Sebagian Tokoh Islam Tanggapi Positif Rencana Standardisasi Khatib
2017.02.08
Jakarta

Sejumlah tokoh Islam menanggapi positif rencana standardisasi khatib Jumat seperti yang diwacanakan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin.
Mereka menilai, standardisasi itu diperlukan agar tak ada lagi khatib yang menyisipkan kebencian atau permusuhan dalam khotbahnya sehingga dikhawatirkan bisa memecah belah persatuan bangsa.
"Tak dipungkiri, selama ini kan ada sejumlah penceramah yang memprovokasi atau menyuarakan kebencian," kata Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Masdar Mas'udi kepada BeritaBenar, Selasa, 7 Februari 2017.
Hanya saja, Masdar enggan menyebut penceramah yang dinilainya telah menyampaikan kebencian serta memprovokasi dalam khotbah.
Yang pasti, "Standardisasi itu diperlukan supaya apa yang disampaikan nantinya ajaran Islam yang penuh kebaikan, kedamaian dan menghormati sesama," ujarnya.
Tak jauh berbeda pendapat Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi, dengan menyatakan bahwa standardisasi bisa membuat para penceramah fokus menyampaikan pesan agama secara baik.
"Karena ada keharusan bagi penceramah itu untuk meningkatkan kompetensi dan penguasaan materi dan metodologi dakwah," kata Zainut dalam keterangan tertulis.
"Sehingga sesuai kaidah. Atau dalam bahasa lain, sesuai kebutuhan masyarakat."
‘Memberikan nasihat’
Wacana standarisasi khatib pertama kali digulirkan Menag Lukman setelah munculnya kerisauan terhadap isi ceramah yang dinilai seringkali menebar kebencian atau memicu perpecahan umat Islam.
Salah satu ceramah yang akhir-akhir ini dipermasalahkan adalah terkait pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab. Ia dilapor ke polisi lantaran ceramahnya dianggap melecehkan lambang negara dan menistakan agama Kristen.
Atas dugaan pelecehan lambang negara, Rizieq telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat.
Sedangkan dalam kasus penistaan agama Kristen, yang dilaporkan beberapa kelompok masyarakat, kasusnya masih diselidiki Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya.
"Hal ini perlu dirumuskan karena esensi khatib Jumat adalah memberikan wasiat, tausiah, dan nasihat," kata Lukman, seperti dikutip dari laman Kementerian Agama.
"Memberikan informasi yang tidak berdasar atau tidak benar dan saling mencela, sama sekali tidak dibolehkan."
Juru bicara Kementerian Agama, Mastuki, mengatakan bahwa standardisasi itu nantinya akan menetapkan kualifikasi atau kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang khatib Jumat.
"Agar yang menyampaikan khotbah adalah yang betul-betul ahli," kata Mastuki, yang tak bisa merinci kapan standardisasi itu mulai diterapkan.
Sampai saat ini, katanya, kementerian masih membahas standar kompetensi bersama beberapa kelompok keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, atau Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Akhir Januari lalu kami bertemu dan duduk bersama. Intinya, penentuan standar seorang khatib itu sepenuhnya kompetensi ulama, bukan domain Kementerian Agama," katanya, "kami hanya fasilitator."
‘Rezim represif’
Perihal standardisasi, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin menyuarakan ketidaksetujuannya. Ia justru menilai pemerintah melangkah mundur dengan menggelar standardisasi.
"Menurut saya itu kurang tepat," kata Din saat BeritaBenar meminta tanggapannya.
"Bahkan rezim Orde Baru yang kerap disebut represif tidak pernah ada pemberlakuan seperti itu. Masa sekarang rezim yang demokratis justru (lebih) represif?," tambahnya.
Alih-alih menetapkan standar, tambah Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu, pemerintah seharusnya mencari akar masalah penyebab maraknya ceramah-ceramah yang kerap menyuarakan kebencian.
Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang mengurusi masalah agama, Jazuli Juwaini, berharap standardisasi yang diwacanakan pemerintah tak membatasi hak untuk berdakwah para penceramah.
"Kalau tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tidak masalah," katanya saat dihubungi.
Program sukarela
Masdar Mas'udi menambahkan bahwa ia sadar rencana standardisasi penceramah bakal menimbulkan kecurigaan dan penolakan dari kalangan umat Islam. Namun dia berharap umat Islam bisa menerima, demi kebaikan Islam.
"Jika dibiarkan, (penceramah) akan menjadi penebar kebencian," katanya.
Sedangkan Zainut Tauhid menyarankan agar standardisasi tak menjadi kewajiban yang mengikat para penceramah, agar tak mendapatkan penolakan.
Jika menjadi kewajiban, ia khawatir program tersebut justru menjadi kontraproduktif karena muncul penilaian bahwa pemerintah mengintervensi agama dan dakwah.
"Sedangkan dakwah dan ceramah kan hak setiap orang," tuturnya.
"Yang didorong itu seharusnya partisipasi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab dalam menyuarakan kebaikan Islam, sehingga sebaiknya bersifat sukarela," pungkas Zainut.