Walhi Prediksi Kebakaran Lahan akan Masif di Papua
2017.08.09
Zahara Tiba

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memprediksi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akan merembet dan masif ke provinsi-provinsi di timur Indonesia, terutama Papua, dengan pembukaan perkebunan-perkebunan besar di wilayah yang memiliki banyak lahan gambut itu.
Zenji Suhadi, Kepala Departemen Kajian Pembelaan dan Hukum Lingkungan Walhi menyampaikan kekhawatirannya tersebut saat menggelar unjuk rasa terkait karhutla di Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2017.
“Buktikan jika kami salah. Papua akan sangat masif dua tiga tahun ke depan karena proses kanalisasi,” katanya, merujuk pada pembuatan kanal-kanal untuk mengeringkan lahan gambut yang bersifat mudah terbakar, untuk diubah menjadi lahan tanaman industri.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Senin, 7, Agustus 2017, menunjukkan terdapat 158 titik api di 18 provinsi, dimana 93 di antaranya terdeteksi di Papua.
“Pembabatan hutan masif dan memboncengi keamanan perbatasan, agar perusahaan sawit dan hutan tanam industri berbagi kavling di kawasan perbatasan,” tambah Zenji.
Menurut Zenji, pihak korporasi akan bekerja sama dengan oknum di daerah agar lahan milik masyarakat diusulkan jadi kawasan hutan negara, kemudian diusulkan penerbitan izin hutan tanaman industri (HTI).
Zenji memperkirakan ada hubungan antara karhutla dan peta industri kehutanan Indonesia, terutama hutan produksi, dimana sekitar 20 juta hektar lahan dapat dimanfaatkan hingga tahun 2025.
“Nah, 20 juta hektar diambil dari wilayah timur. Bagaimana mereka mengambilnya? Mereka memboncengi proses tata ruang daerah,” ujarnya.
Walhi melihat upaya konversi kawasan hutan menjadi dasar legalisasi kejahatan lingkungan di Indonesia, dan menilai korporasi sebagai dalang karhutla.
Jika pemerintah tidak tegas dalam moratorium konsesi lahan yang sudah diteken Presiden Joko “Jokowi” Widodo, April 2016, karhutla dipastikan terus terjadi dan meluas ke daerah-daerah lain.
“Mereka beralasan kekurangan bahan baku, sehingga jadi argumentasi untuk mengajukan penerbitan izin baru,” ujar Zenji.
“Kami mendesak pemerintah jangan menjadi tukang cuci piring, artinya dimana ada api baru dipadamkan. Lihat skenarionya mulai dari korporasi supaya terhenti.”
Walhi menyesalkan keluarnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tentang landswap atau penggantian lahan usaha, karena konsesi perusahaan di kawasan lindung tak dicabut.
“Kebijakan landswap bukan untuk melindungi gambut, tetapi jadi legitimasi bagi korporasi hutan tanam industri mendapatkan bahan baku dari hutan alam yang terpisah. Ini yang kami sebut kejahatan itu direncanakan,” tegas Zenji.
Komit moratorium
Djati Witjaksono, Kepala Biro Humas Kementerian LHK ketika dikonfirmasi BeritaBenar, Rabu, mengatakan pemerintah masih komit menjalankan Instruksi Presiden No. 6 tahun 2017 tentang penundaan dan penyempurnaan tata kelola pemberian izin baru utama alam primer dan lahan gambut.
“Kami tentu tidak akan memberikan izin pelepasan kawasan atau fungsi kawasan dari hutan primer ke kegiatan lain, selain mungkin untuk kepentingan umum,” ujarnya.
“Harus kita jaga dan lestarikan karena memulihkan lebih susah daripada melindungi supaya tidak rusak. Kalau ada permohonan-permohonan di daerah tersebut pasti akan ditolak.”
“Harus ada pengkajian, dikeluarkan dari kawasan lokasi usaha, dan dicarikan alternatifnya. Memang bukan memecahkan masalah, tapi mereka sudah membayar retribusi waktu mendapatkan izin,” jelas Djati yang mengaku tak bisa memprediksi jika karhutla akan merembet ke Indonesia bagian timur.
Menurutnya, berdasarkan data yang dihimpun kementeriannya, titik api di Papua bukan berarti karhutla langsung mengarah ke sana.
“Kami instruksikan semua gubernur untuk memantau aktivitas usaha untuk tidak melakukan pembakaran di masing-masing daerah, terutama masyarakat,” ujar Djati.
Dia meyakini tahun ini kebakaran hutan tidak separah sebelumnya, terutama tahun 2015 – dimana terjadi bencana kabut asap ke beberapa negara tetangga dan Indonesia mengalami kerugian Rp221 triliun.
“Tahun 2014 kan 21.000 titik api, tahun 2015 sebanyak 70.971, tahun 2016 ada 3.900. Dari (pindaian satelit) TerraAqua sampai kemarin itu 334 titik api. Jadi sangat jauh sekali,” papar Djati.
Diminta waspada
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menyatakan selama ini karhutla hanya terjadi di Sumatera dan Kalimantan, khususnya di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
“Kebakaran hutan dan lahan di Papua harus diwaspadai. Peningkatan jumlah hotspot tidak terlepas dari pembukaan perkebunan besar-besaran di Papua. Jenis tanah terbakar adalah tanah gambut dan mineral,” ujarnya dalam siaran pers, Senin.
Berdasarkan pantauan citra satelit, lanjut Sutopo, perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan berlangsung cukup cepat dan luas di Papua.
“Memang dampak lingkungan yang ditimbulkan tidak separah di Sumatera dan Kalimantan, namun tetap perlu dilakukan upaya pencegahan agat tidak berulang dan meluas. Hutan dan keanekaragamam hayati di Papua perlu dipertahankan agar tidak mudah dikonversi menjadi penggunaan lain dan tidak terbakar,” tukas Sutopo.
Musim kemarau masih akan berlangsung hingga Oktober, dengan puncaknya diperkirakan pada September sehingga potensi kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan meningkat.
Sebelumnya, lima provinsi telah menetapkan status siaga darurat karhutla yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
Menurut Sutopo, titik api berada di lahan perkebunan swasta, milik masyarakat dan taman nasional. BNPB mengerahkan 18 helikopter pemboman air untuk melakukan pemadaman.