Siman, Perintis Gunung Batu Jadi Hutan Lestari

Kusumasari Ayuningtyas
2016.03.24
Wonogiri
160324_ID_hutan_1000 Siman berdiri di bawah rimbunan pohon di hutan lestari yang dirintisnya di Desa Selopuro, Kecamatan Batuwarno, Wonogiri, Jawa Tengah, 23 Maret 2016.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Sejak masih duduk di bangku Sekolah Rakyat tahun 1962, Siman telah menanam bibit jati dan mahoni di gunung batu dekat rumahnya. Saat itu, usianya 14 tahun.

Dia melakukannya untuk mengisi kegiatan hari Krida, yaitu hari untuk latihan keterampilan, olahraga, kesenian dan kegiatan lainnya, sekali seminggu.

Menanam pohon menjadi kebiasaan Siman dan terbawa hingga belajar di SMEP (setingkat SMP). Tapi akhirnya terhenti pada 1967 saat Siman, yang tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi karena orangtuanya tak ada biaya, memutuskan untuk merantau ke Sumatra Selatan, Lampung, Jakarta dan Solo.

"Saya punya pedoman, sebelum menikah harus punya pengalaman hidup di daerah lain dan kembali menetap di desa setelah menikah," Siman menuturkan saat ditemui BeritaBenar, Rabu, 23 Maret 2016.

Pada 1972, Siman yang telah puas melanglang buana mencari pengalaman hidup, pulang ke tanah kelahirannya untuk menikah dengan Sartini. Mereka tinggal di Dusun Jarak, Desa Selopuro, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Saat itu, Siman melihat pohon yang pernah dia tanam mulai tumbuh besar. Gunung batu dekat rumahnya mulai menghijau, tapi beberapa bagian masih gersang. Hatinya tergerak untuk melanjutkan hobi masa kecil.

"Waktu itu, saya hanya berpikir bagaimana caranya menyelamatkan lahan kritis di desa, karena hanya ada bukit batu. Malah tak ada tanahnya, sehingga air juga sulit," kenang Siman.

Dia sadar tak bisa melakukannya seorang diri. Lalu, Siman mengajak warga desa lain untuk menanami bibit pohon apa saja di bukit dan pegunungan batu kapur.

Cara menanam membutuhkan usaha lumayan sulit karena mencari celah bebatuan dan melebarnya dengan linggis. Setelah itu baru bibit pohon dan tanah dimasukkan di antara celah batu.

"Beruntung warga di sini memiliki tingkat kesadaran lingkungan yang tinggi," tutur Siman.

Tahun 1975, perkumpulan menanam pohon yang dibentuk Siman sudah diikuti seluruh Kepala Keluarga di Desa Selopuro yang berjumlah sekitar 500-an.

Tahun itu juga, perbukitan batu dan gunung kapur seluas 263 hektar telah ditanami berbagai pepohonan antara lain sengon, mahoni, akasia, jati dan pohon lain.

Siman mengakui penanaman pohon yang digagasnya tak pernah berpegang pada aturan penghijauan hutan terutama dalam hal pengaturan jarak antara satu pohon dan yang lainnya.

“Bibit pohon ditanam berpencar tak teratur, hanya bergantung pada letak celah bebatuan yang bisa dilinggis,” jelasnya.

Air mengalir ke rumah warga

Sejak kecil, Siman sudah akrab dengan kesulitan air sepanjang musim. Dia masih ingat harus mencari air sejauh 2,5 kilometer setiap hari. Bersama anak-anak lain di desanya, mereka mencari air di curug-curug pinggir gunung yang menampung hujan.

Kekurangan air bagi warga setempat terus berlanjut sampai tahun 1999. Keadaan mulai membaik pada awal 2000 saat sumber air mulai banyak karena pohon-pohon yang ditanam mengikat air dan membuat cadangan air melimpah meski musim kemarau. Air dialirkan ke rumah-rumah warga dengan sambungan pipa.

"Menanam pohon tidak rugi. Malah banyak untungnya. Kami tak perlu lagi khawatir kekurangan air. Lingkungan juga menjadi lebih lestari,” ujar Siman.

Warga Selopuro, termasuk Siman, menggantungkan hidup dari beternak dan bertani. Mereka juga menanami hutan dengan rumput kalanggana untuk makanan ternak, umbi-umbian, tanaman rempah serta sayur mayur.

Siman dan warga lain pernah berinisiatif membuat mebel dari ranting pohon yang jatuh di hutan. Dua kursi dan satu rangka meja yang belum dipoles dijual seharga Rp500 ribu pada awal 2000.

Hasil karya warga desa itu dibeli pengusaha mebel di Yogyakarta. Setelah dipoles dan difinishing, pengusaha menjualnya Rp2,5 juta untuk dua kursi dan satu meja. Tetapi usaha itu terhenti tahun 2012 karena lokasi yang sulit diakses.

Siman memperlihat sisa-sisa mebel di rumahnya di Desa Selopuro, Kecamatan Batuwarno, Wonogiri, Jawa Tengah, 23 Maret 2016. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)

Hutan lestari pertama

Siman mengaku pada 1995 pernah menerima kunjungan Menteri Kehutanan era Presiden Soeharto, Djamaludin Suryohadikusumo. Sejak itu, warga desa mendapat pendampingan dari Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (Persepsi).

Pada 2004, hutan yang dirintis Siman diresmikan sebagai Hutan Lestari pertama di Indonesia. Beberapa bulan kemudian, dia mendapat sertifikat dari Lembaga Ekolabel Indonesia.

"Kami berikan dukungan terhadap apa yang sudah dilakukan Pak Siman untuk Wonogiri," ujar Gatot Siswoyo, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wonogiri.

Menurut Gatot, Siman sudah sepatutnya menerima penghargaan Kalpataru. Pada 1999, memang pernah diusulkan, tapi tidak terpilih.

Bagi Siman, dia mengaku sudah mendapat penghargaan dari apa yang dilakukannya. Bapak dua anak yang keduanya sudah menikah dan tinggal di Jakarta ini, senang ketika melihat usahanya melestarikan hutan berhasil dan diterima masyarakat.

Lelaki 68 tahun itu masih tampak kuat. Pemegang sertifikat semua pohon yang pernah ditanamnya bersikukuh tak akan menebang dan menjualnya meski banyak tawaran dengan harga tinggi untuk pohon jati yang telah berusia puluhan tahun.

Dia tidak tergiur uang melimpah apabila harus mengorbankan pepohonan yang ditanamnya karena apa yang dimilikinya sudah lebih dari cukup.

Bersama istrinya, Siman memilih menghabiskan hari tuanya di kampung sambil bertani dan menanam aneka sayuran untuk biaya hidup mereka berdua.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.