Skola Lipu, Ketika Suku Tau Taa Wana Ingin Bisa Baca Tulis
2016.07.18
Palu

Belasan anak berusia 6 hingga 13 tahun, tanpa alas kaki dengan berpakaian seadanya, duduk atau jongkok melingkar di tanah. Beberapa dari mereka memegang buku yang sudah lusuh dan pensil. Ada juga yang tidak punya buku.
Seorang bocah dengan agak malu menulis huruf di tanah dengan sepotong ranting diperhatikan oleh anak lainnya. Dua perempuan dewasa, relawan dari lembaga swadaya masyarakat lokal disana, Yayasan Merah Putih (YMP), ikut duduk mengamati.
Setelah si bocah selesai, satu persatu anak-anak melakukan hal yang sama: menulis di tanah dengan ranting. Sesekali terdengar mereka tertawa, seolah tanpa beban hidup. Mereka hanyut dalam pelukan alam yang mengitari ladang, lokasi kegiatan belajar.
Begitulah suasana pembelajaran huruf dan angka oleh anak-anak Tau Taa Wana, suku terpencil di Desa Taronggo, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
“Saya sangat senang bisa belajar menulis,” ucap Ugo, seorang anak berusia 10 tahun.
Warga pedalaman itu menyebutnya skola lipu, artinya sekolah kampung. Di sini, tak ada gedung serta kelas yang penuh meja dan kursi. Sesekali mereka belajar dalam banua bae (rumah adat) – gubuk panggung tanpa dinding.
Mereka duduk bersila dan berselonjor kaki seraya mengeja huruf-huruf alfabet atau menulis. Tak ada kewajiban berpakaian seragam, apalagi harus memakai sepatu.
Bila musim panen tiba, mereka belajar di sela waktu membantu orang tua di ladang, duduk di pematang dekat hamparan padi menguning. Mereka juga sering belajar di pinggir sungai atau hutan sekitar kampung. Saat berburu burung atau memetik buah, anak-anak saling berteka-teki “pelajaran” di sekolah.
Dalam keheningan malam menyelimuti lipu, anak-anak yang telah mampu membaca, menulis, dan berhitung, kerap dimintai orang tua membantu mereka belajar aksara.
Tidak ada guru
Skola lipu tidak memiliki guru profesional layaknya sekolah umumnya. Mereka hanya punya tau mampatundek (fasilitator belajar) dari YMP. Beberapa anggota komunitas yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan dasar sekolah formal meski tak tamat ikut menjadi fasilitator.
Berbekal kemampuan literasi dasar, fasilitator komunitas itu mengawal pembelajaran aksara, mengandalkan papan tulis ukuran 50 x 50 cm yang sudah berubah warna abu-abu. Jika kapur tulis habis, ubi kayu (singkong) yang dikeringkan jadi gantinya. Pada awal skola lipu diselenggarakan, peserta hanya menggunakan daun pisang muda jadi buku tulis dan lidi sebagai alat tulis.
Perpustakaan yang disebut banua baca (rumah baca), kini melengkapi pembelajaran skola lipu. Perpustakaan yang buku-bukunya hasil sumbangan, membantu anak-anak menambah wawasan tentang dunia luar suku pedalaman itu.
Anak-anak Tau Taa Wana belajar di alam terbuka di Desa Taronggo, Kabupaten Morowali Utara, Sulteng, 29 Juni 2016. (Keisyah Aprilia/Berita Benar)
Jarak SD terdekat dengan Taronggo mencapai 15 kilometer. SMP dan SMA hanya ada di ibukota kecamatan yang jauhnya 34 kilometer. Untuk mencapai ibukota kabupaten, warga Tau Taa Wana harus menempuh perjalanan laut selama enam jam.
"Lipu berada di lembah dan pegunungan dengan ketinggian antara 350m - 1.120m dari permukaan laut," katanya kepada BeritaBenar, saat bertandang ke Taronggo, belum lama ini.
Kampung dikelilingi perbukitan sehingga untuk mencapainya mesti mengitari dengan berjalan kaki melalui jalan setapak. Kondisi itu berdampak buruk bagi Tau Taa Wana saat berinteraksi dengan pihak luar. Parahnya mereka sering dibodohi dan kena tipu.
Inilah yang menyebabkan YMP tertantang ketika beberapa warga di Desa Taronggo datang kepada mereka meminta mereka membuka sekolah.
Koordinator YMP Abdul Ghofur mengatakan bahwa warga Tau Taa Wana secara administratif menempati tiga kabupaten yakin Tojo Unauna, Banggai, dan Morowali Utara.
"Dengan kehadiran skola lipu, kita harap masyarakat Tau Taa Wana bisa tahu dan tak gampang dibodohi lagi," ujar Ghofur, "ini bisa membuat mereka mandiri dan tentu saja membantu dalam menggali dan memahami nilai-nilai kearifan lokal sendiri."
Pengajuan ke Kemendikbud
"Dulu murid banyak. Sekarang hanya tinggal beberapa orang saja," kata manager Informasi dan kampanye YMP, Kiki Rizki Amelia.
Kurangnya murid bukan karena tak ada anak-anak Tau Taa Wana yang mau belajar, tapi mereka sudah melanjutkan ke sekolah umum setelah orang tua mulai memahami betapa pentingnya pendidikan bagi masa depan.
"Di sini tak ada batasan, kalau anak-anak sudah merasa mampu dan orang tuanya bisa menyekolahkan mereka, kenapa tidak untuk dilanjutkan ke sekolah umum," kata Kiki.
Tujuan skola lipu, menurut dia, untuk 'melembagakan' proses belajar suku Tau Taa Wana dalam mengembangkan nilai-nilai budaya, adat istiadat kearifan lokal dan cara melestarikan alam. Selain itu untuk meningkatkan kemandiran komunitas adat lewat pendidikan keaksaraan.
Wakil Bupati Morowali Utara, Moh Ashrar Abd Samad sangat mengapresiasi aksi YMP membangun skola lipu di Taronggo. Dia berjanji akan mengusulkan skola lipu ke pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) untuk diakui dan masuk bidang pendidikan khusus.
“Saya akan menghadap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membahas skola lipu. Nanti saya akan bawa semua dokumentasi foto dan video biar disaksikan secara langsung oleh orang-orang kementerian," pungkas Ashrar.