Singapura Jatuhkan Sanksi Atas Rusia, ASEAN Tidak Menyebut Kata 'Invasi' dalam Pernyataannya
2022.02.28
Washington dan Jakarta

Singapura mengambil jalan berbeda dari ASEAN pada Senin (28/2) dengan memutuskan menjatuhkan sanksi kepada Rusia atas serangan terhadap Ukraina, setelah blok negara – negara Asia Tenggara itu mengeluarkan pernyataan yang tidak mengutuk Moskow atau menyebut agresi terhadap negara tetangganya itu sebagai invasi.
Dalam apa yang disebut para analis sebagai langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, Singapura mengatakan akan menangguhkan ekspor barang-barang yang dapat digunakan sebagai senjata untuk menyerang Ukraina dan memblokir beberapa transaksi perbankan dan keuangan yang terkait dengan Rusia.
“Kami menyaksikan invasi militer yang tidak beralasan terhadap sebuah negara berdaulat saat kami berbicara ini…. Invasi Rusia ke Ukraina adalah pelanggaran yang jelas dan berat terhadap norma-norma internasional dan preseden yang sama sekali tidak dapat diterima," kata Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan kepada parlemen, Senin.
“[Kami] akan memberlakukan kontrol ekspor pada barang-barang yang dapat digunakan secara langsung sebagai senjata untuk membahayakan atau menaklukkan Ukraina. Kami juga akan memblokir bank - bank tertentu Rusia dan transaksi keuangan yang terhubung ke Rusia. Langkah-langkah spesifik sedang dikerjakan dan akan diumumkan segera,” tambahnya.
Pada saat Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari lalu, hanya Singapura dan Indonesia di ASEAN yang mengutuk agresi Rusia tersebut, walaupun dalam statemennya Indonesia juga sama sekali tidak menyebut Rusia sebagai negara penyerang. Sementara itu Filipina mengeluarkan pernyataan kerasnya sendiri pada hari Senin.
Manila “mengungkapkan kecaman eksplisit atas invasi ke Ukraina,” kata Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jr. dalam sebuah pernyataan, menambahkan bahwa negara itu telah memilih “ya” pada resolusi Majelis Umum PBB yang mengutuk invasi tersebut.
Sebaliknya, pernyataan kolektif yang dikeluarkan oleh para menteri luar negeri negara-negara ASEAN sebagai plin-plan, menurut para analis.
Pertama, ASEAN sama sekali tidak menyebut Rusia dalam pernyataan tersebut. Kedua, pernyataan itu tidak menyebutkan bahwa yang terjadi di Ukraina adalah invasi. Dan ketiga, ASEAN meminta “semua pihak” untuk menahan diri, dalam situasi di mana satu negara mempertahankan diri dari invasi oleh negara tetangganya yang jauh lebih besar dengan kekuatan militer yang jauh lebih unggul.
“Para Menteri Luar Negeri ASEAN sangat prihatin atas situasi yang berkembang dan permusuhan bersenjata di Ukraina,” kata pernyataan bersama itu.
“Kami menyerukan semua pihak terkait untuk menahan diri secara maksimal dan melakukan upaya maksimal untuk melakukan dialog melalui semua saluran, termasuk cara diplomatik untuk mengatasi situasi, untuk mengurangi ketegangan, dan untuk mencari resolusi damai sesuai dengan hukum internasional ….”
Para menteri luar negeri ASEAN juga menempatkan beban untuk menegakkan “prinsip-prinsip saling menghormati kedaulatan, keutuhan wilayah, dan persamaan hak semua bangsa” pada “semua pihak” daripada menyasar ke negara yang menginvasi.
Pernyataan lunak ASEAN itu tidak mengejutkan analis Asia Tenggara Derek J. Grossman.
“ASEAN sudah diprediksi tidak dapat mengkritik Rusia karena menginvasi Ukraina,” kata analis pertahanan senior di Rand Corp., sebuah think-tank AS, di Twitter. “Terima kasih untuk tidak melakukan apa-apa, ASEAN.”
Pakar dan akademisi Asia Tenggara Zachary Abuza memuji Singapura atas pendiriannya.
“Sekali lagi Singapura jauh di depan ASEAN: membela hukum internasional, memberlakukan sejumlah sanksi perbankan, larangan ekspor teknologi penggunaan ganda, pembatasan perjalanan, terlepas dari biaya ekonomi jangka pendek,” demikian cuitan Abuza, seorang profesor di National War College di Washington, di Twitter.
“Sebuah kepemimpinan yang langka dari Asia Tenggara.”
Evakuasi
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia telah mengevakuasi 31 warga Indonesia yang ada di Ukraina menuju Polandia dan Rumania secara bertahap menyesuaikan kondisi keamanan di negara yang tengah menghadapi invasi Rusia tersebut, kata juru bicara Kementerian, Senin (28/2).
Teuku Faizasyah mengonfirmasi kabar yang dibagikan kementerian melalui akun Twitter yang menyebutkan sebanyak 25 orang Indonesia di Odessa, Ukraina telah diungsikan ke Bukares, Rumania, pada Minggu. Sementara, enam warga Indonesia lainnya yang tinggal di Lviv dievakuasi ke Polandia pada Senin.
Kementerian mencatat jumlah warga Indonesia di Ukraina mencapai 153 orang, yang sebagian besarnya berdomisili di ibu kota Ukraina, Kyiv. Mayoritas orang Indonesia di Ukraina bekerja di sektor manufaktur dan jasa.
“Pemerintah akan melakukan upaya semaksimal mungkin,” kata Faizasyah ketika ditanyakan perihal proses evakuasi terhadap orang Indonesia lainnya.
Pada Sabtu, Direktur Perlindungan WNI Kemlu Judha Nugraha mengimbau kepada warga Indonesia yang berada di Ukraina untuk segera melaporkan diri ke KBRI di Kyiv. Bila memungkinkan, mereka juga disarankan untuk berpindah ke area dekat KBRI ataupun rumah aman yang telah disediakan di beberapa titik.
Judha mengatakan saat ini tim KBRI juga berupaya menjemput warga Indonesia dan telah menyiapkan pesawat untuk evakuasi sewaktu-waktu kondisi sudah memungkinkan bagi penerbangan.
“WNI yang ada di selatan Ukraina, yaitu di Odessa, kita juga meminta mereka berkumpul di sana beberapa titik dan juga yang ada di Lviv, yang dekat dengan perbatasan dengan Polandia,” kata Judha.
“Kita akan melihat situasi di lapangan. Kita akan bergerak ketika memang sudah ada jalur aman bagi pergerakan warga negara kita menuju Polandia dan ke Rumania,” Judha melanjutkan.
Kementerian memastikan seluruh warga Indonesia yang berada di Ukraina dalam keadaan sehat.
Pertemuan ASEAN di Washington
Secara terpisah, Amerika Serikat pada hari Senin mengumumkan akan menjadi tuan rumah para pemimpin ASEAN pada pertemuan khusus 28-29 Maret di Washington, kantor berita Associated Press melaporkan Senin.
“Adalah prioritas utama bagi Pemerintahan Biden-Harris untuk melayani sebagai mitra yang kuat, andal, dan untuk memperkuat ASEAN yang berdaya dan bersatu untuk mengatasi tantangan pada zaman kita ini,” AP mengutip sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki dalam pernyataannya.
Washington menjadikan kawasan Indo-Pasifik sebagai prioritas kebijakan luar negeri utama di tengah meningkatnya ketegasan Beijing di Laut China Selatan, yang mengancam visi sebagian besar negara tentang kawasan yang bebas dan terbuka.
Enam pemerintah Asia – termasuk empat negara ASEAN – memiliki klaim teritorial atau batas laut di Laut China Selatan yang tumpang tindih dengan klaim China. Sementara Indonesia tidak menganggap dirinya sebagai pihak dalam sengketa Laut Cina Selatan, Beijing mengklaim hak bersejarah atas bagian laut yang tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Stabilitas di Asia Tenggara akhir-akhir ini terancam dengan adanya dugaan penyerbuan kapal-kapal China di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Filipina dan Malaysia di Laut China Selatan.
Invasi Rusia ke Ukraina telah menimbulkan kekhawatiran akan tindakan serupa oleh Beijing di wilayah yang disebutnya sebagai wilayahnya.
“[Ini] adalah sesuatu yang menciptakan preseden hukum yang sangat berbahaya, terutama untuk negara assertive seperti China yang telah berulang kali mendorong interpretasinya sendiri terhadap hukum internasional, terutama di Laut China Selatan,” tulis Abuza dari National War College dalam sebuah kolom di Benar News pekan lalu.
Basilio Sepe dan Jojo Riñoza di Manila berkontribusi dalam laporan ini.