Perempuan Skizofrenia Pembawa Anjing ke Masjid Divonis Bebas
2020.02.05
Jakarta

Hakim di pengadilan Negeri Cibinong di Kabupaten Bogor, Rabu (5/2/2020), memutuskan untuk membebaskan seorang perempuan yang didakwa menista agama karena membawa anjing ke dalam masjid tahun lalu, dengan alasan dia menderita gangguan jiwa.
Suzethe Margaret, perempuan Katolik berusia 52 tahun, dituduh menista agama setelah memasuki Masjid Al-Munawaroh Sentul di Bogor sembari membawa anjing peliharannya pada 30 Juni 2019.
Suzethe waktu itu mengatakan kedatangannya ke Al-Munawaroh adalah untuk mencari suaminya yang disebutnya bakal menikah di masjid tersebut.
"Dari keterangan ahli di persidangan, terdakwa dinyatakan skizofrenia paranoid sehingga tidak dapat dihukum dan melepaskan terdakwa dari segala dakwaan," kata ketua majelis hakim Indra Meinantha Vidi, Rabu, 5 Februari 2020.
Berdasarkan pemeriksaan ahli, ditambahkan hakim Indra, Suzethe diketahui berhalusinasi dan mendapat bisikan yang menyuruh dirinya ke Masjid Al-Munawaroh karena suaminya akan menikah di sana. Sikap reaktif yang ditunjukkan Suzethe saat ditegur pengurus masjid pun disebut dipicu oleh perasaan bahwa orang di sekitarnya akan berbuat tidak baik terhadapnya.
Putusan ini sempat menimbulkan ketidakpuasan dari sejumlah orang yang hadir di ruang sidang. Begitu hakim mengetuk palu penanda sidang usai, mereka bergantian meneriakkan, “Ingat namanya Suzethe. Kalau bertemu di jalan, panggil dia gila.”
Adapun Suzethe hanya terdiam sembari berjalan meninggalkan ruang sidang sambil dipegangi kuasa hukumnya, Alfonsus Atu.
Suzethe dituntut delapan bulan penjara oleh jaksa karena melanggar Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam persidangan yang telah dimulai sejak September tahun lalu itu.
Keputusan adil
Kasus Suzethe bermula dari rekaman video saat dirinya memasuki masjid dengan mengenakan alas kaki, viral di media sosial.
Tindakan Suzethe ini kemudian memancing perdebatan dengan pengurus masjid, serta sejumlah jemaah yang tengah beribadah. Ia juga sempat mengaku kepada mereka sebagai seorang Katolik.
Suzethe juga sempat melepas anjing yang dibawanya di dalam masjid, hingga akhirnya ia dibawa oleh polisi.
Alfonsus Atu menyebut hakim Indra telah bersikap adil dengan membebaskan kliennya dari jerat penistaan agama.
"Karena memang kenyataannya Ibu (Suzethe) ini sakit. Sejak awal, penyidik dan jaksa juga sudah mengetahui bahwa ini orang sakit," ujar Alfonsus.
Fakta persidangan mengungkap, Suzethe memang telah menjalani pengobatan skizofrenia yang dideritanya sejak 2013. Sejak saat itu pula kondisi kejiwaannya disebut naik-turun.
Sedangkan Ruslan Suhady dari Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al-Munawaroh yang melaporkan dugaan penistaan agama oleh Suzethe mengaku kecewa atas putusan majelis hakim. Menurutnya, Suzethe tidak layak dibebaskan karena tidak terlihat seperti orang dengan gangguan jiwa.
"Gila itu yang acak-acakkan, bertelanjang, bukan seperti ini (Suzethe). Ini kan rapi," dalihnya.
'Penistaan agama'
Aktivis hak asasi manusia sudah banyak mengkritik penggunaan pasal penistaan agama karena kebanyakan dari mereka yang terjerat adalah dari kalangan minoritas, termasuk pengikut sekte-sekte dalam Islam.
Undang-undang penistaan agama hanya digunakan dalam delapan kasus dalam empat dekade pertama, tetapi hukuman melonjak menjadi 125 selama 10 tahun pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono antara 2004 dan 2014, menurut Human Rights Watch (HRW)
Sdebanyak 43 orang lainnya telah dijatuhi hukuman sejak Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjabat pada tahun 2014, kata HRW.
Andreas Harsono, seorang peneliti dari HRW, menyambut pembebasan Suzethe.
"Secara kemanusiaan baik, artinya orang yg sakit tidak perlu dipenjara," katanya kepada BenarNews.
"Tapi jika perdebatan secara hukum adalah bagaimana melihat kasus ini, di negara maju demokrasi tidak ada hukum penodaan agama," katanya.
Sementara pembebasan Suzethe seharusnya menjadi langkah menuju pencabutan undang-undang penistaan agama, DPR justru mengajukan enam pasal penodaan agama dalam RKUHP, papar Andreas.
“Ini adalah langkah mundur. Kalau ditambah terus, berarti lebih banyak diskriminasi untuk minoritas,” tambahnya.
Seorang perempuan etnis Tionghoa bernama Meliana di Tanjung Balai, Sumatra Utara, pada 2018 dihukum 1 ½ tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Medan setelah mengeluhkan volume suara azan di sebuh masjid.
Kasus ini bahkan berbuntut konflik etnis dan rasial, berupa pembakaran sejumlah kelenteng dan wihara di Tanjung Balai pada 2016 oleh sekelompok Muslim konservatif. Kasus Meliana ini bergulir hingga tingkat kasasi, saat Mahkamah Agung menolak permohonan Meliana dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan. Setelah menjalani hukuman selama setahun ia bebas bersyarat Mei tahun lalu.
Sebelumnya, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama divonis bersalah dalam kasus penistaan agama pada tahun 2017 dan dihukum dua tahun penjara.
Kelompok Muslim konservatif melakukan protes besar-besaran melawan Ahok yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa pada akhir 2016 dan 2017 setelah sebuah video pidatonya yang diedit yang membuatnya terlihat menistakan Alquran, viral di media sosial.
Karena kasus tersebut juga, Ahok kalah dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta atas Anies Baswedan yang mendapat dukungan penuh dari Muslim konservatif.