Sejumlah Kalangan Protes Nyepi Tanpa Internet di Bali
2018.03.16
Denpasar

Sejumlah kalangan memprotes imbauan mematikan Internet selama Nyepi, karena hari raya umat Hindu pada Sabtu, 17 Maret 2018, dinilai sebagai urusan personal, bukan sesuatu yang dipaksakan.
Salah satu pihak yang memprotes mematikan Internet untuk pertama kali dilakukan di Pulau Dewata adalah Gede Pasek Suardika, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Bali.
“Jujur saya kaget dengan logika pemangku kepentingan agama ketika aspek Internet dijadikan dasar Catur Brata Penyepian sehingga harus dimatikan,” katanya, Jumat.
Usulan mematikan Internet datang dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, yang kemudian dibahas bersama pihak terkait seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gubernur Bali, dan lain-lain.
Hasilnya, mereka sepakat menyerukan agar penyedia jasa Internet mematikan data selulernya selama pelaksanaan Nyepi.
Saat Nyepi, Bali ‘berhenti total’ selama 24 jam sejak pukul 6 pagi hingga keesokan hari. Tidak ada aktivitas di luar ruangan sama sekali.
Semua lampu mati, terutama yang di luar rumah. Siaran televisi juga dimatikan. Bahkan, Bandara I Gusti Ngurah Rai pun tidak beroperasi.
Menurut Pasek, jika alasannya orang berswafoto di jalan saat Nyepi, itu seharusnya urusan pecalang (pengaman adat Bali) yang bertugas.
“Sebaiknya latih dan bina pecalang agar bisa mencegah orang selfie. Berikan pula kesadaran beragama bagi umat agar tidak melanggar Catur Brata Penyepian,” katanya.
Dengan mematikan layanan Internet saat Nyepi, mantan wartawan itu melanjutkan, komunikasi dan transaksi lintas negara terkait dengan Bali akan terganggu. Email-email tidak bisa terkirim untuk bookingan hotel dan itu berdampak pada pariwisata.
“Lagi pula di kitab suci mana yang menyatakan Internet bagian yang dilarang? Tafsir overdosis seperti ini seperti limbah sosial dari serangkaian aksi yang banyak juga dilakukan oknum-oknum tertentu mengatasnamakan agama,” ujarnya.
Pasek juga mempertanyakan apakah imbauan tersebut hanya berlaku di Bali atau juga umat Hindu lain di luar Bali, seperti Tenggar, Gunung Jidul, Lombok, dan lain-lain.
“Agama memang memerlukan lingkungan yang baik untuk bisa tumbuh kembang, tapi juga jangan lebay memaksakan pemahaman pribadi atas nama kelembagaan untuk hal-hal konyol,” kata Pasek.
Tanggapan beragam
Di kalangan umat Hindu Bali, seruan itu disikapi beragam. Diah Dharmapatni, misalnya, mengaku mendukung imbauan tersebut.
“Sudah tiga tahun ini saya tidak menghidupkan ponsel ataupun laptop saat Nyepi,” akunya.
Karena itu, Diah setuju dengan imbauan mematikan Internet saat Nyepi.
Mereka yang melakukan Nyepi perlu fokus karena banyak informasi yang beredar di Internet.
“Tapi ini alasan personal saja. Ada atau tidak ada internet, saya sendiri mematikan perangkatnya saat Nyepi,” ujar warga Gianyar itu.
Sementara Mega Pratiwi, warga lain, tidak setuju seruan mematikan Internet selama Nyepi.
Saat Nyepi dia mengaku biasanya masih mengakes Internet terutama untuk ngobrol (chatting) dan bermedia sosial secara terbatas.
“Bukan cuma saya yang tidak setuju. Bapak ibu dan adik-adik juga tidak setuju kalau Internet dimatikan saat Nyepi,” ujar anak pertama dari tiga bersaudara itu.
Dwitra Ariana, warga Bangli, mengatakan bahwa imbauan mematikan Internet saat Nyepi berlebihan.
“Tidak ada larangan berkomunikasi saat Nyepi. Yang ada hanya larangan empat hal sebagaimana selama ini sudah dilaksanakan,” katanya.
Menurut petani dan pembuat film itu, Nyepi adalah momen mengendalikan diri, bukan orang lain.
“Wajar menutup jalan saat Nyepi karena itu bisa mengganggu pelaksanaan Catur Brata Penyepian, tetapi Internet kan beda. Orang yang tidak ingin terganggu tinggal mematikan Internet di HP atau komputer masing-masing. Bukan dengan dipaksa,” ujarnya.
Terhadap semua protes itu, Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana berkomentar, “Kami tidak memaksa. Ini kan hanya seruan. Kalau ada umat yang tidak setuju, ya, itu wajar. Lagian (Nyepi tanpa Internet) ini kan untuk kepentingan alam semesta.”
Tiga alasan
Sudiana menambahkan, ada tiga alasan kenapa mereka mengusulkan agar Internet dimatikan selama Nyepi.
Pertama, beberapa kali Nyepi sebelumnya sempat dinodai maraknya berita palsu (hoax) yang menimbulkan keributan.
Dua tahun silam, misalnya, terjadi perusakan sebuah toko di Kuta, Badung, karena beredar kabar pemilik toko membuat tulisan di Facebook yang dianggap menghina umat Hindu Bali saat merayakan Nyepi.
Pemilik akun Facebook itu sudah membantah dia menulis hal tersebut. Namun, toko miliknya di Kuta sudah dirusak massa.
Alasan kedua, kata Sudiana, jika masih ada Internet, umat yang melaksanakan Nyepi masih tidak lepas dari godaan.
Saat Nyepi, umat Hindu biasanya melaksanakan Catur Brata Penyepian atau empat hal yang tak boleh dilakukan yaitu tidak menyalakan api (amati geni), tidak bekerja (amati karya), tidak berpergian (amati lelungan), dan tidak bersenang-senang (amati lelanguan).
“Jika ada Internet, kami khawatir umat bisa tergoda karena justru konsentrasi pada HP (ponsel),” kata Sudiana, yang juga Rektor Universitas Hindu Indonesia (Unhi).
Ketiga, Sudiana menambahkan, alam Bali butuh suasana sepi selama Nyepi. Secara kasat mata memang tidak ada kegiatan apa-apa, tetapi di dunia maya sering masih terjadi saling hujat.
“Itu juga polusi yang bisa mengubah makna Nyepi. Karena itu Internet juga perlu diliburkan selama Nyepi untuk mengurangi kebisingan di dunia maya,” ujarnya.