Pegiat HAM Kecam Rencana Razia LGBT yang Diusulkan Wali Kota Depok
2020.01.15
Jakarta

Pegiat hak asasi manusia (HAM) mengecam rencana pemerintah Depok di Jawa Barat yang hendak merazia rumah kos dan apartemen untuk mencegah penyebaran perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Kebijakan yang digagas Wali Kota Depok Mohammad Idris itu merupakan buntut kasus Reynhard Sinaga, warga negara Indonesia yang dihukum seumur hidup oleh Pengadilan Manchester, Inggris, usai terbukti terlibat dalam 159 kasus perkosaan dan serangan seksual terhadap korban pria.
“Seruan dari walikota Depok untuk penggerebekan menyasar kaum LGBT memperlihatkan bahwa krisis anti-LGBT di Indonesia adalah kepanikan moral yang dimotori pemerintah,” demikian Kyle Knight, peneliti senior hak LGBT di organisasi Human Rights Watch, dalam respons tertulisnya kepada BeritaBenar, Rabu (15/1/2020).
Ia menambahkan pihak berwenang di tingkat nasional, termasuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam empat tahun terakhir ini telah gagal mencegah berlanjutnya diskriminasi atas kelompok minoritas tersebut.
“Pejabat di Indonesia sangat menyadari bahwa orientasi seksual dan kekerasan seksual tidak berkaitan – jadi tuduhan (kepada LGBT) tidak lebih dari eksploitasi terhadap sentimen publik untuk kepentingan politik,” tambah Kyle.
Pandangan ini menegaskan apa yang disampaikan oleh salah seorang perwakilan Komisi Nasional (Komnas) HAM, Beka Ulung Hapsara, yang mengatakan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 1992 telah menghapus orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiwaan dan diadopsi Indonesia lewat Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa, setahun berselang.
Sehingga ia menyatakan bahwa pemerintah semestinya memberikan perlindungan kepada semua semua warga, tanpa memandang orientasi seksual dan identitas gender.
Komnas HAM juga telah meminta Wali Kota Depok membatalkan rencana razia yang mereka sebut diskriminatif itu.
Pusat krisis
Dalam pernyataannya, Wali Kota Mohammad Idris beralasan rencana razia itu dilakukan demi melindungi wilayahnya dari kasus seperti Reynhard Sinaga. Sebelum dihukum di Inggris, Reynhard memang sempat menetap bersama orang tuanya di Depok, Jawa Barat.
"Fungsinya guna mempermudah komunikasi dan pengendalian penghuni kos atau apartemennya,” ujarnya dalam pernyataan yang dimuat di situs resmi pemerintah kota Depok.
Idris menambahkan bahwa pemerintahannya juga akan membuka pusat krisis bagi korban kekerasan seksual di Depok dan melakukan upaya pencegahan perilaku kekerasan seksual sesama jenis.
“Peningkatan upaya pencegahan ini guna memperkuat ketahanan keluarga, khususnya perlindungan terhadap anak,” katanya, “secara kehidupan sosial dan moralitas semua ajaran agama, pasti mengecam perilaku LGBT.”
Pusat krisis itu nantinya akan berisi lembaga-lembaga daerah terkait, seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Mereka yang kedapatan berperilaku LGBT, terang Idris, nantinya bakal dibawa Satpol PP ke pusat krisis untuk selanjutnya "dibina" secara agama.
Namun para pegiat HAM melihat keputusan pemerintah Depok ini sebagai sewenang-wenang dan berbahaya.
"Menurut saya itu akan memicu persekusi karena kita hidup di masyarakat yang demokrasinya masih berkembang," kata pegiat LGBT dari Gaya Nusantara, Dede Oetomo, kepada BeritaBenar.
"Rencana itu hanya menunjukkan bahwa wali kota Depok minim pengetahuan soal seksualitas,” tambahnya.
Pun, Ombudsman yang menyebut rencana razia oleh pemerintah Depok dapat dikategorikan sebagai penyelewenangan kekuasaan.
"Kalau mau mencegah kekerasan seksual, seharusnya berlaku kepada siapa saja, bukan kelompok tertentu," ujar anggota Ombudsman Ninuk Rahayu, dikutip situs berita Tirto.
Sasaran diskriminasi
Kecuali di Aceh, provinsi satu-satunya di Indonesia yang menerapkan hukum syariah dimana pasangan sesama jenis berisiko dihukum cambuk, peraturan di Indonesia tidak mengkriminalisasi keberadaan LGBT.
Namun demikian kelompok minoritas yang secara historis telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, dalam beberapa tahun belakangan ini terus menjadi sasaran diskriminasi.
Menurut catatan HRW, diskriminasi terhadap LGBT bermula pada 2014 atau sejak pemberlakuan aturan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat di Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak itu pula, kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di HRW, bermunculan peraturan-peraturan serupa di daerah-daerah lain.
Selain Aceh, kata Andreas, terdapat 22 aturan lain di seluruh Indonesia yang berpotensi mendiskriminasi kelompok LGBT.
"Di level provinsi ada Sumatra Barat. Level nasional ada di Undang-Undang Pornografi Nomor 8 Tahun 2008 yang mendefinisikan homoseksual sebagai pornografi. Sisanya peraturan daerah tingkat dua (kabupaten/kotamadya)," ujar Andreas.
Kota Pariaman di Sumatra Barat, mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) pada November 2018 yang memidana kaum LGBT bila dianggap mengganggu ketertiban umum.
Pemerintah Depok pun pernah mengajukan rencana Perda Juli tahun lalu, tapi ditolak DPRD setempat dengan alasan beleid itu dapat memicu aksi main hakim sendiri.
Organisasi yang berfokus pada pemenuhan hak LGBT, Arus Pelangi, dalam keterangan pada September tahun lalu mencatat setidaknya terdapat 1.850 korban persekusi terhadap LGBT sejak 2006 hingga 2018.
Banyaknya kasus persekusi ini, terang Arus Pelangi, dipicu oleh masifnya ujaran kebencian oleh tokoh masyarakat, termasuk pimpinan agama, aparat penegak hukum, eksekutif, dan legislatif. Salah satunya adalah pelarangan LGBT untuk mengikuti tes calon pegawai negeri sipil 2019 di Kejaksaan Agung.