Mengenang Kematian Prabangsa 10 Tahun Silam
2019.02.11
Denpasar

Sagung Putu Mas Prihantini agak terbata-bata saat berbicara di panggung peringatan 10 tahun kematian suaminya, Anak Agung Bagus Narendra Prabangsa, di Denpasar, Bali, Senin malam, 11 Februari 2019.
“Saya atas nama keluarga banyak berterima kasih melihat antusiasme semua pihak, terutama teman-teman dari jurnalis, LBH (Lembaga Bantuan Hukum), dan juga masyarakat yang prihatin dengan kemunculan remisi untuk pembunuh suami (saya) yang juga berprofesi sebagai wartawan. Walaupun itu mengingatkan saya akan luka lama yang terjadi sepuluh tahun lalu,” kata istri almarhum wartawan Radar Bali itu.
Ia berhenti sejenak. Anak pertamanya, Anak Agung Istri Sri Hartani Dewantari, yang berdiri di samping Prihantini, mengelus-elus punggung ibunya.
Perempuan dua anak itu melanjutkan, “Ini adalah perjuangan kita bersama. Saya berharap kejadian yang menimpa suami saya, tidak terjadi pada rekan-rekan lain. Ini perjuangan kita bersama demi rekan-rekan pers ke depan agar terlindungi dalam menjalankan tugas sebagai pilar demokrasi.”
Pernyataan Prihantini memulai peringatan 10 tahun kematian Prabangsa oleh Solidaritas Jurnalis Bali (SJB).
Malam itu, sekitar 50 orang memenuhi Rumah Budaya Penggak Men Mersi di Denpasar, untuk mengenang Prabangsa.
Ditenggelamkan
Prabangsa dibunuh pada 11 Februari 2009. Mayatnya ditemukan mengambang di Teluk Bungsil, dekat Pelabuhan Padangbai, Karangasem, lima hari kemudian.
Polisi kemudian menemukan bukti bahwa pembunuhnya adalah I Nyoman Susrama, adik kandung Bupati Bangli dua periode (2000-2010) Nengah Arnawa. Susrama menjadi pemimpin proyek Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli.
Susrama tidak terima pada berita-berita yang ditulis Prabangsa terkait dugaan kasus korupsi proyek Dinas Pendidikan Bangli.
Susrama menjadi aktor intelektual pembunuhan Prabangsa yang melibatkan enam orang lain.
Menurut bukti yang terungkap di pengadilan, Susrama bahkan ikut memukul Prabangsa dengan balok kayu saat pembunuhan itu dilakukan di rumah tinggalnya di Bangli.
Prabangsa yang masih dalam kondisi hidup lalu ditenggelamkan di perairan Selat Badung sebelum mayatnya ditemukan lima hari kemudian.
Muhammad Ridwan, seorang rekan Prabangsa di media milik grup Jawa Pos tersebut, mengenang kejadian sepuluh tahun lalu.
Saat kejadian, tutur Ridwan, Prabangsa sebenarnya sedang sibuk karena menjadi salah satu panitia Deteksi Basket League (DBL), kompetisi tahunan yang digelar Jawa Pos.
Sebagai jurnalis senior di kantornya, Prabangsa dikenal disiplin dan tepat waktu datang ke kantor.
Namun, pada 9 Februari 2009, bapak dua anak itu tiba-tiba tidak datang ke kantor, tanpa permisi. Ketika ditelepon, ponselnya tidak aktif. Keluarga yang dihubungi juga mengaku tidak tahu.
“Kami semua tidak menyangka akan kehilangan Pak Agung,” kata Ridwan merujuk pada panggilan kepada Prabangsa di kantornya.
Tiga hari kemudian, ketika Radar Bali merayakan ulang tahunnya, mereka baru benar-benar sadar telah kehilangan jurnalis yang bertugas meliput di kantor DPRD Bali dan Pemerintah Provinsi Bali itu.
“Saat itu kami masih berkeyakinan bahwa dia hanya pergi sebentar sehingga masih mendoakan yang baik-baik saja. Sampai kemudian mayatnya diketahui mengambang di Teluk Bungsil. Kami sangat kehilangan,” ujar Ridwan.
Wartawan kritis
Ida Bagus Anom Putra, wartawan Radio Global dan rekan Prabangsa mengenal almarhum sebagai jurnalis yang kritis.
“Dia sering pulang sore untuk mencari informasi-informasi yang belum banyak terbuka di ruang sidang,” kata Anom.
Menurutnya, Prabangsa termasuk salah satu jurnalis yang mendorong DPRD Bali agar terbuka pada media, termasuk rutin menggelar jumpa pers.
“Sebelum itu, wartawan hanya dapat informasi kalau mendatangi anggota dewan ke ruangan,” ujarnya.
Salah satu kebiasaan Prabangsa, Anom melanjutkan, juga mencari informasi dari sumber-sumber tak resmi dan dianggap remeh, seperti sopir anggota Dewan.
“Makanya dia sering dapat informasi sensitif tentang anggota DPRD,” Anom melanjutkan.
Bagi Ridwan dan Anom, pembunuhan Prabangsa menjadi pesan bagi jurnalis agar tetap kritis.
“Saya ingin membangkitkan semangat agar kita tidak gentar menyampaikan kebenaran. Karena satu-satunya harapan saat ini adalah pers,” tegas Ridwan.
Bukan kado
Peringatan 10 tahun kematian Prabangsa jadi perhatian setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo memberikan remisi kepada Susrama dari hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.
Remisi itu kemudian diprotes jurnalis di berbagai kota. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggerakkan penolakan itu, termasuk AJI Denpasar.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami, saat berdialog dengan SJB, Sabtu, 2 Februari 2019 lalu, mengakui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) memang lalai dalam penetapan remisi terhadap Susrama.
“Kami tidak melakukan profiling satu per satu (pada penerima remisi),” katanya saat pertemuan di Denpasar itu.
Sri kemudian menyarankan agar SJB mengirimkan surat keberatan agar menjadi pertimbangan Presiden untuk mengubah remisi pada Susrama.
Pada Sabtu, 9 Februari 2019, saat ditanya wartawan, Jokowi mengatakan telah menandatangani Keppres pembatalan remisi tersebut.
Pada Senin, 11 Februari 2019, Kepres Nomor 3 tahun 2019 tentang Pembatalan Pemberian Remisi itu pun beredar luas.
Meskipun demikian, Ketua AJI Denpasar Nandang Astika mengatakan pembatalan remisi itu tidak bisa disebut sebagai kado dari Jokowi untuk jurnalis.
“Hasil ini bukan sekonyong-konyong, tetapi hasil perjuangan. Apa yang kita tuntut dan serukan, inilah yang kita dapatkan,” tegasnya.