Pemerintah Membuka 12 Situs Islam Yang Diretas
2015.04.09

Diantara 19 situs radikal yang sebelumnya diretas karena dianggap menyebarkan nilai radikal, 12 situs Islam sekarang sudah beroperasi kembali. DPR mendorong agar BNPT dan Kemkominfo memperbaiki pola komunikasi supaya pencegahan terorisme tidak menimbulkan ekses negative.
Wakil Ketua Forum Penanggulangan Situs Internet Bermuatan Negatif (FPSIBN) Agus Barnas menyatakan bahwa 12 situs Islam yang tadinya diretas sekarang sudah bisa diakses kembali.
“Sekarang situs-situs tersebut sudah kembali normal. Kita sudah tidak lagi meretas situs-situs tersebut sejak hari ini,” kata Agus kepada BenarNews tanggal 9 April.
Agus menyebutkan daftar situs yang sudah tidak lagi diretas, diantaranya adalah voa-islam.com, eramuslim.com, arrahmah.com, kiblat.net, hidayatullah.com, salam-online.com, panjimas.com, muslimdaily.net, dakwatuna.com, an-najah.net. gemaislam.com, dan aqlislamiccenter.com.
Agus menerangkan keputusan tersebut diambil setelah tim FPSIBN menganalisa permohan pengelola situs untuk normalisasi dan mengkaji isi situs tersebut. Meskipun demikian situs yang sudah kembali normal ini akan berada dalam pengawasan FPSIBN.
"Kita akan terus mengawasi situs-situs tersebut sampai kriteria mengenai radikalisme dirumuskan. Sampai saat ini, kriteria tersebut sedang diperdalam," katanya.
Menangani terorisme tanpa efek negative
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi III, Fraksi Partai Kesejahteraan Sosial (PKS), mendukung langkah BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) untuk mencegah radikalisme, tetapi berharap agar upaya ini tindak menimbulkan dampak negatif dalam masyarakat.
“BNPT harus mempertimbangkan jalan terbaik. Kasus pemblokiran situs Islam misalnya, kalau terus dilakukan akan menimbulkan keresahan dikalangan umat Islam dan juga menimbulkan ketidakpercayaan umat Islam terhadap pemerintah. Ini berbahaya dan bisa memicu kerusuhan sosial,” kata Al Muzzammil Yusuf kepada BenarNews tanggal 9 Maret.
Ia mengatakan BNPT seharusnya menggandeng ormas Islam dalam upaya deradikalisasi.
“Deradikalisasi harus dilakukan dengan strategi yang integral dan efektif . Untuk itu BNPT harus membedakan Islam dan teroris yang mengatasnamakan Islam. Peretasan seperti ini hanya akan menyebabkan perlawanan,” katanya lanjut.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengekspresikan kekecewaannya terhadap peretasan ini.
“Tindakan pemerintah terlalu cepat. Kita harus sadar dampak negatif dari peretasan ini, apakah ini akan menjamin tidak akan ada lagi situs radikal atau malah sebaliknya gugur satu tumbuh seribu,” katanya kepada BenarNews.
“Tindakakan ini bisa menjauhkan kita dari demokrasi,” kata Din.
Asep Saefullah, perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang duduk dalam tim FPSIBN, mengatakan bahwa pihaknya akan berhati-hati dalam memutusan kategori radikal bagi sebuah situs.
“Kita sepakat bahwa pemberantasan radikalisasi tidak harus memberantas demokrasi,” katanya kepada BenarNews tanggal 9 April.
JITU menunggu permintaan maaf dari pemerintah
Ketua Umum Jurnalis Islam Bersatu (JITU) Agus Abdullah meminta agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan BNPT harus melakukan permintaan maaf secara terbuka kepada publik.
“Kita menunggu permintaan maaf dari Kemkominfo atas kecerobohan ini. Kekominfo harus memberikan penjelasan kepada masyarakat. Sebab ini menyangkut nama baik yang telah dilabeli dengan sebutan radikal,” kata Agus yang juga pengelola Kiblat.net seperti dikutip dalam Portal Islampos.com.
BNPT dengan surat nomor 149/K.BNPT/3/2015 baru-baru ini meminta Kemkominfo memblokir sejumlah situs yang dianggap radikal. 70 situs diretas tanggal 24 Maret diikuti dengan 22 lainnya tanggal 30 Maret beberapa diantaranya masih bisa dibuka.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Pertahanan Tedjo Edhy Purdijatno menekankan akan pentingnya kebijakan peretasan ini untuk meredam radikalisme.
“Situs-situs ini terbukti mempengaruhi kebanyakan warga negara Indonesia (WNI) untuk pergi ke Suriah, berperang kemudian pulang dan kembali melancarkan serangan. Kalau tidak dicegah yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri di masa depan,” katanya.
Kepala BNPT Saud Usman Nasution mengatakan bahwa pemblokiran dilakukan karena selama ini tidak ada pengaturan yang jelas tentamg situs radikal.
"Kenapa baru sekarang diblokir? Karena selama ini aturan kita tidak jelas. Banyak situs-situs radikal di Indonesia tapi seperti tak ada upaya, hanya cenderung menyalahkan. Orang yang mengerti agama diharapkan menyelesaikan masalah itu. Dari situasi ini kita semua jadi belajar," kata Saud ketika berbicara di sekretariat AJI, Jakarta Selatan.
Saud menegaskan, BNPT melangkah sesuai dengan Peraturan Kemkominfo Nomor 19 Tahun 2014 Pasal 5 ayat 2 tentang hak masyarakat melaporkan situs yang membahayakan.
" BNPT hanya berperan mengusulkan ada beberapa situs yang memuat konten membahayakan, khususnya soal gerakan radikal," ujar Saud.