Pengaturan Pengeras Suara Masjid Jangan Mengganggu Syiar
2015.06.29

Rencana ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla untuk mengatur volume pengeras suara masjid-masjid di Indonesia mendapat tanggapan beragam dari tokoh Muslim dan pengurus masjid, namun semua sepakat agar hal itu jangan sampai menggangu syiar Islam.
Abdul Mu’thi, sekretaris umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan bahwa pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid harus dibarengi dengan edukasi dari para ulama dan DMI kepada takmir atau kelompok pengurus masjid tentang esensi makna syiar agama.
"Selama ini syiar dipahami sebagai sesuatu yang ramai, makanya marak penggunaan pengeras suara oleh masjid. Harus dijelaskan dulu syiar agama yang tepat seperti apa," ujarnya kepada BeritaBenar.
"Makna syiar adalah melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya," tambahnya.
Abdul mengatakan bila hal ini sudah jelas, maka pembahasan bisa berlanjut ke persoalan teknis yaitu penggunaan pengeras suara dan peraturan bisa terlaksana dengan sukarela atas dasar pemahaman yang baik.
“Adzan adalah panggilan yang sempurna, tapi [sering] disampaikan dengan tidak sempurna karena pengeras suara yang jelek atau suara muazzin yang tidak merdu,” ujarnya.
Abdul mengusulkan agar masjid-masjid dalam satu wilayah saling berkoordinasi dan sepakat untuk menentukan satu masjid tertentu dengan pembaca adzan atau muazzin dan pengeras suara terbaik yang bisa menyiarkan adzan melalui pengeras suara luar, sementara yang lain cukup dengan pengeras suara dalam dan tetap melaksanakan shalat berjamaah.
Wacana pengaturan pengeras suara masjid ini dikeluarkan oleh DMI menyusul pernyataan Kalla, yang juga wakil presiden Indonesia, pada awal Juni saat menghadiri pertemuan Komisi Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Tegal, Jawa Tengah.
Mengganggu ketenangan
Dalam pertemuan itu Kalla mengkritik pemutaran rekaman pengajian yang disebarkan melalui pengeras suara masjid sebelum waktu adzan, sehingga berpotensi menjadi polusi suara dan mengganggu ketenangan warga yang sedang beristirahat.
Menurut Kalla, menyetel rekaman pengajian dengan volume pengeras suara yang besar tidak akan membuahkan pahala.
Kalla juga menceritakan pengalamannya terbangun jam 4 pagi karena suara pengajian melalui pengeras suara yang dikeluarkan oleh beberapa masjid di sekitar rumahnya.
Kritikan Kalla terhadap besarnya volume pengeras suara masjid itu bukan yang pertama kali.
Pada Juni 2013 di Bali, masih dalam kapasitasnya sebagai ketua DMI, Kalla menghimbau masjid-masjid mengecilkan volume pengeras suaranya saat mengumandangkan adzan subuh agar tidak mengganggu warga yang non Muslim dan untuk menjaga toleransi umat beragama.
Juru bicara Kalla, Husain Abdullah, mengatakan DMI akan membentuk tim untuk memonitor penggunaan pengeras suara di masjid-masjid di berbagai kota besar di Indonesia dan pengaturan waktu saat masjid-masjid tersebut menggunakannya untuk memutar pengajian, yang lebih sering merupakan rekaman.
"Kami akan bagi data-datanya dengan beberapa ulama, bahwa seperti ini situasinya. Ada suara masjid-masjid yang sering tumpang tindih. Di saat yang satu masih mengaji, yang lainnya sudah adzan," ujar Husain kepada BeritaBenar.
"Lemparan suaranya agar tidak terlalu jauh, cukup di kawasan sekitarnya saja dimana masjid itu berada melayani umat," tambahnya.
Peraturan belum dipatuhi
Muhyiddin Junaidi, kepala bagian kerjasama dan hubungan internasional MUI, mengatakan kepada BeritaBenar bahwa sudah ada peraturan mengenai penggunaan pengeras suara oleh masjid, namun pada kenyataannya peraturan itu tidak diikuti.
Peraturan tertanggal 17 Juli 1978 dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, (saat itu) Departemen Agama.
Beberapa hal yang diatur adalah penggunaan pengeras suara luar untuk pengajian paling awal 15 menit sebelum adzan Subuh.
Sesudah itu, kegiatan seperti pembacaan doa selama shalat, kuliah subuh atau pengajian menggunakan pengeras suara dalam.
Hal yang sama juga berlaku untuk shalat Jumat dan Dzuhur dan khutbah Jumat. Untuk shalat Ashar, Maghrib dan Isya, penggunaan pengeras suara untuk pengajian paling lama lima menit sebelum kumandang adzan.
Penggunaan pengeras suara luar juga digunakan untuk mengumandangkan adzan di semua waktu shalat.
Peraturan itu juga menyebutkan bahwa pengguna pengeras suara seperti muazzin, imam dan lain-lainnya harus fasih dan bersuara merdu.
“[Waktu 15 menit] adalah waktu yang rasional untuk bersiap-siap. Sudah saatnya pengeras suara masjid diatur sehingga tidak terjadi perang suara," ujar Muhyiddin, sambil menambahkan bahwa tim DMI tersebut akan mengingatkan masjid-masjid agar taat pada peraturan yang sudah ada.
Achyar Habibi, seorang muazzin Masjid Ar Rahmah di perumahan Raffles Hills, Cibubur sebelah timur Jakarta, mengatakan selama ini masjidnya sudah mengikut hampir semua peraturan yang ada, kecuali untuk khutbah Jumat tetap menggunakan pengeras suara luar dan tidak menyiarkan pengajian sebelum adzan Subuh.
Namun Achyar mengatakan bila dirinya kurang setuju bila penggunaan pengeras suara masjid terlalu diatur karena menurutnya mengeluarkan suara melalu pengeras suara termasuk syiar.
“Selain adzan, tidak apa-apa pakai pengeras suara, asal tidak di waktu istirahat atau tengah malam. Syiar sebaiknya bisa disebarluaskan melalui pengeras suara, terutama di saat bulan Ramadan seperti sekarang,” ujarnya.