Antisipasi Kebakaran Hutan, Riau Tetapkan Status Darurat

Aktivis lingkungan menilai penetapan status saja belum cukup, jika tidak diikuti tata kelola hutan dan sumber daya alam, serta penegakan hukum.
Dina Febriastuti
2017.01.27
Pekanbaru
170127_ID_Riau_1000.jpg Warga memadamkan api dekat pemukiman mereka di Kabupaten Siak, Riau, 19 Juli 2016.
Dina Febriastuti/BeritaBenar

Riau menjadi provinsi pertama yang menetapkan status siaga darurat sebagai langkah antisipasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi hampir setiap tahun di daerah tersebut.

Meski dinilai positif, aktivis lingkungan menyebutkan penetapan status siaga darurat hingga 30 April 2017 itu belum cukup, karena terkesan pemerintah melihat persoalan Karhutla semata masalah api.

“Padahal bukan hanya sekadar api, tetapi penyebab api muncul. Selain itu tata kelola hutan dan SDA (Sumber Daya Alam) harus dibenahi,” kata Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Woro Supartinah kepada BeritaBenar, Jumat, 27 Januari 2017.

Menurutnya, penegakan hukum terkait kasus Karhutla di Riau juga belum maksimal karena pengusutan beberapa kasus yang pernah dilaporkan seperti “jalan di tempat”.

Seorang warga, Santi, menganggap penetapan status darurat sebagai kebijakan bagus. “Ada upaya sedia payung sebelum hujan,” katanya.

Sedangkan, Setiono, relawan yang aktif dalam Masyarakat Peduli Api (MPA) di Kabupaten Siak, tak terlalu peduli dengan penetapan siaga.

“Sebelum atau sesudahnya, kami sudah mencegah Karhutla. Kalau bisa, MPA diperhatikan dengan tersedia perlengkapan dan biaya, karena kami garda terdepan dalam pemadaman,” ujarnya.

Elviriadi, seorang pengamat dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, menilai solusi Karhutla adalah pemerintah harus melakukan reboisasi.

“Masalahnya hutan gundul, air tanah tak ada. Selain reboisasi, sita lahan yang melebihi izin, juga untuk direboisasi. Tak nyambung kalau yang dibuat satgas,” ujarnya.

Targetkan tanpa asap

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah(BPBD) Riau, Edwar Sanger, mengungkapkan, penetapan itu berpijak pada kondisi tiga kabupaten dan kota di Riau yang sudah menetapkan status serupa, yakni Kabupaten Rokan Hulu, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai.

“Jangan seperti 2015, kita baru menetapkan pada Mei dan Juni. Collapse jadinya. Tahun 2016, Maret sudah ditetapkan. Bagus, ada preventif. Tahun ini kita targetkan tanpa asap,” katanya kepada BeritaBenar.

Penetapan status siaga darurat diputuskan sehari setelah rapat kerja nasional di Jakarta soal kesiapan daerah menghadapi kemungkinan Karhutla bersama Presiden Joko Widodo, Selasa, 24 Januari 2017.

Hal itu diputuskan Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, setelah menggelar rapat dengan pemangku kepentingan, termasuk pejabat pemerintah kabupaten dan kota di seluruh Riau, instansi militer, kepolisian, dan lainnya.

“Riau mengaktifkan Posko Karhutla lagi dan memulai pengendalian dan pencegahan sejak dini,” katanya saat mengumumkan status siaga darurat.

Dia melanjutkan, sistem pencegahan dan antisipasi harus dimantapkan.

“Canal blocking dan pembuatan sumur bor harus dilanjutkan. Sosialisasi ke masyarakat juga terus dilakukan,” tambahnya.

Sugarin, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, mengatakan, Riau sebagai daerah yang dilintasi garis khatulistiwa mengalami dua kali puncak musim. Karena itu, persiapan kemungkinan kekeringan setidaknya harus dilakukan dua kali pula setahun.

“Februari curah hujan menurun, mulai kemarau. Harus diperhatikan pula pola arah angin, dari timur laut ke barat daya. Jika pesisir tidak betul hati-hati, daerah-daerah di Riau bagian tengah akan rawan. Karena, pesisir kering duluan,” katanya.

Tingkatkan penyidikan

Kapolda Riau Irjen Zulkarnain Adinegara menyebutkan, dengan status itu pihaknya semakin meningkatkan kinerja penyidikan kasus Karhutla.

“Ini jadi dukungan. Walaupun kami tidak terpengaruh, karena kami tidak mendapatkan dana khusus. Kami menjalankan sesuai anggaran yang ada. Ada kasus, kami sidik,” katanya.

Dia menegaskan bahwa dengan status siaga, jajarannya tidak akan meninggalkan lokasi atau wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.

Ia menambahkan, perusahaan pemilik konsesi lahan harus menjaga lahannya karena polisi menindak tegas perusahaan yang lalai.

“Aturan pemerintah mewajibkan perusahaan memantau dan menjaga lahannya,” katanya.

Dia juga menegaskan perusahaan harus memasang kamera pengawas (CCTV) sebagaimana instruksi yang akan dirilis pemerintah mengikuti penetapan status siaga darurat.

Pada 2016 sempat menjadi isu hangat di Riau seiring penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus 15 dari 18 perusahaan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka terkait Karhutla.

Rangkaian protes berlangsung di Pekanbaru dan upaya menentangnya ditujukan ke polisi. Aksi demonstrasi besar-besaran digelar Juli hingga September untuk memprotes penetapan SP3 dan munculnya foto sejumlah perwira Polda Riau yang bercengkrama dengan pimpinan perusahaan sawit.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana pernah menyebutkan, luas lahan yang terbakar tahun 2015 di Sumatera dan Kalimantan mencapai 1,7 juta hektar. Sedangkan pada 2016, Karhutla tidak separah tahun 2015.

Karhutla tersebut telah membuat bencana kabut asap beberapa bulan hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Beberapa daerah harus meliburkan sekolah dan banyak penerbangan dibatalkan.

Bank Dunia menyatakan akibat Karhutla tahun 2015, Indonesia rugi hingga US$15,72 miliar atau sekitar Rp221 triliun. Angka itu dua kali lipat dari dana untuk membiayai rekonstruksi Aceh paska tsunami tahun 2004.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.