Simpatisan ISIS Dihukum 4 Tahun Penjara

Jaksa dan kuasa hukum terdakwa menyatakan dapat menerima putusan majelis hakim.
Zahara Tiba
2018.05.22
Jakarta
180522_ID_IS_Sympathizer_1000.jpg Terdakwa Iman Santoso (kiri) bersalaman dengan penasihat hukumnya usai divonis empat tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 22 Mei 2018.
Imam Maliq/BeritaBenar

Iman Santoso terdiam beberapa saat setelah mendengar putusan majelis hakim dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa, 22 Mei 2018.

Hakim yang dipimpin Sarjiman memvonis Iman dengan hukuman empat tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana terorisme, karena menjadi simpatisan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah.

Iman adalah kakak ipar mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam), Dwi Djoko Wiwoho, yang juga didakwa terlibat pelatihan militer bersama ISIS serta turut membantu pendanaan terorisme.

Proses persidangan Dwi Djoko masih berlangsung di PN Jakarta Barat dengan agenda sejauh ini mendengar keterangan saksi ahli.

“Menyatakan terdakwa Iman Santoso alias Abu Umar bin Kosasih Bakri telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terorisme, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme,” ujar Hakim Sarjiman.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda 50 juta rupiah dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana penjara selama empat bulan.”

Usai pembacaan vonis, Iman terlihat tersenyum lega dan menyalami satu per satu anggota majelis hakim, panitera, serta kuasa hukumnya.

Putusan majelis hakim itu jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa dalam persidangan sebelumnya yakni tujuh tahun penjara.

Hakim menilai Iman selama dalam masa tahanan mengaku telah insaf akan perbuatannya, bersumpah setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tak pernah dihukum, dan akan berupaya keras mencegah perekrutan orang yang ingin berbaiat kepada ISIS.

“Terdakwa bahkan pernah mendapat penganiayaan selama di tahanan oleh yang lain karena mencoba mencegah perekrutan calon anggota. Itu risikonya,” ujar Sarjiman.

“Bukan berapa lama masa tahanan yang diputuskan majelis hakim. Percuma jika dihukum lama-lama namun tidak insaf. Yang penting adalah Saudara taubatan nasuha (benar-benar bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatannya), insaf, dan kembali ke NKRI.”

Jaksa penuntut umum bersama kuasa hukum Iman, Asludin Hatjani, pun menyatakan dapat menerima putusan majelis hakim tersebut.

“Harapan saya agar bisa jauh lebih ringan dari tuntutan,” ujar Asludin.

Masih berlangsung

Sementara itu, persidangan Dwi Djoko dan kakak iparnya yang lain, Heru Kurnia, yang juga ikut ke Suriah masih berjalan.

Dwi Djoko terancam hukuman penjara seumur hidup apabila terbukti terlibat tindak pidana terorisme.

Dia berangkat ke Suriah bersama istrinya, Ratna Nirmala; ketiga anak mereka; ibu mertua, Nani Marliani yang meninggal karena sakit di Irak; serta kedua kakak iparnya, yakni Iman dan Heru.

Keluarga besar ini bergabung dengan 19 orang lainnya berangkat ke Suriah pada 1 Agustus 2015.

Dalam dakwaan, jaksa menyebutkan keinginan Dwi Djoko berangkat ke Suriah dipicu oleh ceramah yang disampaikan Iman.

Iman dilaporkan rutin mengisi kajian tentang tauhid dan kewajiban berjihad bagi Muslim dalam pengajian rutin keluarga yang digelar di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.

Iman pula yang disebut mengatur perjalanan seluruh anggota kelompok, seperti mencarikan pemandu lokal sesaat setelah sampai di Suriah.

Dwi Djoko dilaporkan mengajukan cuti panjang pada bulan Agustus tersebut. Namun hingga 2 September 2015, dia belum kembali bekerja.

Dwi Djoko diketahui terlibat ISIS ketika pihak kepolisian mendatangi kantor BP Batam.

Keluarga besar ini berhasil diselamatkan dari Suriah pertengahan Juni 2017 dan menjalani deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Pembakar Polres Dharmasraya

PN Jakarta Barat juga menyidangkan seorang dari empat pelaku kasus pembakaran Polres Dharmasraya, Sumatera Barat, Giovani Rafli alias Abdullah. Ia didakwa dengan tindak pidana terorisme oleh jaksa penuntut umum.

Gio (25) yang bekerja sebagai tukang parkir di Kabupaten Bungo, Jambi, ditetapkan sebagai tersangka insiden tersebut bersama EFA alias Abu Azzam, ES alias Eeng, dan SP alias Umar alias Hamzah.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, menyebutkan pelaku pembakaran itu diduga terkait jaringan terorisme Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Jaksa mengatakan terdakwa Gio mulai terpapar radikalisme saat mengikut kajian salafi sejak 2012.

Setelah tiga tahun mengikuti pengajian, Gio pindah ke masjid lain yang juga mendatangkan sejumlah ulama salafi.

Gio bersama ketiga teman lain lalu menyiapkan diri untuk melakukan teror, dengan berlatih panahan, menembak dan latihan fisik di perkebunan karet di Kabupaten Bungo, Jambi.

Penyerangan dan pembakaran Polres Dharmasraya di Sumatera Barat dilancarkan pada 12 November 2017 silam.

Dalam insiden itu, dua pelaku tewas ditembak polisi karena disebut melawan dengan panah.

“Terdakwa telah melakukan permufakatan jahat berupa tindak pidana terorisme. Perbuatan terdakwa diancam pidana yang diatur oleh UU Tindak Pidana Terorisme,” tegas jaksa.

Persidangan lanjutan dengan agenda mendengarkan nota keberatan terdakwa akan digelar, 31 Mei mendatang.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.