Indonesia Minta Jaminan Keamanan Dari Filipina

Lintang Sulastri and Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.06.24
Jakarta
160624-ID-sailor-follow-620.jpg Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan usai menghadiri rapat koordinasi di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, 24 Juni 2016.
Lintang Sulastri/BeritaBenar

Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengatakan, moratorium pengiriman kapal bermuatan batu bara akan diteruskan hingga ada jaminan keamanan di perairan Filipina dari pemerintah setempat.

Hal itu dikatakannya kepada wartawan usai menghadiri rapat koordinasi di Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) di Jakarta, Jumat, 24 Juni 2016.

Rapat yang dipimpin Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan dihadiri Kapolri Badrodin Haiti, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Kepala BIN Sutiyoso dan beberapa pejabat terkait.

Rapat digelar untuk membicarakan kasus penculikan dan penyanderaan tujuh anak buah kapal (ABK) oleh kelompok bersenjata yang diduga militan Abu Sayyaf di perairan Tawi-Tawi, Filipina Selatan, Senin, 20 Juni 2016.

“Moratorium kapal Indonesia untuk memasuki perairan Filipina masih berjalan, sampai ada jaminan dari pemerintah mereka untuk keselamatan kapal-kapal dan awak kapal tersebut," kata Retno.

Dia menambahkan kebanyakan kapal mengangkut batubara untuk memenuhi lebih dari 90 persen kebutuhan batubara di Filipina. Batu bara dipasok dari Kalimantan dengan menggunakan tug boat. Meski telah ada moratorium, pasokan batubara tampak tetap dilakukan.

Retno mengatakan rapat koordinasi juga memutuskan untuk mengaktifkan kembali Crisis Center dalam upaya pembebasan ketujuh sandera.

"Crisis Center sudah ada dan bekerja saat operasi pelepasan sandera dan untuk itu kami 'on' kan lagi. Kami juga akan mengintensifkan kembali komunikasi dengan pihak-pihak di Filipina dan Indonesia untuk menentukan langkah selanjutnya," jelasnya.

Masih mencari informasi

Retno menyebutkan hingga kini tujuh WNI yang disandera kelompok bersenjata Filipina belum diketahui keberadaannya. Para ABK itu, diculik dari dua kapal tug boat Charles 001 dan tongkang Robi 152 saat dalam perjalanan pulang ke Kalimantan dari Filipina.

“Kejadian yang ketiga kalinya ini sangat tidak dapat ditoleransi,” ujarnya, merujuk pada dua kasus penyanderaan yang sebelumnya dilakukan kelompok Abu Sayyaf terhadap 14 WNI pada Maret dan April lalu.

Menko Polhukam Luhut menambahkan, pemerintah masih mencari informasi kelompok yang menyandera, apakah kelompok Abu Sayyaf atau pecahannya. Dia juga menyatakan belum tahu motif di balik penculikan itu.

Namun menurut informasi yang beredar, pembajak menuntut uang tebusan sebesar 20 juta Ringgit atau sekitar US$4,9 juta atau hampir Rp65 miliar. Tidak ada konfirmasi dari pejabat terkait menyangkut tebusan yang diminta kelompok penyandera.

Luhut juga mengakui, pemerintah terlambat memverifikasi informasi tujuh ABK tersebut disandera padahal sudah disampaikan keluarga korban di Samarinda, pada 22 Juni 2016. Pemerintah baru menggelar rapat untuk merespon laporan itu, Jumat.

Luhut mengatakan, sejak kabar diperoleh pemerintah sebenarnya melakukan verifikasi dengan menghubungi berbagai pihak terkait. Tapi dari berbagai pihak yang dihubungi, belum ada yang membenarkan informasi penyanderaan tersebut.

"Karena dari BIN Filipina juga masih ragu sampai kemarin sore," katanya.

Menurut dia, sulitnya verifikasi telah membuat sejumlah pejabat terkait memberikan informasi keliru mengenai penyanderaan. Malah, Panglima TNI sempat menyebut kabar penyanderaan itu sebagai berita bohong.

Seperti diberitakan sebelumnya bahwa Dian Megawati Ahmad adalah orang pertama yang tahu peristiwa penyanderaan tujuh warga Samarinda. Suaminya yang jadi korban penyanderaan, Ismail, menelponnya langsung untuk memberitahu kejadian tersebut.

Patroli bersama belum terlaksana

Jurubicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir mengatakan bahwa rencana patroli bersama dalam rangka menjaga keamanan perairan perbatasan tiga negara, hingga kini belum terlaksana.

Rencana itu adalah salah satu dari empat kesepakatan pertemuan trilateral Indonesia, Filipina, dan Malaysia, di Yogyakarta pada 5 Mei 2016 lalu. Pertemuan diwakili ketiga Menteri Luar Negeri dan Panglima Angkatan Bersenjata dari masing-masing negara.

“Ketiga negara sedang dalam proses membahas standar prosedur operasionalnya, menyusul pertemuan di Yogyakarta waktu itu. Kami terus mendorong untuk bisa segera selesai,” ujar Arrmanatha kepada wartawan.

Pertemuan tersebut digelar setelah terjadi penyanderaan terhadap 14 WNI dan empat warga Malaysia dalam tiga penyergapan yang dilakukan Abu Sayyaf, Maret dan April 2016. Tetapi, ke-18 sandera telah dibebaskan dalam tiga gelombang pada Mei lalu.

Menko Polhukam Luhut mengatakan pemerintah sedang memikirkan pola pengamanan untuk menghindari berulangnya peristiwa penyanderaan. Apalagi ini kasus yang ketiga dialami warga Indonesia.

"Masih kita pikirkan seperti apa. Apakah dengan pengawalan kapal dari TNI, atau menempatkan personel TNI di kapal atau seperti apa, belum kami putuskan. Tapi ini mendesak untuk menghindari peristiwa penyanderaan,” ujar Luhut.

Kapolri Badrodin Haiti sependapat, pengamanan kapal-kapal perlu dilakukan. "Bisa juga kita libatkan militer Filipina untuk mengawal di jalur-jalur tertentu yang rawan. Tetapi ide ini perlu pembicaraan lebih lanjut dengan negara Filipina," katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.