Visa Wartawan Perancis Ditolak, Janji Jokowi untuk Papua Dipertanyakan

Victor Mambor
2016.01.13
Jayapura
payen-620 Cyril Payen saat bekerja membuat film dokumenternya di Terminal Mesran, Kota Jayapura, pada bulan Juli 2015.
BeritaBenar

Janji Presiden Joko Widodo bulan Mei lalu bahwa wartawan asing bebas masuk Papua dipertanyakan setelah permohonan visa seorang jurnalis Perancis, Cyril Payen, untuk meliput ke Papua ditolak.

Kepada BeritaBenar, Payen mengaku mendapatkan kabar tentang penolakan visanya pada hari Jumat 8 Januari lalu. Permohonan visa itu diajukannya pada bulan Desember 2015. Dia mengaku belum tahu alasan penolakan itu.

Namun dia mengatakan penolakan dikeluarkan setelah televisi Perancis tempatnya bekerja, France 24, menyiarkan liputan dokumenternya “The Forgotten War in Papua” pada bulan Oktober 2015. Program itu membahas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Cyril juga menambahkan pada bulan November lalu Duta Besar Perancis di Jakarta dipanggil oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI untuk membicarakan laporan dokumenter yang dibuatnya.

"Tidak ada pernyataan resmi dari Jakarta. Tetapi pejabat Departemen Luar Negeri Indonesia memanggil Duta Besar Perancis untuk Indonesia pada awal November berkaitan dengan film dokumenter tentang Papua yang saya buat. Mereka (pejabat kemlu RI) tidak senang dengan isi film itu. Tapi dubes Perancis mengatakan saya tidak melanggar peraturan apapun karena saya punya visa jurnalis untuk meliput di Papua," jelas Payen.

Saat ini, lanjut Payen, France 24 sedang dalam pembicaraan dengan Kemlu Perancis. Pemerintah Perancis berencana menanyakan hal ini kepada dubes Indonesia di Paris.

“Pernah salah gunakan visa”

Sementara itu ketika dikonfirmasi BeritaBenar, juru bicara Kemlu RI Arrmanatha Nasir menduga bahwa permohonan visa Payen ditolak karena sebelumnya dia pernah menyalahgunakan visa, namun dia tidak bisa menjelaskan lebih rinci.

"Saya pernah dengar, dulu dia pernah masuk ke Indonesia tapi dia menyalahgunakannnya karena apa yang dia lakukan tak sesuai dengan apa yang ada di visa. Mungkin gara-gara itu juga," tukasnya.

Payen, koresponden yang tinggal di Bangkok ini mengatakan sebelumnya dia tidak mendapat masalah ketika membuat program dokumenter itu di Papua pada bulan Juli 2015. Selama berada di sana, ia meliput di Jayapura, Tolikara dan Wamena.

Dia mengatakan visa jurnalis untuk meliput di Papua tahun lalu itu didapatnya hanya dalam waktu satu minggu. Permohonan visa kali ini ditolak sebulan setelah dia ajukan.

Jokowi dituding ingkar janji

Penolakan visa Cyril Payen ini memicu kecaman dari para aktivis HAM dan kebebasan pers di Papua. Mereka mempertanyakan janji Presiden Jokowi agar wartawan asing boleh bebas masuk dan meliput di Papua.

"Jokowi tidak konsisten dengan pernyataannya sendiri. Selama yang ditulis oleh wartawan asing adalah fakta, kenapa harus dipersulit dan ditutup-tutupi? Tindakan seperti ini semakin jelas menunjukan bahwa pemerintah Indonesia sedang berusaha untuk menutupi fakta pelanggaran HAM di Papua kepada dunia internasional," kata Yuliana Langowuyo, Direktris Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua.

Pada awal bulan November lalu, 10 Organisasi yang tergabung dalam International Partnership Mission to Indonesia 2015 datang ke Jayapura, Papua untuk meninjau perubahan kebebasan pers pasca janji Presiden Jokowi.

Tetapi mereka mengatakan hanya berhasil bertemu dengan kelompok masyarakat sipil saja. Permohonan bertemu dengan pimpinan militer dan polisi ditolak.

“Permohonan audiensi yang kami ajukan kepada Kapolda dan Pangdam ditolak. Padahal kami ingin berdiskusi dengan mereka tentang pandangan mereka terhadap perubahan yang terjadi sejak Presiden Jokowi mengumumkan terbukanya akses buat jurnalis asing ke Papua,” kata Sumit Galhotra, perwakilan Commite to Protect Journalists (CPJ) dalam International Partnership Mission to Indonesia 2015.

Warga sipil “diintimidasi”

Seorang penunjuk rasa diangkut dalam truk polisi di Jakarta setelah polisi menyemprotkan gas air mata kepada para demonstran yang berunjuk rasa terhadap pemerintah Indonesia atas pemenuhan hak asasi manusia di Papua, 1 Desember 2015. (AFP)

Pihak Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mencatat, sebelum insiden penolakan permohonan visa Payen ini ada dua warga sipil yang diinterogasi karena membantu wartawan Perancis lainnya, Marie Dhumieres untuk terbang ke Okhika, Pegunungan Bintang, untuk meliput pelantikan anggota KNPB.

Warga bernama Bano Kalaka dan Nodi Hilka, bersama seorang anggota KNPB Agus Kosay dimintai keterangan oleh aparat keamanan dan imigrasi di kantor maskapai penerbangan Associated Mission Aviation (AMA) Oktober lalu karena membantu membelikan tiket pesawat untuk Marie Dhumieres.

"Apa hubungannya warga sipil itu dengan apa yang dilakukan Marie? Mereka hanya membelikan tiket karena Marie tidak bisa bahasa Indonesia,” kata Bazoka Logo, juru bicara KNPB.

Sehari setelah Dhumieres terbang, lanjut Logo, AMA memaksa Agus Kossay untuk membawa jurnalis Perancis  itu ke kantor AMA. Namun keterangan Logo ini dibantah oleh Direktur AMA Djarot Soetarto saat itu. Djarot mengaku tidak ada penahanan dan tidak mengenal Agus Kossay.

Hak negara untuk menolak

Juru bicara  Kemlu RI Arrmanatha Nasir membantah tudingan bahwa penolakan permohonan visa Payen menunjukkan Presiden Jokowi ingkar janji soal kemudahan izin masuk wartawan asing ke Papua.

"Ini alasan teknis saja. Lagipula, adalah hak kedaulatan suatu negara untuk menolak pemberian visa kepada seseorang tanpa membuka alasan penolakannya," ujar Arrmanatha.

Dia pun merujuk kepada kasus deportasi aktivis HAM Indonesia, Mugiyanto Sipin, minggu lalu dari Malaysia.

"Kalau Anda pernah dengar, beberapa waktu lalu ada aktivis Indonesia yang ditolak masuk ke Malaysia? Kasus serupa terkait Cyril Payen," tukasnya.

Presiden Jokowi mengumumkan jurnalis asing bebas masuk ke Papua dalam kunjungannya ke Papua bulan Mei lalu. Pengumuman tersebut sempat memberikan harapan bagi aktivis HAM dan kebebasan pers di Papua dimana akses ke Papua sebelumnya sangat terbatas bagi jurnalis asing selama lebih dari empat dekade. Setelah pengumuman tersebut 17 jurnalis asing telah masuk ke wilayah provinsi paling timur Indonesia itu. Delapan diantaranya datang sebagai jurnalis untuk liputan independen, sedangkan sembilan jurnalis lainnya adalah peserta Journalist Visit Program (JVP) 2015 yang digelar oleh kemlu.

Victor Mambor, koresponden untuk BeritaBenar sejak September 2015,  adalah juga ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua.

Arie Firdaus ikut memberikan kontribusi dalam artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.