RUU Otonomi Khusus Papua Disahkan, Separatis Tolak Keras

Pemerintah sebut otsus lindungi masyarakat adat, tapi sebagian pihak mengatakan itu bukan solusi permasalahan di Papua.
Ronna Nirmala
2021.07.15
Jakarta
RUU Otonomi Khusus Papua Disahkan, Separatis Tolak Keras Para aktivis pro-kemerdekaan Papua berhadapan dengan polisi di Jakarta, 19 Desember 2020.
AFP

Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis (15/7) mensahkan rancangan undang-undang otonomi khusus Papua yang mengatur kenaikan dana dari pemerintah pusat, namun kelompok separatis dan aktivis menolak legislasi baru itu dengan alasan dibuat tanpa diskusi dengan masyarakat asli.

Rancangan undang-undang yang mengatur otonomi khusus (otsus) di Provinsi Papua dan Papua Barat ini sebelumnya mendapat penolakan oleh sebagian aktivis dan tokoh Papua yang menginginkan referendum dengan opsi kemerdekaan.  

Undang-undang otonomi Papua mengatur aspek pemerintahan, termasuk kewenangan pemerintah daerah, partai politik, pelindungan hak masyarakat adat, hak asasi manusia, menurut draf terakhir yang diterima BenarNews.

Legislasi ini mengubah 18 pasal dan menambah 2 pasal atas usulan pemerintah dan dewan, termasuk menambah dana otonomi khusus Papua dari 2 persen menjadi 2,25 persen per tahun dari Dana Alokasi Umum nasional dan mengatur kewajiban pengusaha untuk mengutamakan orang asli Papua dalam perekrutan tenaga kerja. 

Undang-Undang ini juga menambahkan pasal baru yang mengubah komposisi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) yang sebelumnya hanya terdiri orang yang dipilih melalui pemilu menjadi sekarang termasuk anggota yang diangkat dari Orang Asli Papua.

Selain itu, legislasi juga mengatur badan khusus percepatan pembangunan Papua yang diketuai wakil presiden dengan tugas menyinkronkan, mengevaluasi, dan mengkoordinasi pelaksanaan otsus. 

“RUU ini mengatur perlunya kekhususan orang asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perekonomian, serta memberi dukungan pembinaan bagi masyarakat adat,” kata ketua panitia khusus pembahasan legislasi, Komarudin Watubun. 

Menurut undang-undang baru itu, pencairan dana alokasi khusus terbagi melalui dua skema, yakni penerimaan yang bersifat umum sebesar 1 persen dan penerimaan berbasis kinerja sebesar 1,25 persen yang dikhususkan bagi pendanaan pendidikan dan kesehatan. 

“Mekanisme pembagiannya akan dilakukan langsung oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,” kata Komarudin. 

Pada 2020, Provinsi Papua dan Papua Barat menerima dana alokasi khusus senilai total Rp7,6 triliun atau turun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp8,4 triliun karena alasan pandemi COVID-19. Selain dana alokasi khusus, dua provinsi paling timur itu juga menerima dana infrastruktur senilai Rp4,4 triliun pada tahun lalu. 

Hingga 20 tahun ke depan, Papua juga berhak mendapatkan porsi bagi hasil sumber daya alam yang terbagi antara lain 80 persen untuk kehutanan dan perikanan, dan 70 persen untuk pertambangan minyak bumi dan gas.

“Dengan dukungan dana otsus dan dana bagi hasil migas tambahan serta dana infrastruktur dan transfer daerah lainnya, diharapkan dapat mendukung pemerintah daerah Papua dalam mempercepat pembangunan,” kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pada kesempatan sama. 

Undang-undang otonomi khusus tidak memberi penjelasan mendetail perihal rencana pemekaran provinsi dan kabupaten atau kota di Papua dan Papua Barat, namun menyebutkan pemekaran dapat dilakukan oleh Pemerintah dan DPR untuk mempercepat pemerataan pembangunan. 

‘Tidak cerminkan keinginan rakyat Papua’

Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap bersenjata kelompok pro-kemerdekaan Papua, mengatakan beleid-beleid dalam undang-undang otonomi tidak sesuai dengan keinginan masyarakat asli Papua yang menurutnya tidak diajak diskusi. 

“Kami menolak karena UU Otsus bukan solusi penyelesaian masalah status politik bangsa Papua,” kata Juru Bicara TPNPB, Sebby Sambom, kepada BenarNews.

“Kami menilai cara Indonesia itu sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM dan perbuatan melawan hukum,” lanjut Sebby.

Sebby mengatakan kelompoknya akan terus melakukan perlawanan atas kebijakan pemerintah di Tanah Papua, “sampai kami memperoleh hak politik sebagai bangsa Papua."

Salah seorang warga Jayapura, Maichel Telenggen mengungkapkan pesimisme bahwa otonomi bakal memperbaiki kehidupan warga Papua.

Yang dibutuhkan Papua bukan sekadar penambahan dana otonomi khusus, melainkan penghormatan hak dasar sebagai manusia, ujarnya.

“Masalah selama ini adalah orang Papua kerap menjadi korban diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Hal mendasar itu yang harus pertama kali dibenahi,” ujar Maichel.

Peneliti konflik Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengatakan kontrol pemerintah pusat tercermin kuat dalam undang-undang otonomi khusus baru ini dan berpotensi memicu konflik baru yang lebih besar lagi di Papua. 

“Satu contoh, untuk pemekaran di situ memang ditulis bahwa ada keterlibatan MRP (Majlis Rakyat Papua), DPRK, orang asli Papua lainnya, tapi, di beleid berikutnya disebutkan lagi bahwa pemerintah pusat bisa ambil alih kewenangan,” kata Cahyo kepada BenarNews.  

“Ini mencerminkan pemerintah tidak percaya,” kata Cahyo, “ini tidak menjawab akar persoalan, bahkan bisa memicu konflik baru yang lebih besar.”  

Dalam hal pembentukan badan khusus, Cahyo juga melihat kehadiran lembaga tersebut hanya akan menjadi alat persaingan baik antar-pusat maupun dengan elite birokrasi di Papua. Pihaknya pesimistis persoalan-persoalan yang muncul pada UU Otsus sebelumnya akan tetap berulang.

“Otsus ini tidak memiliki legitimasi yang kuat. Selain tidak mengakomodasi aspirasi kelompok-kelompok kritis bahkan yang pro-kemerdekaan, ‘keistimewaan’ yang diberikan kepada orang asli Papua juga tidak memiliki mekanisme yang jelas,” katanya. 

Otsus Papua lahir pada 2001 yang diinisiasi untuk meredam keinginan sejumlah kelompok di Papua yang ingin melepaskan diri dari Indonesia yang tidak puas atas kebijakan pemerintah pusat terhadap wilayah itu. Namun, dua dekade berlalu, Papua tetap menjadi provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia dengan rentetan kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung usai. 

“Dibuat Jakarta, untuk Jakarta”

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Papua, Sam Awom, mengatakan pengesahan undang-undang dibuat secara sepihak tanpa sedikitpun melibatkan suara rakyat Papua. 

Sam mengatakan tidak ada wakil orang Papua yang sesungguhnya dalam Pansus Otsus Papua, melainkan hanya segelintir elite yang condong pada kepentingan pemerintah pusat di Tanah Papua. 

“Ini adalah bentuk pemaksaan kebijakan oleh rezim fasis,” kata Sam kepada BenarNews, seraya melanjutkan kebijakan ini hanya akan menguntungkan pemerintah pusat saja, “RUUnya dibuat Jakarta, untuk Jakarta.”

Pihaknya juga memandang undang-undang baru tidak menggubris persoalan inti dari beragam konflik di Papua dan hanya mencerminkan kepentingan pemerintah mempercepat masuknya investasi ke Papua.  

“Kami selalu mendesak adanya evaluasi otsus apalagi Jakarta selalu bilang dana otsus 20 tahun ini selalu dikorupsi. Kalau sudah menuduh seperti itu, harusnya ada evaluasi. Jadi Jakarta hanya membuat opini tapi tidak pernah ada penegakan hukumnya,” kata Sam yang juga Juru Bicara Petisi Rakyat Papua Penentang Otsus. 

Desember 2020, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD mengatakan pemerintah tengah mencari formula regulasi terbaik untuk mengatasi korupsi dana otonomi oleh elite di Papua. 

"Karena dana untuk Papua besar sekali, tetapi dikorupsi elitenya di sana. Rakyat tidak kebagian. Kita atur bagaimana caranya," kata Mahfud.

Merujuk daftar anggota Panitia Khusus Otsus Papua, hanya enam fraksi yang mengirimkan anggota dewan asal Papua dari sembilan fraksi. Mereka yang tak mengirim wakil asal Papua adalah Fraksi PKS, PAN, dan PPP.

Secara total, untuk DPR masa bakti 2019-2024, terdapat sepuluh orang anggota dewan mewakili daerah pemilihan Papua dan tiga dari Papua Barat.

Mekanisme

Yan Mandenas, Wakil Ketua Pansus dari Fraksi Gerindra, mengatakan revisi sudah melalui mekanisme yang konstitusional. 

“Sejak Pansus dibentuk, telah dilakukan berbagai macam agenda konsultasi dan komunikasi publik, khususnya dengan pihak-pihak berkepentingan mulai di Provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk elemen mahasiswa, pemuda dan tokoh masyarakat Papua,” kata Yan, dalam keterangan tertulis kepada BenarNews. 

Yan berdalih penambahan pasal perubahan, dari semula hanya 3 pasal yang diajukan pemerintah menjadi 18, menunjukkan bahwa eksekutif dan legislatif terbuka dan mendengar aspirasi dari masyarakat. 

“Tidak semua aspirasi yang muncul memang bisa diakomodir, tetapi paling tidak ada beberapa aspirasi yang bisa diterima. Ini menunjukkan ada komitmen serta usaha bersama,” katanya. 

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mendesak pemerintah dan DPR membuat mekanisme yang memastikan bahwa hak-hak masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, benar-benar dilindungi. 

“Meskipun undang-undang sebelumnya memuat banyak pasal yang melindungi hak orang asli Papua, ada banyak fakta bahwa pemerintah tidak serius melaksanakannya. Bahkan sering melanggar hak-hak tersebut selama 20 tahun,” kata Usman. 

Amnesty menyebut dalam praktiknya, beleid perlindungan yang termuat dalam UU Otsus tidak berjalan, sebaliknya, aksi protes atas ketidakpuasan yang meluas terhadap aturan itu kerap ditanggapi dengan kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan. 

Pada Kamis, sedikitnya 40 orang yang berunjuk rasa saat rapat paripurna berlangsung di Senayan ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya. Sementara sehari sebelumnya, empat mahasiswa terluka dan 23 lainnya ditangkap saat melakukan aksi protes menentang undang-undang di Universitas Cenderawasih, Papua, kata Amnesty.

Sejak wilayah Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1969, konflik antara separatis dan aparat keamanan Indonesia terus mewarnai wilayah Papua.

Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan sebagian warga Papua melihat Pepera manipulatif karena melibatkan hanya sekitar 1000 orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.

Arie Firdaus di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.