Mengenang Setahun Teror Thamrin
2017.01.17
Jakarta

Sesaat mata Denny Mahieu menatap kosong ke arah pos polisi yang terletak sekitar 30 meter dari tempat duduknya.
“Saya heran masih hidup. Masih bisa ngobrol sama Anda-Anda,” ujar lelaki 49 tahun itu kepada wartawan di depan gerai Starbucks bilangan Jalan Thamrin, Jakarta, saat berlangsung kegiatan “Mengenang Setahun Teror”, Sabtu, 14 Januari 2017.
Anggota polisi lalu lintas Daerah Metro Jaya itu masih ingat betul ketika ledakan bom setahun lalu menghancurkan pos tempatnya bertugas.
Denny persis berada di lokasi ketika batinnya mengatakan ada sesuatu dengan pos polisi. Saat itu, dia tengah memberi petunjuk arah kepada seorang pengendara sepeda motor.
Mengecek kondisi, Denny menyeberangi jalan dan masuk ke pos. Terdengar bunyi berdetik, yang diikuti suara seperti petasan sebelum akhirnya dentuman menghancurkan posnya.
“Saya masih sadar ketika saya tahu saya terluka. Lalu saya dibawa ke rumah sakit,” kenangnya.
Dia baru mengetahui telah terjadi aksi teror yang menyebabkan delapan orang tewas, termasuk empat pelaku, setelah berada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
“Heran masih bisa hidup. Padahal bom meledak di dalam (pos), sementara orang-orang di luar meninggal,” ujar Denny.
Usai kejadian itu, Denny naik pangkat menjadi inspektur dua. Dia kini ditempatkan di bagian administrasi Polda Metro.
“Sebelumnya saya sudah coba sepuluh kali untuk naik pangkat. Tapi baru di pos Sarinah bisa,” tuturnya.
Pos itu kini kembali berdiri kokoh, namun bagian kanan tubuh Denny cacat permanen. Sebagian daging di lengan bagian atas, betis dan paha kanan hancur, meninggalkan luka parut keriput.
Dia mengaku telinga kanannya sudah tak bisa mendengar, sementara kepalanya masih merasa sakit.
Denny harus mengonsumsi obat pereda nyeri dan menggunakan jasa pijat tradisional teratur untuk membantu meringankan rasa nyeri. Semua biaya harus ditanggungnya.
“Saya dirawat sebulan. Setelah keluar dari Cipto, saya dirawat di rumah saya. Untuk perawatan di rumah sakit, tidak ada biaya. Tapi yang paling besar adalah biaya perawatan jalan. Saya harus mengeluarkan sendiri,” jelasnya.
Denny Mahieu, anggota polisi lalu lintas yang merupakan korban aksi teror memperlihatkan bekas luka kepada wartawan di Jakarta, 14 Januari 2016. (Zahara Tiba/ BeritaBenar)
Fotografer
Aksi teror di jantung ibukota juga meninggalkan memori kelam bagi pekerja media, seperti Veri Sanovri.
Fotografer kantor berita Xinhua, China, tersebut adalah jurnalis yang mengabadikan aksi Afif alias Sunakim – seorang pelaku yang menenteng pistol sebelum ditembak mati oleh polisi.
Pagi 14 Januari 2016, Veri tiba di tempat biasa fotografer di Jakarta berkumpul, di belakang pos polisi Bundaran Hotel Indonesia. Tepat pukul 10.05, mereka mendengar bunyi dentuman keras, dua kali.
Meski demikian, ia tak menaruh curiga karena pembangunan proyek MRT sudah berjalan.
“Saya kira bunyi alat berat dari proyek,” ujar Veri kepada BeritaBenar.
Tapi situasi berubah panik saat petugas kepolisian di pos itu berhamburan mengendarai sepeda motor mereka. Para fotografer yang berkumpul mendapat kabar ada ledakan di Sarinah.
Mereka bergegas ke lokasi dan melihat mayat hangus masih mengepul di tengah Jalan Thamrin. Veri mengabadikan kejadian itu dan mencari sudut foto lain.
Langkahnya terhenti ketika terdengar bunyi tembakan dari tengah Jalan Thamrin. Veri memilih berlindung di balik panel listrik di depan Starbucks.
Afif yang menembakkan beberapa peluru dari senjatanya, berjalan dengan moncong senapan mengarah ke Veri.
“Saya yakin mati saat itu,” kenangnya.
Tuntutan pekerjaan mengingatkan Veri agar tetap mengabadikan gerak-gerik tersangka teroris. Beruntung, Afif berbelok ke arah Hotel Sari Pan Pacific.
Veri segera melarikan diri dan mencari tempat aman untuk mengirim foto, hasil jepretannya. Salah satunya foto Afif tengah mengarahkan moncong senjata yang lantas jadi viral di media massa dan media sosial.
Veri mengaku waktu itu tak tahu jika ada tiga tersangka lain yang terlibat bakutembak dengan polisi.
Beberapa hari usai kejadian, dia memilih menjauh dari Jakarta.
“Kita nggak tahu kan kalau ada pihak ternyata tidak senang sama foto itu,” ujar Veri.
‘Harus bersatu’
Peringatan Setahun Aksi Teror di Jalan Thamrin dihadiri korban dan para keluarga korban, serta sejumlah penyintas terorisme lain yang tergabung dalam Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), dan perwakilan Aliansi Indonesia Damai (AIDA).
Aksi diwarnai dengan tabur bunga di depan pos polisi, pembacaan sikap, serta membagikan selebaran yang mengajak masyarakat memerangi bahaya terorisme.
Ketua AIDA, Hasibullah Satrawi mengatakan penting menjaga perdamaian demi memberantas aksi terorisme yang dapat mengoyak kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Masyarakat harus bersatu mewujudkan kehidupan yang aman dan damai di negeri tercinta ini,” katanya.
“Kami mengajak masyarakat mengantisipasi aksi terorisme. Tanpa kesigapan dan peran semua pihak, aksi terorisme bisa terjadi kapanpun dan menimpa siapapun."
Dalam pernyataan sikap yang dibaca secara bergantian, mereka mendesak pemerintah untuk memberikan perhatian lebih besar dan konkrit bagi korban terorisme dengan seluruh dampak yang dialami.
Caranya mengalokasikan anggaran untuk memulihkan kondisi korban dalam jangka waktu yang memadai.
"Pengobatan belum tuntas, terutama untuk psikologis para korban," kata juru bicara komunitas Sahabat Thamrin, Dwieky Siti Rhomdoni.