendekatan psikologis agar dia kooperatif menunjukkan gudang senjata. Namun di tengah perjalanan, dia melawan dan akhirnya tewas setelah berkelahi dengan anggota Densus 88, kata Badrodin.
Tetapi, Komisioner Komnas HAM, Siane Indriyani, mengatakan tidak ada perlawanan dari Siyono. Hasil autopsi menyimpulkan Siyono dipukul dalam posisi merebahkan diri. Seluruh tubuhnya mengalami kerusakan, dan paling parah di bagian dada.
Ketua tim autopsi mayat Siyono, dr Gatot Suharto menyatakan akibat pemukulan itu, bagian dada Siyono patah hingga menusuk jantung. Dia mencatat ada lima tulang iga sebelah kiri menghadap keluar dan satu tulang iga kanan patah menjorok ke dalam.
Di depan Komisi III DPR, Kapolri mengakui ada anggota Densus 88 yang menendang bagian dada Siyono saat dalam penahanan. Hal itu diketahui setelah dicek ulang pada dua anggota Densus 88 yang terlibat perkelahian dengan Siyono.
"Setelah dikroscek, anggota kami mengakui menendang dengan lutut mengenai dada," ujar Badrodin.
Tidak cukup Propam
Pakar terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan kehadiran Propam tidak cukup obyektif mengevaluasi kinerja Densus 88.
“Teknisnya selain setiap operasi hadir Propam, anggota juga harus ada kamera yang ‘On’. Nanti bisa dijadikan bukti dan data evaluasi kinerja,” ujarnya.
Menurut Harits, masyarakat tak hanya butuh kinerja Densus 88 yang akuntabel, tapi juga transparan baik sumber dana maupun penindakan di lapangan.