Tanggung Jawab Moral Ustaz Rohingya di Aceh
2016.05.10
Banda Aceh

Suara azan menggema dari pengeras suara Masjid Arakan di barak penampungan Blang Ado, Kabupaten Aceh Utara, pada suatu sore April lalu. Lelaki 36 tahun itu bergegas masuk ke biliknya. Dalam sekejap, ia telah keluar dengan baju koko dan kain sarung, lengkap dengan peci putih di kepala.
Muhammad Yunus, lelaki itu, segera mengambil wudhu di sumur belakang biliknya. Hanya belasan meter, dia berjalan ke masjid kecil sederhana – yang khusus dibangun buat pengungsi Muslim Rohingya. Arakan sengaja dipilih menjadi nama masjid untuk mengenang kampung halaman mereka di Myanmar.
Yunus dan sekitar 70-an pengungsi Rohingya yang tersisa di barak penampungan itu adalah bagian dari 322 manusia perahu yang terdampar di perairan Aceh Utara pada 10 Mei 2015. Sebagian besar mereka sudah melarikan diri ke Malaysia dengan membayar agen ilegal meski kebutuhan makanan tersedia cukup di barak.
Yunus merupakan seorang ustaz. Ia menjadi iman shalat berjamaah di masjid tanpa dinding di komplek barak penampungan di atas tanah 5 hektar. Sore itu, hanya belasan lelaki melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Setiap Jumat, Yunus menjadi khatib di masjid itu.
Relasi Media Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR) Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh, Zainal Bakri, mengakui bagian belakang dari 120 blok barak yang mereka bangun sudah kosong. NAmun demikian ACT masih tetap memberi beberapa pelatihan dan ketrampilan kepada pengungsi Rohingya.
“Bersama lembaga internasional, nasional dan lokal, kami masih terlibat hingga saat ini. Kami masih menjadi penyedia kebutuhan listrik dan air minum bagi pengungsi. Sedangkan program pemberdayaan yang masih berjalan adalah pelatihan menjahit,” katanya.
Pengungsi Rohingya Aceh Hari Ini
Kerusuhan 2012
Yunus menceritakan di daerah asalnya, dekat Kota Muangdaw, Myanmar, pasukan keamanan pemerintah melarang Muslim melakukan shalat berjamaah di masjid setelah terjadi kekerasan tahun 2012. Tapi, dia mengaku tidak tahu kondisi kampungnya sekarang.
“Madrasah tempat saya mengajar dan masjid dihancurkan oleh milisi Budha ketika kerusuhan tahun 2012. Banyak santri dan orang Islam dibunuh saat itu,” jelasnya kepada BeritaBenar.
Akibat aksi kekerasan itu, Yunus kabur ke Bangladesh. Dengan keahliannya yang bisa menghafal 30 juz Al Qur-an, dia mengajar di madrasah Kota Kox Bazar selama tiga tahun, sampai akhirnya ditangkap polisi karena bekerja secara ilegal.
Ia ditahan enam bulan. Setelah bebas pada Februari 2015, Yunus memutuskan ikut rombongan manusia perahu untuk mengadu nasib ke Malaysia karena tak mungkin lagi bertahan di Bangladesh. Ia membayar penyeludup manusia sekitar 1.500 dolar Amerika.
“Saya tak mungkin pulang ke kampung karena siapa saja Rohingya yang sudah keluar dari Myanmar, tidak boleh pulang meski istri dan anak-anak masih berada di sana,” katanya.
“Saya ingin mengirimkan uang untuk mereka seperti saat saya berada di Bangladesh dulu, tapi apa daya saya tak punya uang karena di sini tidak bekerja,” tambah Yunus, dengan mata berkaca-kaca.
Ingin mendapatkan uang
Para pengungsi Rohingya di Aceh tidak diperkenankan bekerja. Mereka menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran dalam bilik ukuran 5x4 meter. Ada juga yang berkebun. Sejumlah remaja tampak bermain sepak bola di lapangan samping barak.
Dua pengungsi Rohingya sedang menyiapkan makanan di barak penampungan Blang Ado, Kabupaten Aceh Utara, 24 April 2016. (Nurdin Hasan/BeritaBenar)
Belasan dari mereka sudah menikah sesama pengungsi. Sembilan bayi sudah lahir di barak penampungan ini. Beberapa perempuan terlihat sedang hamil tua. Yunus juga sudah menikah dengan seorang perempuan. Istrinya kini sedang hamil empat bulan.
Yunus menyatakan, alasan utama sebagian besar rekannya kabur ke Malaysia karena mereka ingin mendapatkan uang untuk dikirim kepada keluarganya di Myanmar. Dia sudah bertekad tidak akan lari ke Malaysia karena punya tanggung jawab moral pada pengungsi lain.
Kabur ke Malaysia tak selamanya berjalan lancar. Belasan dari pengungsi Rohingya yang ditampung di empat lokasi di Aceh tertangkap petugas Imigrasi. Setelah sempat ditahan beberapa bulan, mereka dikembalikan ke kamp penampungan.
Husen Ahmad (20) adalah salah seorang dari mereka. Dia terpaksa harus merelakan uang 1.500 Ringgit yang dikirim saudaranya di Malaysia kepada agen ilegal. Husen ditangkap petugas Imigrasi di Medan saat hendak menyeberang ke Malaysia. Dia ditahan tiga bulan di kantor imigrasi.
Abdul Malik (48) berharap dia diberikan kesempatan untuk bisa bekerja di Indonesia. Ia mengarungi bahaya bersama seorang putranya, Abdul Rasyid (9) karena tidak ada lagi yang bisa dikerjakan di negaranya. Istri dan lima anaknya yang lain masih tinggal di Myanmar.
“Saya tidak tahu bagaimana nasib anak-anak dan istri saya. Mereka tinggal bersama ibu saya. Terakhir saya telepon mereka sekitar tiga bulan lalu. Mereka minta dikirim uang, tapi saya tak punya uang karena saya tidak bekerja,” katanya.
“Saya tidak mau pergi ke Malaysia seperti orang-orang lain karena saya tidak punya saudara di sana. Saya sangat berharap bisa bekerja di sini karena orang Aceh baik kepada kami.”
Yunus punya alasan tersendiri tak mau pergi ke Malaysia meski kesempatan itu ada. Apalagi seorang sahabatnya sesama ustaz, Shahidullah, telah bekerja di negeri jiran itu setelah meninggalkan barak Blang Ado, lima bulan lalu.
“Kalau saya pergi, siapa yang jadi iman di sini? Siapa yang jadi khatib shalat Jumat? Kalaupun harus pergi, biarlah saya orang terakhir yang meninggalkan barak setelah semua pengungsi Rohingya pergi,” tutur Yunus.