Bekas Sandera Perompak Somalia, Masih Tak Percaya telah Bebas
2016.10.31
Jakarta

Memakai setelan kemeja lengan panjang putih dan celana hitam, empat pria berjalan ke depan. Belum sempat duduk, seorang lelaki paruh baya berambut gondrong memeluk Sudirman (24) – salah seorang dari empat pria itu.
Dialah ayah Sudirman. Sang anak pun membalas pelukan sang ayah yang tak pernah dilihatnya selama hampir lima tahun. Keduanya menangis.
Keluarga lain pun ikut menghampiri tiga pria lain yang berjalan beriringan dengan Sudiriman. Mereka ialah Adi Manurung (32) dan Supardi (34), dan Elson Pesireron (32).
Isak tangis pun pecah dalam ruang Pancasila, Kementerian Luar Negeri (Kemlu), di Jakarta, Senin siang, 31 Oktober 2016.
Sudirman, Adi, Supardi dan Elson adalah empat pelaut Indonesia yang ditawan perompak Somalia. Mereka merupakan bagian dari 26 sandera yang dibebaskan, 22 Oktober 2016, setelah melalui proses negosiasi yang panjang. Ke-22 sandera lainnya berasal dari Filipina, Kamboja, Thailand, China, dan Vietnam.
Mereka ditangkap saat kapal Taiwan Naham III, yang dikelola perusahaan Oman, dibajak di perairan dekat Kepulauan Seychelles, Samudera Hindia, 26 Maret 2012. Awak kapal saat itu berjumlah 29 orang. Sang kapten terbunuh dalam pembajakan, sedangkan dua lainnya, termasuk seorang warga Indonesia meninggal karena sakit selama penyanderaan.
“Sampai sekarang saya masih tak percaya (sudah bebas). Saya merasa ini seperti mimpi. Ini mukjizat,” ujar Sudirman sambil berusaha menahan tangis.
Hanya berdoa
Perwakilan keluarga, Semy Pesireron, menyatakan syukur atas kebebasan keempat sandera. Selama lebih dua tahun, keluarga mengaku tak pernah mendapatkan kejelasan informasi baik dari pemerintah maupun perusahaan.
Dia mengetahui kabar penyanderaan pada 2013. Sejumlah upaya dilakukan dengan cara menghubungi perwakilan keluarga di Batam dan Jakarta, tapi tidak membuahkan hasil.
“Selama ini, kami hanya bisa berdoa agar mereka diberikan kekuatan, ketabahan, dan jalan keluar. Ternyata doa kami dijawab,” ujarnya.
Awal tahun 2015, Semy dan keluarga lain didatangi pihak Kemlu guna memberikan informasi mengenai keberadaan sandera.
“Dari video amatir atau foto-foto kami tahu keadaan dan keberadaan mereka,” katanya.
Meski tebusan yang diminta perompak senilai US$4,5 juta tahun 2012, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Lalu Muhammad Ikbal, membantah adanya pembayaran tebusan dari pemerintah Indonesia.
“Tidak pernah ada tebusan yang dibayarkan,” tegasnya.
Pembajakan
Sudirman masih ingat betul aksi pembajakan itu. Saat itu seluruh kru selesai bekerja pukul 02.00 waktu setempat. Tiba-tiba, ia mendengar rentetan suara tembakan.
Perompak bersenjata menyasar seluruh ruang kapal. Terdengar beberapa tembakan yang mengakibatkan kapten kapal tewas.
“Ia tertembak di leher. Mayatnya tergeletak begitu saja di kapal, lalu mereka mengambil alih kapal,” tuturnya.
Para anak buah kapal berlarian tak tentu arah, menyelamatkan diri. Sebagian bersembunyi di ruang mesin, ruang penyimpanan ikan, dan dapur. Sudirman bersembunyi di dapur.
“Kemana saja kaki melangkah dan bisa bersembunyi asal tidak terlihat,” katanya.
Berbeda dengan Sudirman, Supardi memilih untuk bersembunyi dalam kamar.
“Saat itu gelap. Listrik dimatikan. Saya mendengar seseorang berteriak ‘masuk ke kamar, ayo cepat-cepat’,” ujarnya menirukan.
Sejam mendekam di kamar, Supardi dan seluruh kru ditangkap perompak dan dijadikan sandera.
Jarang diberi makan
Selama 1,5 tahun ditawan di laut dan 3 tahun di darat, Supardi menyebutkan, perompak memperlakukan awak kapal dengan kejam. Mereka sering dipukul dan disiksa.
“Saya pernah dipukul pakai gagang senjata laras panjang,” ujarnya.
Sudirman mengisahkan para sandera jarang diberikan makanan dan minuman layak. Setiap harinya, kegiatan mereka hanya memasak tapi hanya diberikan makan sekali sehari.
“Itupun sisa makanan perompak, malam masak lagi buat pagi. Jadi makanan sudah basi. Siang tak dikasih makan. Malam hanya nasi dan kacang merah, seadanya. Kita syukuri,” jelasnya.
Ketika sudah di darat, tak jarang bila lapar, banyak sandera yang memakan tikus, burung dan kucing hutan secara diam-diam. Jika ketahuan, ujarnya, perompak mengikat tangan dan kaki mereka di belakang, lalu digotong pakai bambu.
“Seperti binatang saja kita,” kata Sudirman.
Keadaan diperparah dengan kondisi Somalia yang gersang dan tak pernah turun hujan. Sudirman bercerita sandera hanya diberikan 1 gelas air sekitar 0,5 liter dalam sehari.
Jika hujan turun, sandera diperintahkan menggali lubang tanah untuk menampung air untuk diminum.
“Itu air tak layak karena penampungannya bercampur kotoran kambing dan unta. Kami minum mentah karena jika dimasak semakin bau. Jika minum kami ingin memuntahkan kembali,” akunya.
Rajin beribadah
Meski sempat putus asa, beberapa sandera tak pernah hilang keyakinan pertolongan Tuhan pasti datang.
Supardi mengaku terus beribadah puasa tanpa putus selama 4,5 tahun ditawan kendati dalam keadaan susah payah.
“Memang makanan juga sulit tapi saya Muslim dan saya tak hilang keyakinan,” ujarnya.
Berbeda dengan Supardi, Sudirman sempat kehilangan keyakinan karena kebenciannya pada perompak.
“Saya tidak pernah bersujud karena iman saya habis kala itu. Para perompak Muslim dan seharusnya sesama Muslim dilarang menyakiti,” tegas Sudirman.
“Namun nyatanya mukjizat itu masih ada. Saya akan bertobat nanti.”