Warga Kenang Setahun Pembunuhan Aktivis Salim Kancil

Bupati Lumajang menegaskan, telah menghentikan segala bentuk penambangan pasir ilegal di pesisir, tapi mengizinkan dilakukan di sungai.
Heny Rahayu
2016.09.27
Malang
160927_ID_SalimKancil_1000.jpg Suasana pelepasan lampion pada puncak peringatan mengenang setahun pembunuhan Salim Kancil di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, 26 September 2016.
Yudi/BeritaBenar

Aktivis lingkungan Salim Kancil mungkin telah tewas setahun lalu di tangan mereka yang tidak senang akan perjuangannya melawan pertambangan ilegal, namun perjuangannya tampaknya tidak sia-sia.

“Renungan Cinta untuk Lumajang” peringatan untuk mengenang perjuangan Salim yang dibunuh karena berusaha menjaga kelestarian kawasan pantai Watu Pecak di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, digelar Senin malam, 26 September 2016, tepat setahun ketika dia ditemukan di tengah jalan dalam keadaan tewas setelah dianiaya sekelompok orang.

Seribuan pemuda, mahasiswa, aktivis lingkungan hidup, dan warga meriung di depan pendapa Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Senin malam itu.

Mereka menyalakan lilin dan lampion sambil duduk beralaskan terpal di depan panggung untuk mengenang setahun pembunuhan aktivis anti-tambang itu.

Tahlil dan doa dibacakan, dilanjutkan dengan pertunjukan seni budaya dan orasi.

“Salim Kancil adalah inspirasi bagi kita semua. Menginginkan pesisir Lumajang tetap hijau untuk kesejahteraan masyarakat,” kata panitia penyelenggara yang sekaligus Koordinator Laskar Hijau Lumajang, Abdullah Al Kudus.

Kegiatan itu juga, tuturnya, untuk merawat ingatan bahwa Salim dibunuh oleh kesewenangan mafia tambang. Semasa hidup, Salim memimpin Forum Komunikasi Peduli Pesisir Lumajang untuk mencari keadilan.

Menurut Abdullah yang lebih dikenal dengan panggilan Aak, peringatan mengenang kasus yang menimpa Salim juga digelar di beberapa tempat seperti Jakarta dan Yogyakarta.

“Ia (Salim) rela kehilangan nyawa dalam mempertahankan komitmen untuk menjaga kelestarian pesisir Lumajang. Salim tegas menolak tambang dan memilih pesisir untuk pertanian dan wisata,” ujar Aak.

Kematian Salim mendapat simpati dari berbagai penjuru Indonesia.

Dua dalang pembunuhan Salim – Kepala Desa Selok Awar Awar, Hariyono, dan Madasir – Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) – telah divonis 20 tahun penjara. Beberapa terdakwa lain juga telah divonis hukuman penjara yang bervariasi. Namun ada belasan yang ikut dalam pengeroyokan tahun lalu belum terjamah hukum.

Penambangan pesisir dihentikan

Bupati Lumajang, As’at Malik dalam sambutan menegaskan, telah menghentikan segala bentuk penambangan pasir ilegal, terutama di pesisir. Tapi, ia menyebutkan penambangan pasir hanya diizinkan dilakukan di sungai.

Tosan, rekan Salim yang juga menjadi korban penganiayaan menuntut agar Pantai Watu Pecak dikembalikan fungsinya.

Ia juga berharap agar lingkungan di pesisir Lumajang kembali seperti sedia kala. Lubang-lubang bekas penambangan ditimbun, termasuk mengembalikan fungsi sawah di sekitar pantai.

“Kembalikan lingkungan kami seperti dulu,” ujarnya.

Istri mendiang Salim, Tijah, menyampaikan terima kasih karena telah menghormati perjuangan suaminya. Dia berharap agar pengorbanan Salim tak sia-sia.

“Pak Salim Kancil telah mengorbankan nyawanya, jangan sampai menyusul Salim Kancil lain,” katanya dengan suara tercekat sambil berusaha menahan tangis.

Peringatan setahun kematian Salim juga diwarnai dengan pertunjukan musik, pembacaan puisi dan aksi teaterikal yang menceritakan perjuangan dan pengorbanan almarhum.

Wildan dan Ali Melon, dua pemuda lokal, menyanyikan lagu yang terinspirasi dari pengorbanan Salim.

Selain itu ada juga orasi Eko Chayono, yang merupakan Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menuntut agar pelaku penambangan liar diusut tuntas, tak hanya pelaku lapangan, namun jejaring lebih besar dan lebih luas.

Ia berharap kawasan pesisir direhabilitasi. “Lebih baik untuk wisata, bukan untuk penambangan yang merusak lingkungan,” ujarnya.

Peringatan setahun kematian Salim berakhir pukul 24.00 WIB yang ditutup dengan pelepasan lampion.

“Semoga peringatan kematian Salim bukan serimonial semata, tapi tonggak untuk memperbaiki tata kelola pertambangan di Lumajang,” ujar Aak.

Salah urus pertambangan

Direktur Eksekutif  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto, menyatakan akar konflik tambang yang berujung dengan pembunuhan Salim akibat salah urus tambang dan tata kelola tanah di daerah.

Pertambangan yang sebelumnya diatur pemerintah pusat dialihkan ke pemerintah daerah. Akibat dari kebijakan itu, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Jawa Timur meningkat drastis.

Dalam rencana strategis Dinas Energi Sumber Daya Mineral Jawa Timur 2015-2019 mencatat sampai 2013 tercatat 356 izin. Selain itu sebanyak 442 izin diterbitkan bupati dan walikota.

“Jumlah izin yang sangat fantastis, ini menjadi salah satu biang masalah konflik di Jawa Timur,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Dia juga menyebutkan, penanganan kasus pembunuhan Salim banyak kejanggalan dan jauh dari rasa keadilan karena dianggap kriminal biasa sehingga mata rantai mafia pertambangan dan kerusakan lingkungan tak diusut.

“Ada 13 pelaku pengeroyokan dan penganiayaan yang masih bebas dan belum diadili,” katanya, "jika masih ada ketidakadilan, kasus serupa bakal terulang.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.