Polisi Masih Periksa 18 WNI dari Suriah

Di antara ke-18 orang itu terdapat seorang mantan pejabat Batam bersama keluarganya yang pernah dilaporkan BNPT telah bergabung ISIS.
Rina Chadijah
2017.08.14
Jakarta
170814_ID_Syria_1000.jpg Sejumlah WNI saat tiba di kamp Kamp Ain Issa setelah berhasil melarikan diri dari Raqqa pada 13 Juni 2017.
AFP

Kepolisian Indonesia mengkonfirmasi 18 warga negara Indonesia (WNI) yang melarikan diri dari wilayah kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah bulan Juni lalu, saat ini dalam penyelidikan polisi setelah mereka tiba di tanah air Sabtu lalu.

Termasuk dalam rombongan itu adalah satu keluarga mantan pejabat Batam, Dwi Djoko Wiwoho, yang meninggalkan Indonesia bersama istri dan tiga orang putrinya untuk bergabung dengan ISIS pada tahun 2015, demikian kata polisi, seperti dikutip di Tribunnews.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri, Irjen. Pol. Setyo Wasisto, ke-18 WNI yang terdiri dari lima laki-laki dewasa, sembilan perempuan, dan empat anak-anak itu tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada Sabtu pukul 15:30 WIB itu, kini masih diperiksa oleh polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

“Masih dilakukan pendalaman interogasi dan wawancara oleh Densus 88 dan BNPT," ujarnya kepada BeritaBenar, Senin, 14 Agustus 2017.

Dwi Djoko yang pernah menjabat Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Humas Badan Pengusahaan Batam, sempat dilaporkan BNPT telah bergabung dengan ISIS dan berangkat ke Suriah pada Agustus 2015.

Informasi tentang serombongan warga Indonesia yang melarikan diri dari Raqqa, kota yang diklaim ISIS sebagai markas kelompok teroris itu, dilaporkan sejumlah media pada Juni 2017.

Ketika itu, seorang WNI mengaku bernama Nur (19), dalam interview kepada AFP mengatakan memutuskan pergi ke Raqqa karena tergiur janji hidup sejahtera di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah (ISIS).

"Saat kami memasuki wilayah ISIS, masuk ke negara mereka, kami lihat sangat berbeda dengan apa yang mereka katakan di internet," katanya.

Nur yang saat itu bersama belasan WNI lain berada di kamp pengungsian Ain Issa setelah keluar dari Raqqa, dilaporkan laman Sindobatam.com bernama Nurshadrina Khairadhania, salah seorang putri Dwi Djoko. Namanya juga ada dalam daftar 18 WNI tersebut.

Sebelumnya pemerintah Indonesia mengatakan rombongan tersebut terdiri dari 17 orang, namun kemudian dikoreksi menjadi 18 orang.

Dari Kamp Ain Issa, ke-18 orang tersebut diserahkan ke perwakilan Indonesia di perbatasan Suriah dan Irak, pada 8 Agustus 2017, seperti dikatakan Omar Allouche, petugas di kamp penampungan tersebut kepada Associated Press (AP).

Informasi kedatangan 18 WNI itu diunggah dalam akun Instagram Divisi Humas Polri, yang menyebutkan, “Sebanyak 18 WNI bekas relawan ISIS tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tanggerang, Sabtu (12/8/2017) sore. Tim Densus 88 Antiteror Polri langsung menjemput dan membawa mereka ke Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, untuk dilakukan pemeriksaan.”

Butuh klarifikasi

Peneliti terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Ridlwan Habib, mengatakan para WNI yang kembali dari Suriah memang perlu melewati proses pemeriksaan klarifikasi untuk mengetahui besarnya ancaman yang mereka bawa.

Dia yakin mereka telah terpapar paham radikal.

“Karena kita belum tahu secara pasti level ancaman mereka. Harus lewat clearing house dulu,” katanya kepada BeritaBenar, tanpa menjelaskan secara rinci mengenai clearing house tersebut.

Menurutnya, Undang-Undang Anti-Terorisme yang ada belum punya dasar yang kuat untuk mereka ditahan polisi. Tapi jika dilihat dari aturan yang ada, lanjutnya, memang mereka harus melewati aturan pemeriksaan imigrasi.

“Kalau statusnya penahanan, itu 7 kali 24 jam. Kalau klarifikasi imigrasi bisa lebih kepada kesukarelaan sebelum mereka dikembalikan. Permasalahannya sekarang kita tidak tahu pasti sejauh mana mereka berbahaya atau tidak lagi bermasalah,” katanya.

Pendapat hampir sama dikatakan peneliti terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, yang menyebutkan polisi perlu memeriksa lebih lanjut, agar mereka tidak berpotensi melakukan teror di tanah air.

“Hasil pemeriksaannya nanti perlu dijelaskan secara jelas, apakah semua mereka terlibat ISIS, atau hanya tertipu atau seperti apa aktivitasnya mereka di sana,” kata Taufik saat dihubungi.

Meski nanti dari hasil pemeriksaan ternyata WNI tersebut tidak terkait ISIS, dia meminta aparat keamanan agar mengawasi mereka. Polisi, katanya, harus belajar dari kasus yang ada.

Ini merujuk pada peristiwa penyerangan Markas Brimob Polda Sumatera Utara pada malam Hari Raya Idul Fitri lalu oleh seseorang yang belakangan diketahui pernah pergi ke Suriah.

“Harus diawasi juga kegiatannya setelah dipulangkan. Jangan sampai terjadi lagi ada yang memang telah radikal kemudian melakukan teror seperti di Medan itu,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan terdapat sekitar 430 WNI yang dideportasi Turki dalam tiga tahun terakhir setelah mereka ditangkap saat hendak menyeberang ke Suriah.

“Kalau bicara angka deportan bukan berarti langsung terkait dengan ISIS karena mereka belum sempat menyeberang ke Suriah,” katanya kepada wartawan, 17 Juni lalu.

Dia merincikan bahwa dari 430 WNI itu, sebanyak 193 orang dideportasi pada 2015, 60 orang tahun 2016 dan sejak Januari hingga Juli 2017 berjumlah 177 orang.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.