WNI Korban Trafficking di Luar Negeri Meningkat
2016.08.24
Jakarta

Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi mengungkapkan jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perdagangan manusia atau human trafficking di luar negeri terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Ada ratusan kasus korban perdagangan manusia di luar negeri setiap tahun, sementara ribuan kasus lainnya tidak dilaporkan. Ini menunjukkan tren peningkatan,” ujarnya di Jakarta, Selasa, 23 Agustus 2016.
Menlu Retno menyampaikan hal itu pada acara penandatanganan Nota Kesepahaman tentang Pencegahan dan Penanganan WNI yang Terindikasi atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Luar Negeri.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat sejak tahun 2013 hingga awal Agustus 2016, terdapat 1.328 kasus WNI korban trafficking di luar negeri yang telah ditangani. Jumlah itu terdiri dari 188 kasus tahun 2013, 326 kasus (2014), 548 kasus (2015).
“(Pada tahun ini) hingga Agustus 2016, perwakilan kami di luar negeri sudah menangani 266 kasus. Oleh karena itu, kerjasama (harus) diperkuat untuk tiga hal yaitu mencegah, memberantas dan melindungi korban,” ujar Retno.
Nota Kesepakatan itu ditandatangani oleh tujuh Kementerian/Lembaga yaitu Kemenlu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Sosial, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kemenlu, Andri Hadi, mengatakan kesepakatan itu untuk menciptakan mekanisme penyelesaian secara nasional penanganan korban trafficking di luar negeri sehingga kasus-kasus yang ada bisa tertangani lebih optimal.
Selain itu, "untuk meningkatkan pencegahan perdagangan orang dan perlindungan para korban," katanya.
Menurut dia, beberapa hal yang jadi fokus pemerintah antara lain pertukaran data dan informasi, identifikasi korban, pemulangan TKI, dan rehabilitasi korban.
Moratorium tak efektif
Sekretaris Utama BNP2TKI, Hermono mengakui bahwa moratorium pengiriman tenaga kerja yang diberlakukan sejak 2015 tak cukup efektif dalam menanggulangi banyaknya kasus korban trafficking.
“Moratorium berdampak negatif karena tidak ada antisipasi mitigasi risiko dan tak ada alternatif yang disiapkan pemerintah,” ujarnya.
Seperti diketahui bahwa pemerintah menghentikan pengiriman para tenaga kerja sektor domestik atau penata laksana rumah tangga ke negara-negara di kawasan Timur Tengah sejak Mei 2015. Moratorium itu diberlakukan hingga akhir 2017.
Menurut Hermono, meningkatnya kasus korban trafficking karena ada faktor pendorong di dalam negeri dan permintaan yang tinggi di luar negeri. Faktor pendorong antara lain sulitnya lapangan pekerjaan dan pendidikan yang rendah sehingga sulit mendapatkan pekerjaan.
“Sejak moratorium, suplai (tenaga kerja) menjadi terbatas sementara permintaan terus meningkat di luar negeri, sehingga banyak yang memanfaatkan orang untuk melakukan trafficking ke negara-negara yang membutuhkan dengan iming-iming gaji yang tinggi, “ jelas Hermono.
Harga yang tinggi, tambahnya, tidak akan jadi masalah bagi majikan di luar negeri yang butuh penata laksana rumah tangga. Seorang majikan rela membayar hingga US$12.000 atau tiga kali lipat dari harga normal sekitar US$4.000.
“Jumlah itu hanya bayaran untuk mendatangkan penata laksana rumah tangga kepada penyalur. Ini membuat oknum mengiming-imingi korban dengan gaji tinggi padahal gaji yang ditawarkan hanya Rp4 juta,” katanya.
Sebagai upaya pencegahan, lanjut dia, pihaknya terus melakukan kampanye kesadaran bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil agar perlindungan menjadi maksimal.
“Kami berikan pemahaman di kantong-kantong yang TKI-nya banyak tentang bagaimana prosedur yang benar dan risiko bila melalui jalur ilegal,” ujarnya.
Gunung es
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah yang ditanya BeritaBenar menyatakan bahwa masalah perdagangan manusia saat ini sudah bagaikan fenomena gunung es yang sangat sulit dipecahkan, karena banyak kasus yang belum terungkap.
“Yang terungkap sebagian kecil saja, yang tidak terungkap lebih banyak lagi,” ujarnya.
Ia menduga banyak WNI terjebak masalah trafficking di luar negeri. Data Migrant Care menunjukkan dalam kurun waktu Mei 2015 – Mei 2016, terdapat 2.644 WNI terjebak di Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Abu Dhabi, Yordania, Qatar dan Kuwait.
Anis menilai program pemerintah belum efektif dalam menangani masalah perdagangan manusia.
“Data pasti saja pemerintah tidak ada, padahal sudah ada Satgas pemberantasan human trafficking tapi kerja nyatanya belum tampak,” katanya.
Dia menyebutkan, penanganan korban juga terbatas hanya sampai pemulangan korban.
“Seharusnya korban juga direhabilitasi setelah pulang ke kampung halaman. Ini penting untuk pemulihan psikologis,” ujarnya.