Sentimen Anti-Gay Dinilai Persulit Penanggulangan HIV/AIDS

Kementerian Kesehatan mengatakan program penanggulangan HIV/AIDS ditujukan untuk seluruh kalangan tanpa diskriminasi.
Zahara Tiba
2017.08.15
Jakarta
170815_ID_Conq_1000.jpg Polisi menggiring sejumlah pria yang ditangkap karena diduga melakukan pesta gay di Jakarta, 22 Mei 2017.
AFP

Suasana sebuah perkantoran di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada suatu hari pertengahan tahun 2015 ramai. Puluhan orang berkumpul untuk menikmati episode perdana Conq, sebuah webseries yang berkisah tentang perjuangan kelompok homoseksual di Jakarta.

Episode itu tak hanya menjadi suara hati kaum gay di Jakarta, tapi juga terselip pesan tentang pentingnya kesadaran ancaman HIV/AIDS di kalangan mereka.

Cerita mengisahkan tentang Ruang Carlo, tempat tes dan pengobatan penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, dan pasien yang divonis menderita HIV/AIDS.

“Saya dengar setelah acara itu, Ruang Carlo mengaku kebanjiran pasien gay yang mau tes HIV. Awareness mereka ternyata tinggi,” ujar Amahl S. Azwar, seorang penulis, kepada BeritaBenar, Minggu, 13 Agustus 2017.

Amahl yang juga Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) merupakan salah satu peserta yang hadir pada acara nonton bersama itu.

Namun setelah Conq mendapat perhatian publik, sebagian masyarakat merasa gelisah. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun mengancam akan membentuk panitia khusus dan meminta agar webseries tidak diproduksi lagi. Conq berakhir pada episode kesembilan.

Amahl yang akrab dipanggil Mahel menyayangkan sentimen anti-LGBT. “Padahal banyak orang yang akhirnya sadar akan kesehatan diri sendiri lewat acara ini,” ujarnya.

Mahel mengaku sering dicurhati pembaca blog-nya yang kerap membahas tentang kehidupan ODHA.

Tindakan represif aparat keamanan juga dinilai menyuburkan sentimen anti-LGBT, terutama terhadap kaum gay, sehingga disebut dapat menghalangi upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS.

Mahel mencontohkan penggerebekan klub gay di kawasan Jakarta Utara, oleh pihak kepolisian, 22 Mei lalu. Saat itu, 141 pria yang diduga gay ditangkap polisi. Dari jumlah itu, sepuluh orang dijerat pasal pornografi dan sisanya dibebaskan.

“(Tindakan) ini hanya menakut-nakuti gay. Padahal di tempat-tempat seperti ini biasanya para aktivis LGBT dan HIV/AIDS berjuang menanggulangi penyebaran penyakit melalui kampanye,” tambah Mahel.

Kasat Reskrim Polres Jakarta Utara, AKBP Nasriadi, mengatakan kepada BeritaBenar bahwa penggerebekan tempat kebugaran itu dilakukan karena menggelar pertunjukan penari telanjang pria bertajuk The Wild One.

“Dari informasi masyarakat, kami akhirnya ke lokasi dan ternyata benar di situ sedang digelar pesta pertunjukan striptis kaum gay,” katanya, seraya menambahkan pertunjukan itu direkam dan disiarkan melalui media sosial.

Menurut Mahel, kampanye yang dilakukan organiasi non-pemerintah dinilai penting dalam membantu pemerintah menyadarkan publik akan bahaya HIV/AIDS.

Dia memuji langkah Kementerian Kesehatan dalam memerangi HIV/AIDS.

“Obat-obatan gratis karena ditanggung BPJS Kesehatan, rumah sakit ada. Tinggal niat untuk tes saja,” ujarnya.

Kemunduran

Aktivis LGBT, Hartoyo mengatakan upaya pemberantasan HIV sering dianggap bukan persoalan kesehatan seiringi munculnya sentimen anti-gay.

“Lebih kepada soal moral. Penggerebekan-penggerebekan itu adalah tantangan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS,” katanya kepada BeritaBenar.

Hartoyo meminta polisi untuk jangan lagi melakukan penggerebekan seperti itu, karena tidak menguntungkan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

“Nanti dampaknya upaya penanggulangan AIDS juga susah. Diskusi-diskusi jadi tertutup, tidak boleh dipublikasi,” ujarnya.

“Sementara virus ini terus berkembang, semakin tertutup virus ini untuk bisa dikontrol. Padahal yang terinfeksi bisa siapa saja. Virus ini tak beragama, tidak berorientasi seksual, tidak bersuku, tidak berbangsa.”

Aktivis HIV/AIDS yang juga seorang psikolog, Baby Jim Aditya, menilai masalahnya justru dimulai dari cara pandang publik dalam melihat kaum gay.

“Segala hal yang menyangkut seksualitas tidak dibicarakan secara jernih, sehingga informasi tentang perbedaan orientasi seks susah disampaikannya. Lalu kita bahas tentang HIV/AIDS pada kelompok berbeda. Stigma dan diskriminasinya semakin sulit dipahami,” katanya.

Diskriminasi, menurut Baby, yang menempatkan kaum homoseksual menjadi bulan-bulanan masyarakat sehingga dituduh penyebar HIV/AIDS.

“Kelompok homoseksual disingkirkan, karena dianggap tidak normal. Padahal jumlah carrier HIV/AIDS di kalangan heteroseksual yaitu dari laki-laki yang menularkan ke perempuan dan dari perempuan yang menularkan ke laki-laki jauh lebih tinggi,” ujarnya.

Survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2005 menunjukkan 3,7 persen penyebaran HIV/AIDS terdapat di kalangan homoseksual, sementara 51,5 persen di kalangan heteroseksual.

Sedangkan survei lain yang dilakukan Komisi Penanggulangan AIDS menunjukkan prevalensi HIV kaum homoseksual meningkat dari 5,4 persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen pada 2015.

The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) mencatat sekitar 690 ribu orang terjangkit HIV di Indonesia tahun 2015.

Tanpa diskriminasi

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Wiendra Waworuntu, mengatakan program penanggulangan HIV/AIDS ditujukan untuk seluruh kalangan masyarakat.

“Tanpa diskriminasi,” ujarnya saat dikonfirmasi BeritaBenar, “termasuk untuk populasi kunci seperti penjaja seks, MSM (men who have sex with men), waria, dan pengguna NAPZA (narkotika, psikotropika, zat Aditif).”

Wiendra mengatakan dengan ada penggerebekan dan sentimen anti-LGBT, upaya melibatkan komunitas dalam pendampingan kelompok itu perlu ditingkatkan.

“Agar informasi terkait HIV/AIDS dan komunikasi perubahan perilaku dapat disebarluaskan dan dipahami dengan baik. Dengan demikian, LGBT dapat meningkatkan “health seeking behaviour” mereka, serta menerapkan perilaku hidup sehat dan bersih,” urainya.

Wiendra menambahkan, hambatan penanggulangan HIV/AIDS umumnya lebih pada kondisi geografis, dimana Indonesia sangat luas.

“Sehingga sosialisasi dilakukan akan lebih efektif jika secara berjenjang sesuai kewenangan. Selain itu juga perlu melibatkan lintas sektor, lintas program terkait dan komunitas,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.