Indonesia Tolak Permintaan China ‘Barter’ Samadikun dengan Napi Uighur
2016.04.21
Jakarta

Pemerintah menolak permintaan China mengekstradisi empat orang Uyghur yang tengah ditahan di Indonesia sebagai barter dipulangkannya buron kasus BLBI Samadikun Hartono yang ditangkap di Shanghai pekan lalu, demikian disampaikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan.
"Kami sampaikan kepada mereka (Pemerintah China), tidak semudah itu karena kasusnya berbeda," papar Luhut dalam pertemuan dengan wartawan di kantornya, Kamis, 21 April 2016.
Luhut menambahkan, Samadikun melakukan tindak kriminal di Indonesia. Begitu juga dengan keempat warga Uighur yang divonis enam tahun penjara pada pertengahan tahun lalu atas kasus terorisme melakukan kegiatannya di Indonesia, bukan di negara mereka.
Samadikun adalah buronan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang ditangkap di Shanghai, China, 14 April 2016, setelah diburu selama 13 tahun. Dia ditangkap atas kerjasama otoritas China dan Badan Intelijen Negara (BIN).
"Itu case yang dibicarakan berbeda dan bisa jadi rancu, (soal narapidana Uighur) harus dibicarakan terpisah," ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Jaksa Agung M. Prasetyo dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Kamis. Menurutnya, ketika Samadikun hendak dibawa pulang oleh BIN, China menawarkan agar dia ditukar dengan narapidana Uighur.
“Pemerintah China sempat ingin menyampaikan deal-deal barter dengan warga negara China di Indonesia dari suku Uighur,” katanya seraya menambahkan bahwa Pemerintah Indonesia menolak permintaan tersebut.
“Akhirnya mereka bisa memahami dan kemudian kembali malam ini Samadikun dan jajaran BIN akan kita terima dan langsung kita eksekusi,” lanjut Prasetyo.
Menurut rencana, Samadikun tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Kamis tengah malam. Dia segera dibawa ke kejaksaan untuk diperiksa. Selanjutnya, buronan itu akan dijebloskan di penjara Salemba.
Samadikun adalah mantan Komisaris Utama Bank Modern yang menyelewengkan dana BLBI dan memiliki utang sebesar Rp169,4 miliar. Ia kabur ke luar negeri sejak tahun 2003. Sebelumnya Mahkamah Agung menvonisnya empat tahun penjara.
Akan dikecam
Seorang pejabat yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, resiko dihadapi Indonesia bila mendeportasi tahanan etnis Uighur lebih berat, karena Indonesia akan dikecam dunia internasional.
“Mengembalikan tahanan Uighur ke China sama saja dengan membunuh mereka. Karena kemungkinan besar mereka langsung dieksekusi Pemerintah China,” ujarnya.
Pejabat itu menambahkan sebagai balasan dipulangkan Samadikun, Indonesia akan memberikan akses bagi Pemerintah China untuk bertemu para tahanan suku Uighur. Sebelumnya akses tersebut tidak pernah diberikan.
Selain keempat narapidana itu, terdapat tiga warga suku Uighur yang ditangkap pada akhir Desember 2015 dan awal Januari lalu. Seorang dari mereka ditangkap di Bekasi yang dikabarkan ingin dijadikan pengantin (pelaku bom bunuh diri) dan dua lainnya ditangkap di Bandung.
Warga Uighur yang beragama Islam tinggal di daerah Xinjiang. Mereka hidup di bawah tekanan dan persekusi Pemerintah Beijing. Sebagian warga Uighur menuntut pemisahan diri dari China dan ada yang melakukan perlawanan.
Abu Bakar Ba’asyir
Dalam keterangannya kepada wartawan, Luhut juga menyampaikan perkembangan tentang kondisi narapidana Abu Bakar Ba’asyir setelah dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pasir Putih di Nusa Kambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, ke Lapas Gunung Sindur di Bogor, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu.
“Tidak ada pelanggaran HAM. Yang kami lakukan kepada ABB (Abu Bakar Ba’asyir) adalah menegakkan aturan yang ada, tidak kita tambah, kita kurangi tapi tidak kita tambah,” kata Luhut sambil memperlihatkan kondisi sel yang ditempati Baasyir di penjara Gunung Sindur.
“ABB kita rawat pasti, silakan lihat foto-foto ini, kami beri fasilitas yang layak, jangan ada yang men-twist kalau kita melanggar HAM. Yang tidak kita benarkan kalau ABB memberikan tausiyah karena itu penyebaran radikalisasi,” tambahnya.
Ba’asyir merupakan pemimpin spiritual kelompok radikal Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dihukum 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 2011 karena terbukti mendanai kamp pelatihan jaringan teroris di pegunungan Jalin, Jantho, Kabupaten Aceh Besar, tahun 2010.
Saat ini, dia sedang menunggu keputusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung setelah persidangan yang menghadirkan beberapa saksi di PN Cilacap, bulan Februari lalu.