Pengamat: Dagelan Politik, Jika Setya Novanto Kembali Jadi Ketua DPR
2016.11.29
Jakarta

Kalangan pengamat dan aktivis menyatakan jika Setya Novanto kembali menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), itu adalah wujud “dagelan politik” karena Ketua Umum Partai Golkar itu dinilai “cacat secara moral”.
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menyebutkan Setya seharusnya tak lagi duduk sebagai Ketua DPR karena pernah terlibat dalam kasus memalukan, yang dikenal dengan “Papa Minta Saham”.
"Cacat secara etis," kata Donal pada BeritaBenar di Jakarta, Selasa, 29 November 2016.
"Kembalinya Setya juga makin menurunkan kepercayaan publik terhadap partai politik dan DPR."
Hal senada juga disampaikan pengamat hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari.
"Bagaimana orang yang memiliki rekam jejak tak baik kembali jadi Ketua DPR?" ujarnya. "Ini semakin meyakinkan publik bahwa DPR berisi orang-orang bermasalah."
Sehari sebelumnya, pada Senin, 28 November 2016, Partai Golkar telah mengadakan pertemuan internal yang memutuskan mengembalikan kursi Ketua DPR kepada Setya dalam rapat di Bakrie Tower.
"Dewan Pembina dan Dewan Pengurus Pusat menyetujui Ade Komarudin digantikan Setya Novanto," kata Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie, seperti dikutip dari laman Liputan6.
Ade akan ditempatkan di jabatan baru. Hanya saja, pimpinan Partai Golkar belum menyebutkan posisi tersebut.
Disetujui-tidaknya Setya Novanto sebagai ketua DPR akan ditentukan dalam rapat paripurna DPR yang hingga kini jadualnya belum ditentukan.
Setya mundur dari Ketua DPR pada 16 Desember 2015, setelah diduga meminta 20 persen saham PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sebelum Setya mundur, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR sempat menggelar sidang kasus dugaan pelanggaran kode etik, yang menjadi perhatian publik tanah air.
Bahkan, Kejaksaan Agung pernah pula memeriksa Setya terkait dugaan pemufakatan jahat. Namun, pengusutan kasus itu terhenti dan tak ada tindak lanjut.
Setya dalam beberapa kali pernyataan membantah semua tudingan yang dialamatkan padanya.
Meredam tekanan politik
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menyatakan, bila Setya kembali jadi Ketua DPR, itu bakal mampu meredam tekanan politik terhadap pemerintah.
"Saya rasa, Istana bakal semakin nyaman," ujarnya.
Salah satu tekanan itu, terang Hendri, adalah kemungkinan menggunakan DPR sebagai alat untuk menggulingkan pemerintah oleh segelintir kelompok.
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), misalnya, sempat menemui Ade Komarudin dan pimpinan DPR lain pada 17 November 2016.
Ketika itu, GNPF-MUI meminta DPR menggunakan hak konstitusinya memanggil dan meminta penjelasan Jokowi terkait respons Presiden sehubungan demonstrasi 4 November, untuk menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ditangkap atas dugaan menistakan agama Islam.
"Ada kekhawatiran terhadap aksi Bela Islam. Jadi, ini (penggantian Ketua DPR) untuk penguatan pemerintahan Jokowi," kata Hendri.
"Ade Komarudin yang merupakan mantan aktivis Islam dinilai dekat dengan organisasi kemasyarakat berbasis Islam."
Tak berbeda penilaian pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar, yang menyebut tekanan politik terhadap pemerintah bisa dilemahkan jika Setya kembali menduduki posisi Ketua DPR.
Pasalnya Setya lebih memiiki dukungan kongkret pada pemerintah dibanding Ade.
"Jadi, ini mengamankan pemerintahan Jokowi lah," katanya.
Intervensi pemerintah?
Kabar Setya kembali menjadi Ketua DPR kencang berhembus setelah ia bertemu Jokowi di kompleks Istana Merdeka, Selasa pekan lalu.
Seusai bertemu Jokowi, Setya mengatakan, mereka hanya membahas soal kasus dugaan penistaan agama Ahok.
Perihal "jalan mulus" bagi Setya ke puncak pimpinan DPR dinilai pengamat Hendri dipicu intervensi Jokowi.
"Gampang kebaca, kok," ujarnya.
Ia mencontohkan tak ada respons dari Jokowi soal rangkap jabatan yang bakal diemban Setya – menyandang dua posisi penting, yaitu Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar.
Padahal, kata Hendri, Jokowi selama ini sangat keras terhadap politikus yang merangkap jabatan publik.
"Tapi ini Jokowi aman-aman saja. Artinya, Jokowi itu tak masalah," ujar Hendri.
Namun demikian, Jokowi membantah dirinya mengintervensi kembalinya Setya menjadi Ketua DPR.
Menurutnya, apa yang terjadi dengan Setya adalah dinamika internal Partai Golkar dan DPR.
“Itu urusannya Partai Golkar, dan itu urusannya internal DPR,” tegasnya seperti dikutip dari laman setkab.go.id, Selasa pekan lalu.
Dia menambahkan dasar hukum penetapan Ketua DPR adalah rapat paripurna DPR.
“Itu wilayahnya di wilayah DPR,” tegas Jokowi.