Simpatisan ISIS Pembunuh Polisi di Mapolda Sumut Divonis 19 Tahun Penjara
2018.05.16
Jakarta

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu, 16 Mei 2018, menjatuhkan hukuman 19 tahun penjara kepada Syawaludin Pakpahan, simpatisan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang membunuh polisi di Mapolda Sumatera Utara (Sumut).
Syawaludin (43) dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana terorisme.
"Terdakwa menusuk personel kepolisian di bagian dada berkali-kali sehingga mengakibatkan kematian," kata anggota majelis hakim, Jootje Sampaleng saat membacakan putusan.
Hukuman itu lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang menginginkan Syawal divonis 20 tahun penjara, dalam persidangan pada 23 April lalu.
Terkait pengurangan besaran hukuman itu, Jootje berdalih Syawal bersikap kooperatif sepanjang persidangan, sejak dimulai Januari lalu sehingga dijadikan pertimbangan yang meringankan hukuman.
"Terdakwa sopan," lanjut hakim Jootje.
Syawaludin melalui kuasa hukumnya, Kamsi, menerima putusan hakim.
“Dia bilang, 'daripada repot banding’,” kata Kamsi seusai persidangan.
“Terdakwanya (Syawal) bilang terima saja, saya bisa apa?"
Adapun tim jaksa tidak menerima putusan hakim dan akan mengajukan banding.
"Karena tidak sesuai (dengan tuntutan)," kata jaksa Dwi Hadi Purnomo.
Ancaman maksimal Pasal 15 juncto 6 mengenai terorisme adalah penjara seumur hidup atau hukuman mati.
Dikawal ketat
Berbeda dengan persidangan-persidangan sebelumnya, Syawal kali ini datang dengan pengawalan ketat kepolisian.
Saat berjalan memasuki ruang sidang, misalnya, setidaknya enam polisi bersenjata lengkap mengelilingnya.
Kedua kaki dan tangannya -- pergelangan tangan kanan terlihat dibebat perban putih -- diborgol.
"Gedung tadi juga sempat disterilkan oleh polisi (sebelum sidang),” kata seorang pegawai pengadilan yang enggan disebutkan namanya.
Syawal termasuk dalam 155 narapidana (napi) terorisme yang terlibat kerusuhan di rumah tahanan Mako Brimob Kelapa Dua di Depok, Jawa Barat, Selasa pekan lalu. Setelah kerusuhan tersebut Syawal dan napi lainnya dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah.
Hanya saja, sampai kini belum diketahui apa peran Syawal dalam insiden yang menewaskan lima orang petugas kepolisian dan satu napi tersebut.
Lantaran tengah berada di Nusakambangan, pengadilan sempat berencana menggelar persidangan vonis Syawaludin secara in absentia, Senin kemarin.
Namun akhirnya urung terlaksana setelah ketiga hakim yang memimpin persidangan berdiskusi serta meminta jaksa dan kepolisian tetap menghadirkan Syawal untuk mendengarkan vonis.
“Tadi ia langsung dibawa dari Nusakambangan. Sampai (di sini) pukul 05.00 WIB,” jelas Kamsi.
“Setelah persidangan, sekarang langsung dibawa kembali ke Nusakambangan.”
Didorong Aman
Penikaman oleh Syawaludin terjadi pada dini hari menjelang Idul Fitri, Minggu, 25 Juni 2017. Ia melakukan aksinya bersama rekannya, Ardial alias Bewe.
Merujuk dakwaan, keduanya masuk ke kompleks Mapolda Sumut dengan memanjat pagar.
Setelah masuk, mereka pun menuju salah satu pos penjagaan dan mendapati salah seorang petugas bernama Martua Sigalingging tengah beristirahat.
Mereka langsung menyerang Martua dengan pisau hingga tewas, yang menyisakan luka tikaman di dada dan leher.
Tak cuma itu, kedua lalu membakar pos polisi dan mencoba menyerang aparat lain yang hendak menghentikan aksi mereka.
Ardial alias Bewe belakangan tewas ditembak setelah mencoba menyerang petugas.
Saat bersaksi untuk ideolog kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia, Aman Abdurrahman, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Syawal mengakui aksi di Mapolda Sumut tersebut didorong oleh tulisan dan ceramah Aman.
Salah satunya lewat laman Millah Ibrahim yang telah diblokir pemerintah.
Aman kini tengah menunggu tuntutan jaksa, yang menurut rencana akan dibacakan pada Jumat besok.
Ia sebelumnya didakwa menjadi dalang sejumlah teror di Indonesia —salah satunya aksi Syawaludin, dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Menurut pengamat Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, Adhe Bhakti, Syawaluddin adalah mantan anggota Free Syrian Army (FSA) yang pernah bertempur di Suriah pada 2013.
Ia berperang melawan tentara pemerintah Suriah pimpinan Bashar Assad selama sekitar enam bulan, sampai akhirnya pulang ke Indonesia.
“Returnee pertama yang ‘main’, ya, dia," kata Adhe Bhakti kepada BeritaBenar, pada 29 Januari lalu.
Namun saat bertempur di Suriah, tambah Adhe, Syawaluddin tidak tergabung dengan ISIS meski sempat berinteraksi dengan anggota-anggota kelompok tersebut.
Syawaluddin baru menyatakan kesetiaan kepada ISIS setelah pulang ke Indonesia.
Pada hari yang sama Syawaluddin menerima vonisnya, Mapolda Riau diserang lima terduga militan. Seorang polisi dan empat pelaku tewas dalam serangan tersebut.
Serangan di Mapolda Riau ini terjadi hanya dua hari setelah aksi bom bunuh diri yang terjadi di Markas Polrestabes Surabaya yang dilakukan oleh sebuah keluarga dengan melibatkan anak-anak mereka.
ISIS mengklaim bertanggung jawab terhadap kedua serangan itu melalui Amaq News Agency seperti dilaporkan organisasi intelejen SITE yang berbasis di Amerika Serikat.
Sehari sebelumnya, pada hari Minggu, terjadi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya yang dilakukan oleh sepasang suami istri dengan melibatkan keempat anak mereka. Sebuah bom juga meledak di sebuah rumah susun di Sidoarjo Jawa Timur menewaskan sepasang suami istri dan seorang anak mereka.
Polisi mengatakan pelaku peledakaan bom di Surabaya terafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok militan yang telah berbaiat dengan ISIS.