Kemlu Selidiki Video 4 Nelayan Indonesia Meminta Pertolongan dari Kapal Cina
2020.08.26
Jakarta

Kementerian Luar Negeri pada Rabu (26/8), mengatakan akan menyelidiki kasus video yang menampilkan permohonan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia untuk segera diselamatkan dari kapal penangkap ikan berbendera Cina yang beredar di media sosial pada Selasa malam.
Video berdurasi satu menit yang tayang melalui akun Instagram milik @indonesia.militer tersebut menampilkan pengakuan empat orang kru kapal Indonesia yang kerap dipaksa bekerja hingga 20 jam per hari dan terkadang tanpa diberi makan.
Keempatnya diketahui bekerja di kapal Liao Yuan Yu 103 berbendera Cina.
“Kami telah menerima informasi berupa video mengenai empat ABK WNI yang bekerja di kapal ikan RRT Liao Yuan Yu 103. Mereka mengaku tidak menerima gaji, jam kerja yang berlebihan, makanan tidak memadai dan mengalami kekerasan,” kata Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Joedha Nugraha, kepada jurnalis, Rabu.
Joedha mengatakan pihaknya telah menghubungi perusahaan perekrut, PT Raja Crew Atlantik (RCA), sebagaimana tercantum dalam video pengaduan tersebut, namun hingga saat ini belum menerima tanggapan dari pihak perusahaan.
Kemlu juga tengah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan yang mengeluarkan perizinan penempatan pekerja kapal Indonesia ke luar negeri, tambah Joedha.
“Kami juga telah berkoordinasi dengan KBRI Beijing untuk meminta konfirmasi otoritas Tiongkok dan pihak pemilik kapal,” kata Joedha.
“Kami akan terus mencoba menghubungi pihak yang mengunggah pertama kali informasi video tersebut ke sosmed (sosial media) untuk mendapatkan informasi lebih detail,” tambahnya.
Keempat pekerja di video itu -- Sukarto asal Jawa Tengah, Irgi Putra Jayanti dan Galih Ginanjar asal Jawa Barat, Putra A Napitupulu asal Sumatra Utara -- meminta otoritas Indonesia segera memulangkan mereka dari kapal yang diduga tengah berlayar di sekitar Samudera Pasifik tersebut.
“Dada kami dipukul, perut kami ditendang, kami tidur hanya 4-5 jam dan kerja sampai 20 jam. Kurang tidur makan tidak tenang, Pak. Tidak kerja ya tidak dikasih makan,” sebut salah satu pekerja tanpa memberi keterangan detail siapa yang memukul mereka.
Mereka mengaku sudah berada di laut selama sepuluh bulan dan kontrak kerja mereka baru akan berakhir pada November 2021.
“Selama di sini tidak pernah bersandar, kalau nunggu sampai nyandar kami ngga tahan, kami bisa mati di sini,” kata mereka, seraya menambahkan, “yang paling parahnya lagi kami nggak digaji, Pak.”
Berdasarkan data International Maritime Organization (IMO), Liao Yuan Yu 103 adalah kapal yang dimiliki Liaoning Kimliner Ocean yang bermarkas di Dalian, Provinsi Liaoning, Cina.
Sementara menurut catatan Kementerian Perhubungan, PT RCA tidak terdaftar sebagai salah satu perusahaan perekrut yang legal.
Investigasi Menyeluruh
Koordinator Destructive Fishing Watch, Mohammad Abdi Suhufan, meminta pemerintah untuk segera melakukan investigasi dan meminta keterangan terkait kasus ini kepada manning agent yang memberangkatkan.
“Harus ditemukan solusi yang adil dan tidak merugikan pekerja, keselamatan mereka juga harus terjamin,” kata Abdi kepada BenarNews, Rabu.
Abdi mengatakan, video tersebut juga dikirimkan kepada pusat pelaporan Fisher Center yang dimiliki lembaganya untuk melaporkan kegiatan pekerja di laut.
Abdi menduga video tersebut berhasil dikirim oleh kru ketika kapal sedang melewati atau melintasi daratan yang masih ada sinyal. Abdi dan timnya juga telah mencoba menghubungi para nelayan tersebut namun tidak berhasil tersambung.
“Mereka mengirimkan informasi saat kapal berada di dekat daratan. setelah itu kapal menjauh dan hilang sinyal mereka tidak bisa dikontak lagi, kemungkinan provider mereka bisa digunakan di luar negeri,” ujar dia
Dari catatan yang dimiliki lembaganya, keempat nelayan diduga telah bekerja sejak 6 November 2019 dengan gaji yang dijanjikan mencapai U.S.$300 per bulan atau sekitar 4,3 juta Rupiah.
“Semestinya mereka telah menerima gaji sebanyak U.S$2.400, tapi biasanya jumlah tersebut mengalami pemotongan oleh agent untuk biaya perekrutan dan pemberangkatan sebesar U.S.$700,” kata Abdi.
Dalam kunjungannya ke Cina, minggu lalu, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menegaskan kembali tuntutan Indonesia agar Beijing memastikan keamanan anak buah kapal Indonesia saat bekerja di kapal penangkap ikan Cina.
“Saya menekankan bahwa isu ini sudah bukan merupakan isu antara swasta, namun pemerintah sudah harus terlibat untuk memastikan bahwa pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan ini tidak terjadi di masa mendatang,” kata Retno.
Retno mengatakan dia juga meminta bantuan hukum dalam menghadirkan saksi warga negara Tiongkok dan investigasi transparan untuk tuduhan perdagangan manusia di kapal Long Xing 629.
“Dan permintaan ini ditanggapi positif oleh State Councilor dan Menteri Luar Negeri Cina,” tambahnya.
Juru bicara Kemlu, Teuku Faizasyah, menolak menyatakan bahwa pemerintah hanya fokus pada penyelesaian kasus di Long Xing 629 saja dan menegaskan semua kasus kekerasan dan kematian nelayan Indonesia di atas kapal Cina yang telah merenggut setidaknya 16 jiwa sejak November 2019, akan diperjuangkan penanganannya oleh pemerintah.
“Kemlu selalu memintakan perhatian pemerintah Cina atas kasus-kasus yang menyebabkan ABK kita meninggal. Menlu RI juga mengangkatnya secara langsung dalam pertemuan bilateral dengan Menlu Cina,” kata Faizasyah kepada BenarNews.
Satu Hilang
Sementara itu, DFW Indonesia menerima pengaduan atas hilangnya nelayan Indonesia yang bekerja di kapal Cina atas nama Apriesa Catur Gumilang.
Catur diketahui direkrut dan diberangkatkan oleh PT Samuel Jaya Maritim untuk bekerja di kapal Lu Xing Yuan Yu 117 sejak September 2019, dengan kontrak selama dua tahun.
“Perwakilan perusahaan menemui keluarga korban dan menyampaikan surat keterangan nakhoda kapal bahwa korban atas nama Apriesa Catur Gumilang dinyatakan hilang ketika kapal sedang melakukan operasi penangkapan ikan di Samudera Hindia,” kata Abdi.
Abdi mengatakan sampai saat ini, keluarga korban berharap pemerintah untuk melakukan segala upaya dalam mencari korban. Keluarga juga menuntut perusahaan perekrut untuk memenuhi hak-hak korban.
Dalam kronologi yang dilampirkan pihak perusahaan dan diterima DFW Indonesia, Apriesa diduga dilaporkan terpeleset ke laut pada 1 Agustus 2020. Para kru kemudian menyadari Apriesa hilang saat salah satu temannya menyadari kalau ia tidak muncul saat sarapan.
Upaya pencarian dilakukan hingga 3 Agustus namun dihentikan karena tak kunjung menemukan hasil. Surat tersebut ditandatangani kapten kapal serta 6 orang kru lainnya.
“Pihak agen perlu diminta keterangan untuk verifikasi informasi atas kejadian ini,” tukas Abdi.
Pihak Kemlu belum memberikan keterangan apapun terkait insiden ini.