Survei LSI: Persepsi Pengaruh Cina Meningkat di Indonesia
2020.01.13
Jakarta

Hampir 40 persen orang Indonesia memandang Cina sebagai negara paling berpengaruh di Asia, angka tertinggi dalam hampir satu dekade, namun tidak berarti citra Negara Tirai Bambu itu positif, demikian hasil studi Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Menurut studi LSI yang dirilis Minggu (12/1/2020), untuk pertama kalinya sejak survei serupa dilakukan pada 2011 dan 2016, lebih banyak orang Indonesia yang menganggap Cina lebih berpengaruh di Asia dibanding Amerika Serikat (AS), yang berada di posisi kedua, diikuti Jepang.
Persepsi pengaruh Cina di kalangan warga Indonesia melonjak dari 19 persen pada 2011 menjadi 39 persen pada tahun lalu, ketika survei ini diadakan pada Juli 2019. Sementara, persepsi pengaruh AS turun dari 29 persen menjadi 18 persen dan Jepang turun dari 23 persen menjadi 14 persen dalam periode yang sama.
Sekitar 66 persen responden dari 1.540 penduduk Indonesia yang diwawancarai oleh LSI dan Asian-Barometer, jaringan riset opini publik di negara-negara Asia, menilai Tiongkok sangat atau cukup berpengaruh di Indonesia, dibanding 49 persen untuk AS.
Namun, kenaikan persepsi pengaruh Cina juga dibarengi dengan meningkatnya sentimen negatif atas negara itu.
Sekitar 36 persen responden menganggap Cina berpengaruh buruk terhadap Indonesia, dibanding 17 persen dalam survei tahun 2011. Sekitar 40 persen menganggap Cina punya pengaruh baik, dibanding 58 persen tahun 2011.
“Kalau kita lihat trennya dari 2011, yang mengatakan Cina menguntungkan bagi Asia dan Indonesia itu menurun. Sementara, persepsi Cina merugikan itu meningkat. Untuk Amerika dan Jepang, persepsinya tidak mengalami perubahan yang berarti,” kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, melalui sambungan telepon dengan BeritaBenar, Senin (13/1/2020).
Bila persaingan tajam soal persepsi pengaruh terjadi antara Amerika dan Cina, dalam hal pembangunan, Jepang masih memegang posisi paling tinggi. Para responden menganggap Jepang sebagai negara dengan model pembangunan yang layak ditiru, diikuti Amerika, Cina, dan Singapura. Urutan posisi ini stabil selama sepuluh tahun terakhir.
Tahun politik
LSI menemukan gejala political partisanship (keberpihakan politik) dalam penilaian masyarakat terhadap negara-negara paling berpengaruh di Asia dan Indonesia.
Djayadi mengatakan, semakin negatif penilaian masyarakat terhadap ekonomi dan kinerja pemerintah, makin banyak yang menilai Cina sebagai negara yang paling banyak memberi pengaruh.
Persepsi sebaliknya muncul dari para responden yang memiliki pandangan positif terhadap ekonomi dan kinerja pemerintah. Bagi mereka, dalam hal ini pengaruh Amerika lebih tinggi dibanding Cina.
“Salah satu yang membuat Cina dikenal ya melalui peristiwa politik, pemilihan umum (pemilu) itu. Khususnya Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) 2014 sampai 2019. Di situ isu asing-aseng meningkat di Indonesia. Termasuk hoaks Jokowi (Presiden Joko Widodo) antek Cina. Itu salah satu yang berpengaruh,” kata Djayadi.
“Mengapa sebuah negara berpengaruh itu bisa dilihat hadir atau tidaknya mereka, baik secara militer, politik, dan budaya itu banyak dibicarakan. Tren itu yang bisa ditemukan dalam survei ini. Tahun politik itu tampaknya paling berpengaruh (atas Cina),” tukas Djayadi.
Seorang analis politik Universitas Jenderal Achmad Yani di Cimahi, Jawa Barat, menilai studi ini perlu ditambahkan dengan analisis pemberitaan terhadap rasionalitas (diskursus) masyarakat.
“Apakah Cina dianggap semakin berpengaruh karena memang semakin berpengaruh, atau karena media/diskursus masyarakat lebih banyak mendiskusikan soal Cina,” kata Yohanes dalam akun Twitter-nya, @YohanesSulaiman.
Merespons hal ini, Direktur Eksekutif LSI Djayadi mengaku bahwa survei yang mereka susun ini memang tidak meliputi analisis terhadap indikator-indikator yang merumuskan persepsi responden.
Ketegangan Beijing-Jakarta
Hasil survei ini dikeluarkan pada saat terjadi ketegangan antara Indonesia dan Cina menyusul pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia oleh kapal nelayan Tiongkok di perairan Natuna.
Dalam perkembangan terakhir, patroli TNI Angkatan Laut kembali mengusir sekitar 30 kapal nelayan China yang dikawal kapal penjaga pantai negara mereka, kata Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I) Laksamana Madya Yudo Morgono, Senin.
Sebelumnya TNI mengatakan bahwa kapal Cina telah meninggalkan perairan ZEE Indonesia setelah Presiden Joko Widodo berkunjung ke Natuna pada Rabu lalu.
“Sesuai perintah Presiden Joko Widodo, kapal-kapal tersebut akan ditangkap dan diproses secara hukum," kata Yudo Margono.
Anggota Komisi 1 DPR RI, Sukamta, mengatakan sikap Cina tidak akan pernah surut untuk terus mengklaim daerah itu.
Lagipula, kata dia, tidak ada yang bisa menjamin kalau Cina benar-benar menangkap ikan atau ada kepentingan lainnya.
"Kami khawatir itu hanya covernya saja nelayan, tapi ternyata ada kepentingan lain di bawah lautnya. Bagaimana kita yakin kalau mereka ini tidak lakukan aktivitas yang membahayakan kedaulatan secara umum," kata dia dalam sebuah diskusi, Senin.
Sementara itu dalam sebuah diskusi di Malaysia, Bunn Nagara, seorang peneliti senior dari Institute Strategic International Studies mengatakan bahwa Cina melakukan kesalahan strategis di Asia Tenggara, termasuk ketika negara itu mengklaim sepihak sembilan garis putus-putus imajiner di perairan laut Cina Selatan sebagai wilayahnya.
“Tidak fleksibel atas Nine-Dash-Line adalah juga merupakan kesalahan strategis,” ujar Bunn.
Tia Asmara di Jakarta dan Hadi Azmi di Kuala Lumpur turut berkontribusi dalam artikel ini.