TNI Pindahkan Gugus Tempur ke Natuna, Antisipasi Ketegangan Laut Cina Selatan
2020.11.23
Jakarta

TNI Angkatan Laut, Senin (23/11), mengatakan akan memindahkan markas Gugus Tempur Laut (Guspurla) Komando Armada (Koarmada) I ke Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, untuk mengantisipasi adanya potensi peningkatan ketegangan di Laut Cina Selatan.
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono mengatakan pemindahan markas yang saat ini berada di Tanjung Priok, Jakarta Utara itu sekaligus sebagai bentuk penegakan kedaulatan di wilayah perairan Indonesia.
“Guspurla nantinya akan pindah ke Natuna untuk antisipasi situasi yang sewaktu-waktu terjadi. Jadi komandan Guspurla bisa langsung pimpin kapal perang yang ada di satuan tugas di sana,” kata Yudo dalam acara Gelar Kesiapan Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista) di Jakarta, Senin.
Yudo tidak memberi keterangan kapan rencana itu akan berlangsung, namun memastikan bahwa pemindahan tersebut bersifat permanen.
“Yang selama ini di Jakarta adalah pelaksana tugas operasi dalam rangka penegakan kedaulatan. Wilayah operasinya di Laut Natuna, sehingga akan lebih efektif apabila satuan tugas gugur tempur laut kita tempatkan di Natuna,” lanjutnya.
Saat ini Koarmada I TNI AL menyiagakan empat kapal RI (KRI) berjenis fregat dan korvet atau kapal anti-kapal selam, yakni KRI John Lie, KRI Wiratno, KRI Sutanto, dan KRI Cut Nyak Dien, serta satu pesawat patroli udara jenis CN235 guna menggelar patroli rutin di wilayah Natuna untuk mencegah pelanggaran batas wilayah oleh kapal-kapal penangkap ikan asing.
Awal Oktober, KRI John Lie berhasil menangkap dua kapal ikan asing berbendera Vietnam yang diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Pada September, kapal patroli laut berbendera Cina, CCG 5204, memasuki wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Data pelacakan kapal yang dihimpun oleh Radio Free Asia (RFA) menunjukkan bahwa CCG 5204 telah berpatroli di Vanguard Bank, wilayah yang berada sedikit di luar 200 mil laut dari Natuna Besar, sejak sebulan sebelumnya.
Dalam gelar pasukan Senin pagi, Yudo memastikan TNI AL telah menyiapkan alutsista dan personel yang setiap saat bisa melaksanakan tugas yang diberikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto dalam rangka menegakkan kedaulatan negara.
“Tugas ke depan masih banyak,” kata Yudo, “dan juga keamanan kawasan, khususnya di Laut Cina Selatan misalnya,” tambahnya.
Akhir Juli, TNI Angkatan Laut sempat melakukan simulasi perang amfibi di Laut Cina Selatan yang berlangsung satu pekan dan melibatkan 2.000 personel serta 26 kapal perang.
Pada awal tahun ini, Indonesia mengirim jet tempur dan kapal perang untuk mengusir kapal nelayan dan kapal penjaga pantai Cina yang diklaim Jakarta telah melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna Utara.
Cina mengklaim hampir semua bagian di Laut Cina Selatan, sebagian wilayah perairan itu juga diklaim oleh Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Taiwan.
Indonesia tidak menganggap dirinya sebagai pihak dalam sengketa Laut Cina Selatan, tetapi Beijing mengklaim hak historis atas bagian laut yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia.
Dalam catatan diplomatik yang dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB pada 26 Mei, Jakarta menolak peta “Sembilan Garis Putus-Putus” Cina dan klaim Tiongkok atas apa yang disebutnya sebagai hak historis di hampir semua Laut Cina Selatan.
Indonesia juga menolak undangan Cina untuk merundingkan apa yang disebut Beijing sebagai "klaim hak dan kepentingan maritim yang tumpang tindih" di wilayah laut yang diperebutkan, dengan mengatakan bahwa tidak ada yang harus dirundingkan karena wilayah tersebut berdasarkan United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) berada di bawah kedaulatan Indonesia.
Kehadiran armada penangkap ikan
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Aan Kurnia, menilai selain kehadiran negara dalam bentuk pengerahan pasukan baik dari TNI AL, petugas Bakamla maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penting juga untuk mengerahkan nelayan di perairan Natuna Utara.
“TNI AL, Bakamla, dan KKP sudah hadir di situ. Tapi dengan hadirnya simbol negara apa selesai? Belum. Yang harus kita juga hadir di sana adalah armada kapal ikan,” kata Aan dalam sebuah sesi diskusi daring, Senin malam.
“Ini belum kita laksanakan. Dulu sempat kita kirim nelayan, tapi belum satu bulan mereka minta kembali karena mengeluh hasil ikan yang didapat tidak maksimal karena alat tangkapnya tidak secanggih Cina atau Vietnam,” tambahnya.
Aan mengatakan, Cina sengaja memanfaatkan klaim wilayahnya melalui sembilan garis putus untuk mengirimkan nelayan-nelayan yang disebutnya dilatih dengan pendidikan bela negara.
“Sekarang Cina mengganggu negara-negara yang berbatasan LCS (Laut Cina Selatan) dengan grey zone-nya itu. Tapi itu bukan nelayan biasa, itu nelayan yang sudah dapat pendidikan bela negara. Sudah sangat terlatih,” katanya.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, menyepakati pernyataan Kepala Bakamla dengan menyatakan bahwa ancaman terbesar Indonesia di Laut Natuna adalah kegiatan ekonomi Cina melalui sektor perikanannya.
“Kita tidak punya masalah tumpang tindih klaim Laut Cina Selatan, itu yang harus digarisbawahi. Cuma, Cina ini satu negara yang memiliki armada ikan yang besar, barangkali terbesar di dunia. Konsekuensinya dia akan pergi ke laut mana saja, termasuk ke laut kita,” kata Siswanto dalam diskusi yang sama.
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia pada akhir Oktober, mencatat selama lima bulan terakhir telah terjadi peningkatan pencurian ikan yang dilakukan oleh 31 kapal asing di perairan Natuna, dengan 21 di antaranya berbendera Vietnam.
Peneliti DFW Indonesia, Muhammad Arifuddin mengatakan kerawanan pencurian ikan di natuna perlu direspons dengan meningkatkan pengawasan melalui patroli dan latihan gabungan militer secara rutin.
“Indonesia tidak bisa pasif dan berdiam diri dengan maraknya pencurian ikan,” kata Arifuddin dalam keterangan tertulisnya.