Menlu Diplomasi Krisis Rohingya, Masyarakat Protes Myanmar
2017.09.05
Jakarta

Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia melakukan diplomasi ke Myanmar dan Bangladesh untuk penyelesaian tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya, sementara di tanah air unjuk rasa simpati terhadap suku minoritas Muslim di Myanmar tersebut terus mengalir.
Menlu Retno Marsudi bertemu dengan Menlu Bangladesh Mahood Ali di Dhaka hari Selasa, 5 September 2017, membahas rencana bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Rohingya di Bangladesh yang jumlahnya diperkirakan melebihi 100.000 orang. Menlu juga mengadakan pertemuan dengan perwakilan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
Dalam konferensi pers mengenai pertemuan di Dhaka tersebut, Retno mengatakan Indonesia siap memberikan dukungan bagi Dhaka "untuk meringankan beban pemerintah Bangladesh" dalam membantu negara itu mengakhiri krisis kemanusiaan tersebut. Retno tidak merinci detil mengenai bantuan yang akan diberikan.
Sehari sebelumnya Menlu Retno berada di Myanmar dan bertemu dengan penasehat negara tersebut, Aung San Suu Kyi, dan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior U Min Aung Hlaing. Dalam pertemuan tersebut Retno menyampaikan empat hal utama untuk mencegah memburuknya krisis di Rakhine, yaitu: dikembalikannya stabilitas dan keamanan, penahan diri agar tidak terjadi kekerasan, perlindungan bagi semua warga di Rakhine tanpa membedakan suku, agama dan ras, serta dibukanya akses bagi bantuan kemanusiaan.
“Empat elemen pertama merupakan elemen utama yang harus segera dilakukan agar krisis kemanusiaan dan keamanan tidak semakin memburuk,” ujar Retno dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar.
Dia juga menyampaikan Indonesia berharap agar Myanmar melaksanakan rekomendasi Komisi Penasihat untuk Rakhine State, Kofi Annan, dan meminta Myanmar untuk menjaga hubungan baik dengan Bangladesh, karena mereka yang terdampak konflik saat ini melarikan diri ke perbatasan kedua negara.
Selama di Myanmar, Retno juga menggelar pertemuan dengan para duta besar negara-negara ASEAN untuk membahas masalah Rohingya.
Berkaitan dengan diplomasi Indonesia ini, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan saat ini hanya Indonesia yang didengar otoritas Myanmar.
“Selain rekonsiliasi, yang terpenting adalah pengakuan kewarganegaraan bagi minoritas Rohingya. Jika tidak akan terus terjadi aksi-aksi genosida terhadap Rohingya seperti yang sudah-sudah,” katanya kepada BeritaBenar, Selasa.
Myanmar tak mengakui suku Rohingya sebagai warganya dan menuding mereka sebagai imigran Bengali. Namun, menurut catatan sejarah, etnis Rohingya telah menetapkan di kawasan Arakan sejak sebelum Myanmar merdeka.
Kekerasan terbaru bermula setelah kelompok gerilyawan yang menamakan diri Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang sejumlah pos polisi di Rakhine, 25 Agustus lalu. Merespon aksi itu, militer Myanmar melancarkan “operasi pembersihan” sehingga memaksa puluhan ribu warga Rohingya mengungsi.
Menurut laporan lembaga pemantau hak asasi manusia dan organisasi kemanusiaan, pasukan keamanan Myanmar melancarkan pembumihangusan terhadap rumah-rumah warga Rohingya. Tentara Myanmar juga membantai ratusan warga sipil Rohingya.
Protes
Sementara itu di tanah air, sejak tiga hari terakhir terjadi unjuk rasa simpati terhadap Muslim Myanmar di sejumlah daerah di Indonesia.
Di Jakarta, Kedutaan Besar Myanmar menjadi sasaran. Warga berbagai elemen meminta pemerintah bersikap tegas termasuk mengusir Duta Besar Myanmar.
“Tindakan genosida terhadap warga Rohingya tak dapat dibenarkan. Pemerintah tidak boleh membiarkan hal itu terus terjadi. Bila perlu putus hubungan diplomatik dengan Myanmar,” kata Nurniahma, seorang peserta aksi Solidaritas Sahabat Muslim Rohingya, saat ditemui BeritaBenar di depan kedutaan Myanmar, Senin.
Aksi serupa juga terjadi Selasa, dimana ratusan massa Barisan Profesional Pendukung Rohingya menggelar orasi di depan Kedutaan Myanmar. Mereka juga membakar foto Suu Kyi.
Sebelumnya saat memberikan keterangan di Istana Negara, Minggu malam, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan perlu aksi nyata yang tidak cukup dengan kecaman. Karena itu ia mengirim Menlu Retno untuk mendekati Pemerintah Myanmar.
“Pemerintah terus berkomitmen membantu mengatasi krisis kemanusiaan, bersinergi dengan kekuataan masyarakat sipil di Indonesia dan masyarakat internasional,” ujarnya.
“Saya dan seluruh rakyat Indonesia, menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi Rakhine State. Sekali lagi kekerasan dan krisis kemanusiaan ini harus segera dihentikan.”
Lebih 100 massa yang sebagian besar perempuan melakukan unjuk rasa damai di depan Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta, 4 September 2017. (Rina Chadijah/BeritaBenar)
Tim Pencari Fakta
Sementara itu, Tim Pencari Fakta yang dibentuk Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB akan segera bekerja untuk melakukan pemantuan situasi lapangan di Rakhine State.
Ketua Tim Pencari Fakta Dewan HAM PBB untuk Myanmar, Marzuki Darusman, mengatakan pihaknya telah mengumpulkan sejumlah data-data dari berbagai pihak tentang apa yang terjadi saat ini di Rakhine.
“Beberapa hari ke depan kita akan turun ke lapangan untuk mengkonfirmasi dan memverifikasi semua data yang masuk kepada kita,” katanya kepada BeritaBenar.
Setelah pengumpulan data, jelas mantan Jaksa Agung itu, pihaknya akan memberikan rekomendasi dan mengumumkan temuan mereka. Ia berharap semua proses berjalan dengan baik.
“Semua proses akan kita lakukan agar akar masalah dapat diketahui dan dapat dicarikan solusinya demi kepentingan semua pihak yang bertikai,” katanya.
Marzuki juga memuji langkah Indonesia yang dinilai cukup proaktif dalam mendorong perdamaian di Rakhine. Utamanya harapan untuk tidak lagi terjadi kekerasan terhadap warga minoritas Muslim Rohingya.
“Upaya Pemerintah Indonesia sudah cukup baik. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini situasi di sana akan jauh lebih membaik,” pungkasnya.