Lima Tapol Papua Batal Bebas, Aktivis Kecam Tindakan Diskriminatif Pemerintah

Kelompok HAM mengatakan ada sekitar 70 tahanan dan napi yang dikategorikan sebagai tahanan politik.
Ronna Nirmala
2020.05.12
Jakarta
200512_ID_Papua_tapol_1000.jpg Dano Tabuni, Ambrosius Mulait, Surya Anta Ginting, Arina Elopere, Charles Kossay, dan Isay Wenda, aktivis pro-Papua yang ditangkap karena dicurigai melakukan makar, menyanyikan lagu solidaritas ketika mereka tiba di ruang sidang sebelum persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 Desember 2019.
Reuters

Pengacara dan aktivis hak asasi manusia (HAM) hari Selasa (12/5) mengecam keputusan pembatalan pembebasan awal terhadap lima aktivis yang divonis sembilan bulan penjara dalam kasus makar.

Kelima aktivis - Surya Anta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, Dano Tabuni, dan Ariana Elopere - awalnya dijadwalkan bebas hari Selasa setelah menjalani dua pertiga masa tahanan di Rutan Salemba, Jakarta Pusat, kata kuasa hukum mereka, Michael Himan, yang menyebut mereka sebagai tahanan politik (tapol).

Namun saat mereka tengah bersiap untuk keluar, pihak rutan menyatakan kelimanya tidak memenuhi persyaratan pembebasan asimilasi seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM terkait pembebasan napi untuk mencegah penularan COVID-19 yang dikeluarkan Maret lalu, kata Himan.

“Bahwa batalnya para tapol Papua bebas dari penjara merupakan tindakan diskriminasi karena keputusan Menkumham tentang pembebasan tahanan dalam pencegahan COVID-19 tidak berlaku bagi mereka,” kata Himan kepada BenarNews.

Himan bersama tim kuasa hukum tapol meminta Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk mendesak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manuasi Yasonna Laoly untuk membebaskan para tapol dengan alasan kemanusiaan.

“Jangan sampai masalah administrasi di internal Kemenkumham dan Dirjen Pemasyarakatan mengalahkan nilai kemanusiaan dan keselamatan,” kata Himan.

“Tanpa alasan yang jelas tiba-tiba hari ini, pukul 14.00 WIB, bagian registrasi Rutan Salemba memanggil lagi para tapol dan sampaikan bahwa asimilasi tidak bisa diberikan,” kata Himan.

Kelima aktivis itu divonis hukuman sembilan bulan penjara karena ikut dalam demonstrasi menuntut referendum untuk Provinsi Papua dan pengibaran Bendera Kejora tahun lalu. Kelimanya telah ditahan sejak Agustus 2019, sementara sidang putusannya dibacakan akhir April.

Isay Wenda, satu terpidana lain yang divonis delapan bulan penjara dalam kasus yang sama, telah selesai menjalani masa hukumannya beberapa hari setelah vonis putusan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan sejak awal pemerintah sudah tidak transparan terkait kepastian para tapol mendapatkan program asimilasi dari Kemenkumham.

“Awalnya mereka beralasan belum menerima salinan putusan. Setelah kami desak semua otoritas yang berwenang, dan ada kemajuan berupa salinan putusan, muncul lagi alasan baru,” kata Usman.

“Begitu lah kakunya pemerintah. Mereka menganggap tapol ini sama seperti teroris,” tambahnya.

Akhir Maret, Yasonna menandatangani Kepmen terkait pembebasan napi dengan persyaratan tertentu melalui program asimilasi integrasi dan untuk mengantisipasi penularan COVID-19.

Kedua program ini berlaku untuk napi yang dua pertiga masa pidananya jatuh sampai 31 Desember 2020 dan napi anak-anak yang separuh masa pidananya jatuh hingga 31 Desember 2020. Selain itu, Yasonna menyatakan keputusan ini diambil untuk mengikuti rekomendasi Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Hingga April 2020, sebanyak 38.822 napi telah dibebaskan melalui program ini. Sebagian besarnya adalah kasus kriminal dan ratusan lainnya adalah kasus korupsi, meski PBB merekomendasikan pembebasan diutamakan untuk tahanan politik karena dianggap tidak ada unsur pelanggaran hukum yang dilakukan.

Puluhan tapol tidak bisa bebas

Veronica Koman, pengacara HAM Indonesia yang saat ini berdomisili di Australia, meminta pemerintah untuk bersikap adil dengan menjalankan rekomendasi PBB dan membebaskan seluruh tahanan politik.

“Mereka harus dibebaskan tanpa syarat. Apalagi kasus positif COVID-19 sudah beberapa ditemukan di dalam penjara,” kata Veronica melalui sambungan telepon dengan BenarNews.

Bulan lalu, Veronica bersama rekannya, Jennifer Robinson, menyurati PBB untuk mendesak pemerintah membebaskan 63 tahanan politik tanpa syarat, dengan alasan ancaman penularan COVID-19 di dalam penjara dengan kapasitas berlebih.

Satu pekan setelah surat setebal 400 halaman itu disampaikan, kepolisian menahan tujuh aktivis yang mengibarkan Bendera Benang Raja saat merayakan HUT Republik Maluku Selatan (RMS).

Dengan demikian, jumlah tahanan dan narapidana yang dikategorikan sebagai tapol oleh para kelompok HAM bertambah menjadi 70 orang.

Usman menambahkan, sejak awal penahanan dan pemidanaan keenam aktivis Papua ini sudah menjadi persoalan yang serius karena tanpa adanya wabah virus corona pun, mereka tidak layak menjalani hukuman pidana lantaran mengemukakan ekspresi dan pendapat yang dilindungi oleh hukum.

“Kami tetap mendesak seluruh tapol dibebaskan, tanpa syarat, tanpa kecuali,” kata Usman kepada BenarNews.

Usman mengatakan dia dan bersama aktivis HAM lainnya telah menyiapkan dokumen administrasi yang dibutuhkan, namun belum mendapatkan respons dari pemerintah.

“Alot ini. Saya sedang telepon Menteri Hukum dan HAM, Ombudsman, dan lain-lain. Belum beres,” katanya.

Bahkan, pemerintah juga belum memberi respons atas pengaduan yang diajukan pengacara HAM terkait pembebasan tapol kepada PBB. “Belum ada juga. Kayaknya pemerintah ini terlalu kaku secara ideologis,” tukas Usman.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.