Survei: Mayoritas Muslimah Tak Setuju Radikalisme

Namun perempuan Muslim masih banyak tergantung pada suami dalam menentukan pandangan keagamaan.
Rina Chadijah
2018.01.29
Jakarta
180129_ID_Muslim_1000.jpg Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani (tengah) didampingi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohanna Yambise (kanan) dan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid berbicara kepada wartawan di Jakarta, 29 Januari 2018.
Rina Chadijah/BeritaBenar

Wahid Foundation, Senin, 29 Januari 2018, mengumumkan hasil survei potensi toleransi sosial keagamaan di kalangan muslimah Indonesia.

Hasil survei itu menunjukkan 80,8 persen muslimah di Indonesia tak setuju radikalisme ketimbang rekan laki-laki mereka yang mencapai 76,7 persen.

“Hasil ini sangat menggembirakan karena mayoritas perempuan muslim di Indonesia dapat dikatakan tidak ingin menjadi radikal. Perempuan muslim Indonesia justru memiliki potensi menjadi agen perdamaian,” kata Direktur Wahid Faundation, Yenny Wahid, usai pemaparan hasil survei di Jakarta.

Survei juga mencatat 2,3 persen perempuan intoleran. Angka ini lebih sedikit dibanding laki-laki sebesar 5,2 persen.

Survei ini dilaksanakan pada Oktober 2017 dengan melibatkan 1.500 responden laki-laki dan perempuan masing-masing 50% di 34 provinsi di Indonesia.

Untuk menggelar survei ini Wahid Foundation menggandeng Lembaga Survei Indonesia, dengan dukungan dari United Nation Women, sebagai bagian dari program Perempuan Berdaya, dan Komunitas Damai.

Metode survei digelar dengan wawancara tatap muka. Setiap pewawancara ditugaskan melakukan interview terhadap 10 responden.

Hasil survei juga menunjukkan 53 persen perempuan memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai dibandingkan laki-laki sebesar 60,3 persen.

Kelompok yang paling tidak disukai masyarakat Muslim Indonesia adalah Komunis (21,9%), LGBT (17,8%), Yahudi (7,1%), Kristen (3.0%), Ateis (2,5%), Syiah (1,2%), China (0,7%), Wahhabi (0,6%), Katolik (0,5%), dan Budha (0,5%).

Menurut Yenny, angka ini penting karena kelompok tak disukai berkaitan dengan level intoleransi di sebuah negara atau komunitas. Makin banyak yang tidak disukai, makin menunjukkan intoleransi tinggi.

“Isu komunis paling banyak tidak disukai karena ini banyak digunakan untuk menyerang pemerintah Jokowi, padahal wujudnya tidak kita lihat,” ungkap putri Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

“Namun yang menggembirakan ternyata sentimen anti China utamanya setelah kasus Pak Ahok (mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) tidak tinggi, hanya 0,7 persen.”

Mengenai dukungan terhadap kebebasan beragama, mayoritas perempuan cenderung toleran terhadap perbedaan agama dan keyakinan di Indonesia dibandingkan kaum pria.

Tercatat 80,7 persen muslimah Indonesia mendukung hak kebebasan menjalankan ajaran agama dan keyakinan. Sementara muslimin tercatat mendukung kebebasan beragama 77.4 persen.

Tak otonom

Meski banyak perempuan Indonesia tidak setuju radikalisme, survei mencatat muslimah tidak otonom dalam menyikapi pandangan keagamaan.

Ini berbeda dari sikap kebebasan perempuan dalam menentukan pilihan politik, memilih bekerja atau tidak, atau memilih pasangan hidup.

Menurut survei, ketimbang pria yang mencapai 49 persen, hanya 37,6 persen muslimah Indonesia lebih leluasa menentukan pandangan keagamaan. Sementara tingkat otonomnya perempuan memilih pilihan politik mencapai 68 persen.

Menurut Hendro, peneliti LSI, perempuan muslim Indonesia dapat dikatakan tergantung pada suami dalam menentukan pandangan keagamaan, termasuk soal melakukan jihad dengan cara kekerasan.

“Ini mengindikasi bahwa dalam hal jihad, potensi dipengaruhi suami lebih tinggi, padahal di sisi lain perempuan lebih tidak bersedia radikal,” ujarnya.

Dengan tingkat otonomi rendah dalam menentukan pandangan agama, sambungnya, perempuan rentan dipengaruhi dalam penyebaran paham radikal.

“Kalau dalam hal agama ini bisa lebih diotonomkan, potensi yang dimiliki perempuan untuk tidak radikal bisa lebih maksimal,” kata Hendro.

Yenny menambahkan, pandangan perempuan terkait jihad kekerasan masih secara konseptual dan bukan berarti keinginan perempuan untuk melakukan jihad kekerasan tinggi.

“Jadi bukan misalnya mau jihad ke Suriah. Tetapi mereka umumnya percaya jihad adalah mengorbankan nyawa. Jadi konsepnya masih abstrak,” ujarnya.

Sayangnya, kata Yenny, penelitian ini tidak mengukur lebih jauh mengenai keinginan perempuan untuk melakukan jihad.

Menjadi masukan

Pemerintah memandang toleransi sosial keagamaan menjadi perhatian serius, seiring meningatnya penyebaran paham radikal.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani yang hadir pada acara pembukaan mengatakan, banyak masukan dapat digunakan pemerintah dari survei ini menyikapi isu tolerenasi dan radikalisme.

"Banyak hal dalam survei ini cukup mencengangkan. Namun apakah kita mau menerima atau tidak menerima, silakan dibahas. Kitalah yang menentukan semua ini ke depan," katanya.

Menurut putri presiden kelima Indonesia Megawati tersebut, intoleransi mengganggu kebinekaan dan kemajemukan.

Puan mengajak perempuan dan laki-laki untuk menjaga kebinekaan. Sebab di tangan kaum ibu, nasib generasi bangsa ke depan digantungkan.

"Bung Karno mengatakan manakala baik perempuannya, maka baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri," kata Puan.

Sedangkan Menteri Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohanna Yambise, mengatakan temuan dalam survei ini akan digunakan dalam membuat kebijakan terhadap pemberdayaan perempuan ke depan.

“Ini menjadi penting bagi kami untuk menjadi masukan,” ujarnya.

Meski belum membaca lebih detil hasil survei ini, Yohanna mengaku kementeriannya telah punya konsep besar dalam mencegah perkembangan radikalisme di kalangan perempuan.

“Perempuan harus terus dibina untuk menyebarkan kebaikan, karena perempuan adalah guru pertama bagi generasi bangsa. Kita akan terus meningkatkan peran perempuan,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.