Wapres: Dunia Islam Harus Bersatu Hadapi Radikalisme
2016.05.09
Jakarta

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menyebutkan bahwa untuk mengatasi masalah radikalisme dan terorisme yang marak selama ini maka diperlukan persatuan dunia, khususnya di antara negara-negara Muslim.
“Dunia banyak lakukan konferensi seperti ini, jadi apabila semua masalah dapat diselesaikan dengan konferensi, saya pikir mudah masalahnya,” katanya dalam sambutan saat membuka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Internasional Islam Moderat atau International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) di Jakarta, Senin, 9 Maret 2016.
“Namun masalah-masalah di dunia Islam tidak semudah menyelesaikannya di dunia konferensi. Tapi butuh persatuan dan kekuatan kita semuanya,” tambah Kalla.
Keberadaan umat Islam di dunia yang mencapai 1,6 miliar orang dan tersebar di 57 negara seharusnya dapat menjadi kekuatan untuk menyebarkan kebaikan Islam.
Terlebih lagi kebanyakan negara Islam diberi kekayaan alam, khususnya minyak dan gas. Dengan begitu, potensi itu harus dapat digunakan sebaik-baiknya dan bukannya menimbulkan perpecahan di antara umat Islam.
"Tentu kita semua menginginkan negara Islam moderat, yang memberikan tujuan bagi kita semua karena Islam sebagai agama memberikan rahmat, kebaikan dan mempersatukan seluruh umatnya. Itulah tujuan dan cita-cita kita semuanya," ujar Kalla.
KTT internasional yang digagas para tokoh ulama Nahdlatul Ulama (NU) dihadiri oleh sedikitnya perwakilan 33 negara sahabat dan para duta besar negara-negara Islam itu bertujuan untuk menciptakan perdamaian, terutama di kawasan Timur Tengah.
Beberapa tahun terakhir, dunia kerap diperlihatkan dengan perpecahan, pemboman, perang dan konflik di berbagai negara Islam. Kalla berharap warga dunia bisa lebih menghargai perbedaan.
“Dari segi perbedaan itu kita harapkan persatuan, bukan perpecahan. Hanyalah dengan paham yg saling menghargai dapat mempererat kita semua,” tegasnya.
Gagal bertransisi
Menurut Wapres, radikalisme timbul selalu berasal dari negara Islam yang gagal bertransisi politik seperti Afganistan yang identik dengan Al-Qaeda, atau Irak dan Suriah dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
“Kehancuran negeri itu menyebabkan timbullah masa depan yang gelap daripada masyarakatnya, timbullah kekhawatiran, timbullah ketakutan dan kemarahan. Itulah awal daripada radikalisme yang kemudian menjadi terorisme,” ujarnya.
Ia menambahkan kegagalan negara-negara tersebut karena pemerintahan otoriter dan tindakan pemimpin yang tak menghargai rakyatnya. Selain itu karena tindakan diskriminatif dan tekanan negara besar ke Timur Tengah dengan alasan demokrasi.
“Afghanistan diserang oleh Rusia, Irak oleh Amerika dan para sekutunya tanpa alasan yang jelas. Begitu juga dengan Libya,” tutur Kalla.
Hal tersebut menyebabkan kemarahan segelintir orang pada nasib sesama umat yang dihancurkan banyak pihak. Tak kalah menyedihkan, konflik menyebabkan perpecahan bersaudara.
“Saling menyerang dan menghancurkan satu sama lain. Terlalu banyak yang dikonflikkan mulai dari ideologi, energi, pemerintahan, demokrasi,” katanya.
Dia menambahkan bahwa yang tak kalah menakutkan adalah radikalisme hingga berujung pada tindakan terorisme seperti tren bunuh diri di kalangan anak muda dengan tujuan masuk surga.
“Biasanya anak-anak muda yg selama ini tidak mengenal masjid dan gereja, mencari jalan pintas untuk masuk surga dengan cara membunuh satu sama lain,” imbuhnya.
“Kenapa itu terjadi bunuh diri? Paham apa yg menyebabkannya? Inilah yang harus disamakan pemahamannya. Persoalannya siapa yang mengajari bahwa dengan membunuh satu sama lain akan masuk surga? Di situlah tugas para ulama dan pemimpin meluruskan masalah ini.”
Pionir
Sedangkan, Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siradj menyatakan bahwa sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, Indonesia harus menjadi pionir dalam membentuk persepsi Islam yang damai.
“Di Indonesia, kita harus satu persepsi tentang Islam yang aman, damai dan berkemanusiaan. Baru kita bicara lantang di luar negeri atau di PBB," ujarnya.
Ia menjelaskan, selama ini banyak negara Timur Tengah tidak mengenal prinsip kebangsaan karena dianggap konsep barat yang sekuler. Padahal NU menerapkan konsep agama dan kebangsaaan sebagai rasa nasionalisme sejak zaman penjajahan.
“Menurut orang Timur Tengah, Islam menolak cinta tanah air. Oleh karena itu Timur Tengah harus mengubah cara pandang politik. Konflik yang terjadi di Timur Tengah tidak akan selesai jika belum ada titik temu antara prinsip agama dan negara,” paparnya.
Meneladani pemikiran KH Hasyim Asyari tokoh pendiri NU, Siradj mengatakan kesatuan agama dan rasa nasionalisme adalah fondasi kokoh dalam menghadapi berbagai macam tantangan bangsa seperti kebodohan, keterbelakangan, dan perpecahan bangsa.
“Menegakkan agama dan nasionalisme merupakan satu kewajiban bagi mereka yang merasa mempunyai iman,” ujar Siradj menirukan ungkapan Asyari.
Ketua KTT Internasional Islam Moderat, KH Ma'ruf Amin, mengatakan pertemuan itu berperan penting untuk menjaga dakwah moderat di tengah munculnya kelompok-kelompok ekstrimis.
Konferensi selama tiga hari itu juga sekaligus untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam penyelesaian masalah radikalisme dan terorisme.