Setya Novanto Tersangka Korupsi e-KTP
2017.07.17
Jakarta

Diperbarui pada Kamis, 20 Juli 2017, 21:00 WIB.
Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Setya Novanto yang kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
Ketua Umum Partai Golkar itu diduga ikut mengatur agar anggaran senilai Rp5,9 triliun disetujui DPR ketika proyek e-KTP dilaksanakan tahun 2011-2012.
Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengatakan bahwa dari hasil penyelidikan pihaknya, Novanto diketahui mengatur mulusnya pembahasan proyek tersebut. Saat itu, ia menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR.
"SN melalui AA (Andi Agustinus alias Andi Narogong) diduga memiliki peran mengatur perencanaan dan pembahasan anggaran DPR, dan pengadaan barang dan jasa," kata Agus dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Senin petang, 17 Juli 2017.
Menurut Agus, Novanto juga ikut mengondisikan perusahaan yang jadi pemenang lelang e-KTP. Proyek itu dimenangkan konsorsium Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI).
Konsorsium itu terdiri dari Perum PNRI, PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra.
Menurut Agus, Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatannya.
“Korupsi pengadaan proyek KTP elektronik ini telah direncanakan dalam dua tahap, penganggaran dan proses barang dan jasa,” jelas Agus.
Jaksa KPK sebelumnya meyakini adanya peran Novanto dalam korupsi proyek e-KTP. Jaksa yakin tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp2,3 triliun itu dilakukan dengan melibatkan Novanto.
Novanto adalah tersangka keenam dalam kasus ini. Sebelumnya, Andi Narogong, seorang pengusaha juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, politikus Partai Hanura Miryam Haryani ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi keterangan palsu, dan Markus Nari dari Partai Golkar menjadi tersangka karena diduga menghalangi penyidikan dan penuntasan pengusutan kasus e-KTP.
Sementara itu dua tersangka yang telah berstatus terdakwa adalah Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, serta Sugiharto -- anak buah Irman.
Agus menyatakan KPK siap menghadapi upaya hukum yang akan ditempuh Novanto menyikapi penetapan tersangka.
"Kan tidak ada kata untuk menolak. Kalau harus kita hadapi, nanti kita hadapi," kata Agus.
Sebelumnya, Jumat pekan lalu, penyidik KPK telah memeriksa Novanto sebagai saksi atas tersangka Andi Narogong. Itu merupakan pemeriksaan ketiga terhadap Novanto dalam kasus e-KTP.
Dua pemeriksaan Novanto sebelumnya dilakukan, 13 Desember 2016 dan 10 Januari 2017, sebagai saksi terhadap tersangka Irman dan Sugiharto.
Dililit kasus
Nama Novanto tak hanya dikaitkan dengan kasus e-KTP. Pada 1999 silam, ia tersangkut kasus pengalihan hak piutang Bank Bali ke Bank Dagang Negara Indonesia yang diduga merugikan negara Rp904,64 miliar.
Kasus itu menyeruak ke permukaan setelah Bank Bali terbukti mentransfer dana Rp500 miliar kepada PT Era Giat Prima milik Novanto. Sempat bergulir di kejaksaan, kasus ini akhirnya terhenti seiring terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3), Juni 2003.
Tahun 2006, Novanto dikaitkan dengan dugaan penyeludupan limbah beracun PT Asia Pacific Eco Lestari di Pulau Galang, Batam. Tapi dia membantah dengan menyebut dirinya sudah mundur dari perusahaan tersebut.
Namanya kembali disebut pada 2012 dalam kasus pencairan anggaran Pekan Olahraga Nasional di Pekanbaru, Riau. Lagi-lagi, Novanto membantahnya.
Pada 2015, dia pernah terganjal kasus mencatut nama presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk meminta saham kepada PT Freeport Indonesia. Kasus yang dikenal publik sebagai kasus “Papa minta saham” itu membuat Novanto mundur dari posisi Ketua DPR.
Namun lewat berbagai manuver, ia berhasil keluar dari sengkarut kasus tersebut, dan kembali didapuk sebagai Ketua DPR.
Harus segera mundur
Penetapan tersangka Novanto diapresiasi lembaga Indonesian Coruption Watch (ICW). Menurut peneliti ICW, Donald Fariz, ini bentuk keseriusan KPK dalam membongkar praktik korupsi di negeri ini.
“Patut diapresiasi, menunjukkan keseriusan KPK membongkar dalang persekongkolan pengadaan KTP elektronik yang merugikan keuangan negara,” kata Donald kepada BeritaBenar.
Ia meminta Novanto segera mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR sebab tak layak lagi menempati posisi itu karena berstatus tersangka.
”Novanto harus mundur dari Ketua DPR agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang sebagai pimpinan lembaga negara untuk melawan proses hukum sehingga tak terjadi konflik kepentingan,” ujarnya.
Tunggu surat resmi
Menyikapi penetapan ketuanya sebagai tersangka korupsi e-KTP, Sekjen Golkar, Idrus Marham, mengatakan pihaknya menunggu surat resmi dari KPK atas penetapan tersangka Novanto sebelum mengambil sikap lebih jauh.
"DPP Partai Golkar akan mengharapkan adanya surat penetapan Bung Setya Novanto tersangka dari KPK. Jadi langkah-langkah lain, tetap kita akan mempelajari dulu," kata Idrus kepada wartawan.
Ketua Harian Golkar, Nurdin Halid, menambahkan pihaknya bersama pengacara pribadi Novanto akan menyiapkan langkah pembelaan hukum.
"Bagaimanapun ketua umum adalah simbol yang tidak bisa dilepaskan dari partai, harga diri, marwah, dan martabat daripada Partai Golongan Karya," ujarnya.
Mengenai jabatan Ketua DPR, Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, Sarifuddin Sudding, mengaku akan mengikuti ketentuan berlaku dan segera mengambil tindakan sesuai perundang-undangan.
“Kita mengikuti proses yang berkembang di KPK. Kita juga menunggu surat resmi dari KPK sebelum menentukan proses lebih lanjut sesuai ketentuan aturan yang berlaku,” kata politisi Partai Hanura itu, saat dihubungi BeritaBenar.
Dalam versi ini jumlah tersangka untuk kasus e-KTP ini telah dikoreksi.