Terancam Sanksi AS, Indonesia Tetap Lanjutkan Pembelian Sukhoi dari Rusia
2018.11.12
Jakarta

Kendati dibayangi sanksi Amerika Serikat (AS), Pemerintah Indonesia menyatakan akan tetap melanjutkan pembelian sebelas pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia.
Hal itu disampaikan juru bicara Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) Marsekal Pertama Novyan Samyoga.
"Masih berlanjut (kerja sama pengadaan Sukhoi)," kata Novyan kepada BeritaBenar, Senin, 12 November 2018.
"Ada tekanan, itu biasa. Tapi intinya, sampai saat ini Indonesia tetap ke Sukhoi. Itu pilihan pertama. Belum ada perubahan."
Ancaman sanksi terhadap Indonesia muncul setelah Pemerintah AS memberlakukan Undang-undang Countering America's Adversaries Through Sanction Act (CAATSA).
Beleid ini menyatakan bahwa AS berhak menjatuhkan sanksi terhadap negara manapun yang membeli persenjataan dari Rusia sebagai respons atas aneksasi Rusia atas Krimea pada 2014, keterlibatan dalam perang saudara Suriah, dan dugaan memata-matai pemilihan umum Amerika Serikat 2016.
Sejauh ini, AS telah menjatuhkan sanksi terhadap China, menyusul pembelian beberapa jet tempur Su-35 dan sistem rudal S-400.
Dilansir kantor berita Sputnik pada Jumat pekan lalu, otoritas Rusia yang tidak diperinci identitasnya mengaku optimis kerja sama pembelian Su-35 akan berlanjut kendati Indonesia dibayangi sanksi AS.
"Situasinya tidak menyenangkan, tapi tidak kritis. Kami mempertahankan hubungan yang konstan dengan Indonesia dan mencari jalan keluar dari situasi ini," ujar sumber tersebut.
Adapun Menteri Pertahanan Amerika James Norman Mattis pada Agustus lalu, seusai pertemuan dengan Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu, mengatakan bahwa institusinya akan berupaya mengecualikan Indonesia --selain Vietnam dan India-- dari CAATSA dengan melobi Kongres Amerika.
Namun hingga saat ini belum ada kepastian dari AS bahwa ketiga negara tersebut mendapat perkecualian.
Imbal beli
Kesepakatan pembelian sebelas Su-35 ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Rusia pada Februari lalu, senilai USD1,14 miliar dengan sistem imbal beli.
Artinya, Pemerintah Rusia juga setuju untuk membeli komoditas dari Indonesia seperti karet, teh, kopi, dan kelapa sawit sebesar setengah harga transaksi pesawat tempur yaitu sebesar USD570 juta.
Pembelian Sukhoi SU-35 dengan spesifikasi persenjataan yang lengkap dikabarkan akan dipakai untuk menggantikan F-5 Tiger dan F-16 Viper buatan Amerika Serikat.
Dalam pernyataan pada Agustus 2017, Panglima TNI kala itu Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa Su-35 dibutuhkan TNI untuk memperkuat pertahanan negara, seperti yang tercantum dalam rencana strategis TNI 2015-2019.
Sukhoi pun dipilih lantaran dinilai banyak memiliki keunggulan dan telah teruji dalam pertempuran.
"Kita harus membeli alutsista (alat utama sistem pertahanan) yang terbaik yang pernah diuji coba untuk perang. Jangan membeli hal yang belum pernah dicoba," ujar Gatot ketika itu kepada wartawan.
Ditambahkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sebulan setelahnya, TNI sejatinya membutuhkan 16 unit Su-35.
Namun karena keterbatasan finansial, Indonesia kemudian hanya membeli 11 unit pesawat tempur dengan setengah harganya dibayarkan lewat komoditas.
"Berarti kan separuhnya bisa beli itu, kan bagus. Kita membeli enggak duit semuanya,' ujar Ryamizard.
Menghindari ketergantungan
Indonesia pada dasarnya pernah dijatuhi sanksi berupa embargo oleh Amerika Serikat sepanjang 1995 hingga 2005, setelah mereka menuduh otoritas Indonesia melanggar hak asasi manusia dengan menembaki demonstran di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste) pada 12 November 1991.
Embargo itu membuat banyak pesawat tempur TNI Angkatan Udara harus dikandangkan karena tak memiliki suku cadang. Saat itu, Indonesia memang memiliki peralatan yang mayoritas berasal dari Amerika seperti F-16 Fighting Falcon, F-5 Tiger dan C-130 Hercules.
Namun delapan tahun masa embargo, Indonesia kemudian mencari akal dengan membeli pesawat Sukhoi dari Rusia.
Pembelian pesawat tempur dari Rusia dimaksudkan agar Indonesia tak ada ketergantungan dengan satu kubu, semisal AS.
Pertimbangan ini pun diakui Novyan Samyoga.
"Ya, politik kan tidak pasti. Sedangkan kami butuh keseimbangan," katanya.
"Kami belajar dari sanksi sebelumnya yang dijatuhkan. Jangan kita terus dikuasai asing lah."