Transparency International Indonesia: Korupsi Memburuk Tahun 2020
2021.01.28
Jakarta

Korupsi semakin parah di Indonesia pada 2020, ditandai dengan dua menteri kabinet ditangkap karena kasus tersebut dan memburuknya skor Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi dibandingkan tahun sebelumnya, demikian Transparency International Indonesia (TII), Kamis (28/1). Korupsi juga berpengaruh terhadap mundurnya demokrasi di tengah penanganan pandemi COVID-19.
Akhir 2020, dua menteri dalam kabinet pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo-Ma’ruf Amin tersangkut perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap pada November tahun lalu atas dugaan korupsi izin ekspor benih lobster, sementara mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara ditangkap Desember lalu karena menerima suap Rp17 miliar dari perusahaan yang ditujuk Kementerian untuk memasok bantuan sembako bagi warga yang terdampak pandemi COVID-19.
Dalam laporan tahunan TII, skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI - corruption perception index) di Indonesia pada 2020 adalah 37, merosot 3 poin dari 40 pada tahun 2019. Skor ini memprediksikan tingkat korupsi suatu negara dimana 0 poin adalah sangat korup sedangkan negara bersih korupsi ditandai dengan 100 poin.
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat kelima di bawah Timor Leste (skor 40), Malaysia (51), Brunei Darussalam (60) dan Singapura (85).
Wawan Suyatmiko, peneliti TII, mengatakan penurunan skor CPI Indonesia mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaiki dan mempertahankan pelayanan publik yang bersih.
“Padahal 2019 adalah pencapaian tertinggi dalam perolehan skor CPI Indonesia sepanjang 25 tahun terakhir,” kata Wawan dalam peluncuran CPI 2020 secara virtual di Jakarta, Kamis.
TII menemukan lima indikator yang paling merosot dibanding tahun 2019, yakni suap ekspor-impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis; korupsi dalam sistem politik; korupsi di birokrasi; praktik suap dalam menjalankan bisnis; dan korupsi besar-kecil yang memengaruhi kebijakan publik.
Adapun tiga indikator yang mengalami stagnasi antara lain pejabat pemerintah yang menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi, pemberian hukuman untuk pejabat publik yang korup, dan akuntabilitas dana publik.
“Artinya secara umum beberapa indikator penyusun IPK Indonesia yang berhubungan dengan sektor ekonomi, investasi dan kemudahan berusaha mengalami stagnasi, dan bahkan mayoritas turun,” kata Wawan.
Peringkat CPI Indonesia dibanding negara lainnya sepanjang tahun 2020 juga merosot, dari posisi 85 menjadi 102 dari 180 negara di dunia, akibat meningkatnya korupsi yang melibatkan politisi dan pebisnis, demikian hasil survei TII.
Korupsi, demokrasi dan pandemi
Wawan mengatakan penelitian TII menemukan korelasi antara kemampuan pemerintah sebuah negara dalam menangani pandemi COVID-19 dengan pemberantasan korupsi.
“Kami menemukan bahwa korupsi berkontribusi pada kemunduran demokrasi. Selama pandemi COVID-19 negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi merespon kritis dengan cara-cara yang kurang demokratis,” ujarnya.
“Korupsi telah menggeser alokasi anggaran layanan publik yang esensial. Negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, cenderung mengeluarkan uang lebih sedikit untuk kesehatan,” ujarnya.
TII memberikan empat rekomendasi kepada pemerintah untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik dan pemerintahan yang bersih, yakni memperkuat peran dan fungsi lembaga pengawas, memastikan transparansi kontrak pengadaan, merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga di ruang publik, serta mempublikasikan dan menjamin akses data yang relevan.
UU KPK
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD tidak membantah hasil survei yang memperlihatkan penurunan indeks persepsi korupsi di Indonesia oleh TII.
“Persepsi itu artinya ya pandangan-pandangan publik, pandangan orang, pandangan ilmu tentang korupsi itu. Memang di tahun 2020 itu akan sekurang-kurangnya stagnan kalau tidak turun, sejak awal saya sudah berpikir begitu,” kata Mahfud, Kamis.
“Karena pertama kita ribut dengan kontroversi tentang lahirnya Undang-undang KPK yang secara umum dianggap sebagai sebuah produk hukum yang akan melemahkan pemberantasan korupsi. Itu bisa menimbulkan persepsi apapun, meski faktanya bisa iya bisa tidak,” tambahnya.
Kendati demikian, Mahfud mengapresiasi rekomendasi yang diberikan TII perihal penguatan pelayanan publik dan pemerintahan yang bersih.
“Memang pada tingkat implementasi sulit menghindari kebocoran-kebocoran karena kadang kala koruptor itu ada di mana-mana dan dan punya program-program juga yang tidak kalah canggihnya dengan apa yang kita pikirkan, yang kita rancang, dan sebagainya,” kata Mahfud.
Sejumlah kalangan menentang kehadiran UU KPK baru yang disetujui oleh lembaga legislatif dan pemerintah pada September 2019, karena dianggap melemahkan lembaga itu.
Ribuan mahasiswa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya turun ke jalan, dengan lima di antaranya dilaporkan tewas dan ratusan lain terluka.
Presiden Jokowi ketika itu sempat merespons dengan menyatakan akan mempertimbangkan menerbitkan Perppu KPK untuk membatalkan revisi tersebut. Namun, pada Januari 2020, Istana mengatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK tidak akan diterbitkan untuk memberi kesempatan KPK serta Dewan Pengawasnya mengimplementasikan aturan baru tersebut.
‘KPK tidak bisa bekerja sendiri’
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan pencapaian IPK Indonesia pada 2020 mencerminkan pemberantasan korupsi sebagai beban yang tidak hanya ditanggung oleh lembaga antirasuah saja, melainkan juga penegak hukum serta pemangku kepentingan lainnya.
“Oleh karena itu tentunya, KPK memahami ini dan karenanya KPK tidak bisa sendiri. Karena sektor ekonomi dan investasi, dan sektor politik dan demokrasi, itu semuanya adalah sayap-sayap yang tidak kemudian mampu ditopang oleh KPK sendiri,” kata Ghufron dalam kesempatan yang sama.
Ghufron menambahkan, pihaknya mengakui bahwa pandemi COVID-19 memunculkan sejumlah kelonggaran dalam sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa.
“Demi kemanusiaan, kesehatan, keketatan itu kemudian dilonggarkan karena kita perlu kecepatan untuk menyelamatkan anak bangsa. Tapi faktanya memang kelonggaran-kelonggaran tersebut itu ternyata dijadikan kesempatan untuk kemudian melakukan korupsi,” katanya.
Dari sisi penindakan, Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) mencatat adanya penurunan sepanjang 2020, KPK hanya melakukan 7 operasi tangkap tangan (OTT), sementara pada 2019 terdapat 30 kasus dan 21 kasus lainnya pada 2018.
Catatan akhir tahun Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut upaya pemberantasan korupsi Indonesia sepanjang tahun kemarin mengalami ‘kemunduran yang luar biasa’.
“Praktis seluruh elemen kekuasaan negara, mulai dari eksekutif, legislatif, dan penegak hukum tidak mampu memperlihatkan keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi. Arah kebijakan politik hukum pun kian kabur, alih-alih berorientasi pada kepentingan masyarakat, yang dilakukan malah memperkuat kepentingan sekelompok oligarki,” tulis ICW.