Polisi Tetapkan Aktivis Papua, Veronica Koman, sebagai Tersangka
2019.09.04
Jakarta

Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur telah menetapkan aktivis Papua, Veronica Koman, sebagai tersangka provokator insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, sementara Amnesty International mengecam penetapan tersebut sebagai ketidakpahaman pemerintah dalam menyelesaikan akar permasalahan Papua.
Veronica, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu dijerat pasal berlapis, salah satunya terkait dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) lantaran pernyataannya yang dipublikasikan melalui twitter dianggap sebagai provokasi.
"Ada narasi dia yang dibunyikan bahwa ada korban pemuda Papua yang terbunuh atau yang tertembak," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Dedi Prasetyo di Jakarta, Rabu, 4 September 2019.
"Kemudian adapula konten provokatif yang mengajak (Papua) merdeka dan sebagainya."
Selain dijerat UU ITE, polisi juga menyangkakan Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan keonaran dengan ancaman maksimal tiga tahun penjara.
"Ada beberapa jejak digital lain yang masih didalami (disebarkan) dari Jakarta dan beberapa lain dari luar negeri. Itu masih didalami laboratorium digital forensik," lanjut Dedi.
Keterangan pertama terkait penyematan status tersangka untuk pendamping hukum para mahasiswa Papua di Surabaya itu sebelumnya diutarakan Kepala Polda Jawa Timur, Irjen Pol Luki Hermawan dalam jumpa pers di Surabaya pada Rabu siang.
Veronica dijadikan tersangka setelah kepolisian memeriksa enam saksi dan tiga orang ahli. Ia sempat pula dua kali dipanggil, tapi tidak pernah hadir.
Polisi menduga Veronica kini tengah berada di luar negeri.
Kecaman Amnesty Internasional
Penetapan status tersangka atas aktivis hak asasi manusia itu mendapat kecaman dari organisasi Amnesty International.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam pernyataan pers menyatakan penetapan Veronica sebagai tersangka menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memahami permasalahan Papua.
“Akar masalah sesungguhnya adalah tindakan rasisme oleh beberapa anggota TNI dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian di asrama mahasiswa di Surabaya,” katanya.
Menurut Usman, jika tuduhan polisi bahwa Veronica ‘memprovokasi’, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah siapa yang telah terprovokasi untuk melanggar hukum akibat dari postingan Veronica di Twitter tersebut.
“Kriminalisasi Veronica akan membuat orang lain takut berbicara atau memakai media sosial untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran HAM terkait Papua,” katanya.
Jika ada informasi tidak akurat dari yang diberikan Veronica, tambah Usman, sebaiknya polisi memberikan klarifikasi bukan malah dengan mengkriminalisasinya.
“Polda Jawa Timur harus segera menghentikan kasus dan mencabut status tersangka Veronica Koman. Kepolisian Negara Republik Indonesia harus memastikan bahwa semua jajarannya menghargai kemerdekaan berpendapat di muka umum dan di media sosial dan tidak dengan mudah melakukan pengusutan jika ada laporan terkait kemerdekaan berekspresi di masa yang akan datang,” pungkas Usman.
Menanggapi penetapan tersangka Veronica, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto meminta semua pihak mengikuti proses yang berlangsung.
"Tuduhan itu tentu sudah hasil penyelidikan dan penyidikan. Biarkan berproses saja, tidak usah dibahas. Kalau salah akan dihukum. Kalau tidak, akan dibebaskan," kata Wiranto.
Juru bicara tim kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Suarbudaya Rahardian, mengatakan siap memberikan bantuan hukum meski sampai kini, ia belum mengetahui keberadaan Veronica.
"Saya baru mendengar infonya dari media. Tapi bisa jadi (memberikan pendampingan hukum). Kami akan mendiskusikan dengan yang lain terkait itu," kata Suarbudaya saat dihubungi.
Tersangka terkait Papua
BeritaBenar coba menghubungi Veronica terkait penetapan tersangka dirinya, namun tak beroleh balasan.
Walau berstatus tersangka, ia masih aktif mencuit informasi seputar Papua di akun twitternya, @VeronicaKoman.
Veronica (31) bahkan turut me-retweet kabar penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur.
Berurusan dengan aparat hukum sejatinya bukan kali pertama dialaminya.
Pada 2017, ia pernah dilaporkan seseorang bernama Kan Hiung setelah menyebut pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo lebih kejam ketimbang era Susilo Bambang Yudhyono.
Hal itu disampaikan Veronica saat berorasi dalam unjuk rasa menentang pemidanaan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama.
Belakangan kasus ini tak jelas muaranya di Polda Metro Jaya.
Dalam insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 2018, Veronica juga sempat berurusan dengan aparat setelah mengajak dua jurnalis luar negeri untuk meliput.
"Ia orang yang sangat aktif memberikan atau membuat provokasi di dalam maupun di luar negeri," kata Luki, menjabarkan sosok Veronica.
Selain Veronica, Polda Jawa Timur juga telah menetapkan dua tersangka terkait pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 – 17 Agustus lalu.
Sebelumnya, kepolisian telah menetapkan seorang aparatur sipil negara berinisial SA dan koordinator aksi di depan asrama mahasiswa Papua bernama Tri Susanti.
Keduanya yang kini ditahan di Polda Jawa Timur masing-masing dijerat ujaran kebencian terkait rasial dan penyebaran berita bohong.
Terkait kerusuhan di Papua dan Papua Barat, polisi telah menetapkan 68 orang sebagai tersangka dengan jerat beragam, mulai dari dugaan melakukan perusakan, pembakaran, penghasutan di muka umum, pencurian dengan kekerasan, kepemilikan senjata tajam, dan makar.
Sementara di Jakarta, polisi juga menetapkan enam aktivis Papua sebagai tersangka karena mengibarkan bendera Bintang Kejora ketika berlangsung unjuk rasa di depan Istana Kepresidenan, pekan lalu.