Mengapa usulan revisi Undang-Undang TNI picu kekhawatiran publik?

Revisi tersebut disinyalir akan menghidupkan kembali "dwifungsi ABRI" yang memberikan kewenangan militer di ranah sipil.
Tria Dianti
2025.03.17
Jakarta
Mengapa usulan revisi Undang-Undang TNI picu kekhawatiran publik? Personel Tentara Nasional Indonesia beraksi dalam perayaan HUT TNI ke-79 di kompleks Monumen Nasional di Jakarta, 5 Oktober 2024.
Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters

DPR RI telah mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan ketentuan yang dapat memperluas peran angkatan bersenjata dalam pemerintahan sipil – sebuah langkah yang menurut para kritikus dapat mengikis kemajuan demokrasi yang dicapai selama beberapa dekade terakhir.

Badan legislatif, yang sebagian besar dikendalikan oleh koalisi partai Presiden Prabowo Subianto – mantan jenderal yang memiliki hubungan dengan masa lalu otoriter Indonesia – telah memprioritaskan untuk memajukan RUU tersebut.

Revisi yang diusulkan dapat memperluas peran prajurit militer yang masih aktif untuk bertugas di lembaga pemerintah sipil. BenarNews tidak dapat memverifikasi laporan Reuters, yang mengutip pernyataan Menteri Pertahanan bahwa setiap pejabat militer harus pensiun dari dinas untuk menduduki jabatan sipil.

Analis dan aktivis mengatakan perubahan yang diusulkan dapat memperkuat pengaruh militer dalam birokrasi, melemahkan supremasi sipil dan pengawasan terhadap kekuatan militer.

Amandemen yang diusulkan terhadap Undang-Undang TNI tahun 2004 memperkenalkan beberapa perubahan yang bertujuan untuk memperluas peran militer di luar bidang pertahanan.

Undang-undang tahun 2004 itu sendiri merupakan reformasi penting yang mengurangi peran militer dalam urusan sipil. RUU ini mencabut representai politik angkatan bersenjata di parlemen dan secara resmi mengakhiri doktrin “dwifungsi” yang telah lama berlaku, yang memungkinkan militer untuk campur tangan dalam pemerintahan sipil.

Berikut adalah poin-poin penting terkait usulan revisi ini dan mengapa hal tersebut memicu reaksi keras.

Apa yang diusulkan dalam RUU TNI ini?

Pertama, menurut pasal 47 ayat (2) UU TNI, anggota TNI aktif hanya boleh menjabat di 10 kementerian dan lembaga sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun.

Kementerian tersebut antara lain Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan, Badan SAR, Badan Narkotika Nasional serta Mahkamah Agung.

Sementara dalam revisi UU TNI, pemerintah dan DPR sepakat untuk menambah enam kementerian lembaga yang bisa dijabat prajurit aktif TNI yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pemberantasan Terorisme, Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, serta Badan Nasional Pengelola Perbatasan.

ruu-2.jpeg

Prabowo Subianto, yang saat itu menjadi calon presiden Indonesia, menyapa para panglima militer dalam perayaan ulang tahun ke-67 Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat di Jakarta, 24 April 2019. [Willy Kurniawan/Reuters]

Namun, Reuters mengutip Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin yang mengatakan bahwa ketentuan baru telah ditambahkan ke rancangan undang-undang tersebut, di mana setiap perwira militer yang ditugaskan di kementerian atau lembaga negara, harus pensiun.

“Kami hanya dapat mengusulkan mereka untuk (ditugaskan ke) kementerian atau lembaga negara setelah mereka pensiun,” katanya kepada wartawan, menurut Reuters.

Klausul baru juga akan memberikan presiden kewenangan untuk menunjuk personel militer ke kementerian lain sesuai kebutuhan, menurut rancangan tersebut.

Revisi juga akan memperluas fungsi non-tempur militer, yang memungkinkan anggota untuk bertugas di lembaga yang menangani keamanan siber, penegakan narkotika, dan urusan dalam negeri lainnya.

Mengapa ini kontroversial?

Indonesia telah menghabiskan 25 tahun terakhir untuk membatasi keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan sipil.

Di bawah rezim Orde Baru Presiden Soeharto (1966–1998), angkatan bersenjata menjalankan doktrin dwifungsi, mengendalikan baik keamanan maupun administrasi pemerintahan.

Reformasi pasca-Soeharto bertujuan untuk membongkar struktur ini, memastikan bahwa perwira militer tetap berada di sektor pertahanan dan berada di bawah pengawasan sipil guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Para kritikus berpendapat bahwa RUU ini berisiko menghidupkan kembali dominasi militer dalam pemerintahan dengan memberikan lebih banyak pengaruh kepada perwira aktif dalam institusi sipil.

Perubahan yang diusulkan juga dapat mempengaruhi independensi dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh militer di mana imparsialitas sangat penting untuk memastikan keadilan, kata Virdika Rizky Utama, peneliti di lembaga pemikir PARA Syndicate yang berbasis di Jakarta.

“Bagaimana mungkin seorang perwira aktif yang ditempatkan di Kejaksaan Agung dapat bertindak independen, sementara ia masih tunduk pada perintah Panglima TNI? Bagaimana mungkin Mahkamah Agung bisa menjalankan prinsip keadilan, ketika hakimnya masih terikat pada hirarki komando yang menuntut kepatuhan absolut?” ujarnya.

“Ini bukan hanya soal jabatan dan institusi, ini adalah soal bagaimana hukum di negara ini akan ditegakkan. Jika militer memiliki kekuatan dalam sistem hukum, maka siapa yang akan mengadili mereka ketika mereka melakukan pelanggaran?”

ruu-3.jpeg

Presiden Indonesia kala itu, Suharto, didampingi oleh perwira militer saat ia memeriksa pasukan dari atas kendaraan pada Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 4 Oktober 1988. [Enny Nuraheni/Reuters]

Para aktivis juga berpendapat bahwa RUU tersebut akan meningkatkan kendali militer atas sektor-sektor nonpertahanan, termasuk ketahanan pangan dan proyek infrastruktur nasional.

Bagaimana dampaknya atas demokrasi Indonesia?

RUU tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang hubungan sipil-militer di negara yang telah bekerja keras untuk beralih ke demokrasi.

Kelompok HAM memperingatkan bahwa meningkatnya keterlibatan militer dalam pemerintahan dapat melemahkan kendali sipil dan mengaburkan batas antara pertahanan dan penegakan hukum.

Sebuah laporan oleh kelompok pengawas keamanan dan hak asasi manusia yang berbasis di Jakarta, Imparsial, menemukan bahwa, bahkan sebelum revisi RUU tersebut, setidaknya 2.569 perwira aktif bertugas dalam peran sipil, beberapa di antaranya di luar kerangka hukum.

Kekhawatirannya adalah bahwa memformalkan tren ini akan mempersulit pencabutannya di masa mendatang.

“Hal ini berisiko melemahkan prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat menyebabkan dominasi militer dalam birokrasi sipil,” kata Dimas Bagus Arya, koordinator kelompok hak asasi manusia KontraS.

Mengapa RUU tersebut dikritik tidak transparan?

Salah satu kritik terbesar terhadap RUU tersebut adalah cara pembahasannya yang tertutup, dengan sedikit masukan publik.

Draf terbaru diperkenalkan kurang dari sebulan yang lalu, menyusul surat dari Presiden Prabowo yang mendukung RUU tersebut kepada DPR.

Anggota parlemen mempercepat pembahasan, bertemu Jumat dan Sabtu lalu di sebuah hotel mewah di Jakarta – sebuah langkah yang tidak sesuai dengan kebijakan efisiensi pemerintah yang tengah diketatkan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyesalkan perlakuan petugas keamanan  yang mengeluarkan secara paksa dua aktivis yang hendak menyampaikan protes damai atas rapat tertutup RUU TNI di hotel tersebut.

“Padahal aksi berjalan damai, tidak menyerang orang maupun fasilitas acara,” ujar Usman dalam statemen yang diterima BenarNews.

“Janggal karena tidak transparan dan partisipatif, terburu-buru, berlangsung di saat libur akhir pekan, memakai hotel mahal. Mengapa tidak terbuka, partisipatif dan efisien dengan diadakan di hari-hari kerja dan bertempat di gedung wakil rakyat? Kecam Usman.

ruu-4.jpeg

Prabowo Subianto, yang saat itu berpangkat letnan jenderal, berpose dengan Mayjen Muchdi Purwopranjono, yang akan menggantikannya menjadi kepala pasukan khusus Indonesia (Kopasus), di Jakarta, 28 Maret 1998. [Reuters]

Pada hari Minggu, sebuah koalisi yang terdiri dari 186 organisasi masyarakat sipil mulai mengumpulkan tanda tangan untuk petisi menentang RUU tersebut, dan berhasil mendapatkan hampir 7.500 tanda tangan dalam waktu 24 jam.

Bagaimana pemerintah membenarkan RUU ini?

Menteri Sekretariat Negara Prasetyo Hadi membantah bahwa amandemen yang diusulkan akan menghidupkan dwifungsi ABRI dan membatalkan kemajuan demokrasi.

"Jangan itu kemudian dimaknai sebagai dwifungsi ABRI, tidak," ujar Prasetyo kepada wartawan.

Pemerintah dan DPR berpendapat bahwa RUU tersebut diperlukan untuk keamanan nasional dan modernisasi, sementara Kementerian Pertahanan mengatakan amendemen itu diperlukan untuk beradaptasi dengan ancaman modern, seperti perang siber dan kejahatan transnasional.

Sufmi Dasco Ahmad, wakil ketua DPR, menegaskan bahwa kekhawatiran tentang perluasan pengaruh militer dalam urusan sipil tidak pada tempatnya.

"Kami cermati bahwa di publik, di media sosial itu beredar draft-draft yang berbeda dengan yang dibahas di Komisi I DPR RI," kata Dasco dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/3) yang ditayangkan online.

"Tentang ada dwifungsi, TNI dan lain-lain, saya rasa kalau sudah lihat pasal-pasal itu sudah jelas bahwa kami juga di DPR akan menjaga supremasi sipil dan lain-lain, dan tentunya rekan-rekan dapat membaca nanti, dan dapat menilai tentang apa yang kemudian direvisi," ujarnya.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Anggota parlemen berencana menyelesaikan pembahasan RUU ini sebelum masa reses pada 21 Maret, menjelang libur Idulfitri. Dengan DPR yang sebagian besar dikendalikan oleh koalisi Prabowo, para kritikus khawatir bahwa RUU ini akan disahkan tanpa banyak perlawanan.

Kelompok masyarakat sipil menduga pengaturan waktu tersebut disengaja, mendorong RUU tersebut disahkan ketika perhatian publik kemungkinan besar akan teralih ke tempat lain.

Bagi banyak orang Indonesia, perdebatan tersebut adalah tentang masa depan demokrasi mereka.

Pakar Hukum Tata Negara dari sekolah hukum Jentera, Bivitri Susanti mengatakan dampak dari RUU ini merupakan keinginan untuk melegitimasi apa yang sudah dilakukan militer.

“Kebiasaan hari ini, UU dibuat untuk melegitimasi apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah,” kata Bivitri dalam sebuah diskusi akhir pekan lalu.

Ia menegaskan menempatkan pola pikir militer dalam sistem yang seharusnya demokratis pasti akan memiliki konsekuensi serius.

“Itu akan mengarah pada otoritarianisme.”

Arie Firdaus di Jakarta berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.