Warga Bali Keluhkan Dampak PLTU Celukan Bawang
2018.05.24
Buleleng

Rumah Qomaruddin (45), tempat dia tinggal bersama istri dan dua anaknya, kini seolah terkepung. Di timur, berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang. Di barat, sedang berlangsung pembangunan tahap kedua PLTU berbahan bakar batu bara itu.
Di sebelah utara, ada pantai yang sebagian lahan telah diratakan. Untuk masuk ke kebun kelapa di mana Qomaruddin tinggal dari arah selatan, harus lewat lahan yang juga sudah rata, tanpa ada sedikit pun pohon.
Satu rumah yang masih berdiri di lahan itu justru berisi sekitar lima tentara berpakaian dinas dan Satpam.
“Katanya mereka berjaga-jaga, biar tidak ada maling. Selama mereka tidak mengganggu saya dan keluarga, ya biarkan saja,” katanya kepada BeritaBenar, Kamis, 10 Mei 2018.
Qomaruddin merupakan salah satu warga Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Desa ini berjarak sekitar 50 km dari Singaraja, ibu kota kabupaten di pesisir utara Bali.
Kebun kelapa di mana dia tinggal bersama satu keluarga lain adalah sisa sebagian lahan yang sudah beralih kepemilikan. Tetangga sudah menjualnya ke pengelola PLTU Celukan Bawang, PT General Energy Bali (GEB).
“Saya memang tidak akan menjualnya ke PLTU Celukan Bawang,” kata Ketut Mangku Wijana, pemilik kebun kelapa di mana Qomaruddin tinggal.
Qomaruddin bekerja dan tinggal di kebun kelapa seluas 3,5 hektar milik Mangku sejak 18 tahun lalu. Selama itu pula dia merasa baik-baik saja dengan kesehatannya.
Namun, sejak tiga tahun terakhir, dia mulai merasakan banyak hal berubah lebih buruk.
“Anak saya lebih sering sakit kepala setelah ada PLTU (Celukan Bawang),” katanya.
Banyak dampak
PLTU Celukan Bawang beroperasi sejak 2015, yang didirikan dengan tujuan untuk mengantisipasi masalah kekurangan pasokan listrik di Pulau Dewata itu, menghasilkan listrik 426 megawatt.
Investasinya sekitar 700 juta dollar AS pinjaman dari Bank Pembangunan China (CDB).
Dalam pengoperasiannya, PLTU ini setidaknya menggunakan 5.200 ton batu bara per hari.
Penggunaan bahan bakar batu bara yang membuat biaya produksi relatif lebih murah, ternyata harus dibayar mahal oleh masyarakat di sekitarnya.
Qomaruddin menyebutkan, setelah beroperasinya PLTU Celukan Bawang, keluarganya makin sering sakit, terutama asma dan sakit kepala.
Penggunaan batu bara, menurut Mangku, juga berdampak terhadap menurunnya hasil panen kelapanya. Sebelum ada PLTU, setiap dua bulan dia bisa panen kelapa 9.000 – 10.000 butir.
Saat panen terakhir tiga minggu lalu, dia hanya bisa mendapat sekitar 3.000 butir kelapa.
“Sekarang hancur sama sekali. Kelopak bunga banyak yang mati,” ujarnya.
Mangku menuding, PLTU Celukan Bawang penyebab rusaknya pohon-pohon kelapa di kebunnya. Dia sudah memeriksa, tak ada pohon yang terkena hama. Di kebunnya yang lain, berjarak sekitar 1 km dari PLTU Celukan Bawang, baik-baik saja.
I Putu Ardiasa, warga lain, juga mengeluhkan dampak PLTU Celukan Bawang. Menurut nelayan ini, setelah ada PLTU, jumlah ikan tangkapannya jauh berkurang.
“Mungkin 60 persen berkurangnya,” katanya.
Ardiasa mengatakan, kapal tongkang pengangkung batu bara telah merusak rumpon-rumpon ikan dan terumbu karang di laut. Padahal, keduanya menjadi rumah bagi ikan tangkapan nelayan setempat.
“Dulu hanya pakai dayung dekat pantai sudah dapat ikan. Sekarang pakai perahu dengan mesin sampai tengah pun belum tentu dapat,” lanjutnya.
Warga menggugat
Munculnya dampak kesehatan, lingkungan, dan sosial akibat penggunaan batu bara oleh PLTU Celukan Bawang menjadi perhatian organisasi lingkungan, Greenpeace Indonesia.
Dalam laporannya April lalu, Greenpeace Indonesia menyatakan PLTU Celukan Bawang telah mengakibatkan pemiskinan akibat hilangnya mata pencaharian.
Penggunaan batu bara juga telah merusak lingkungan oleh limbah sisa pembakaran dan mengganggu kesehatan warga, terutama pernapasan.
Karena itu, perwakilan warga yaitu Ketut Mangku Wijana, Baidi Suparlan, I Putu Gede Astawa, dan Greenpeace Indonesia menggugat izin pembangunan PLTU Celukan Bawang tahap II dengan kapasitas total 660 MW.
Maret lalu, gugatan terhadap Gubernur Bali agar membatalkan izin pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II mulai disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar. Tapi hingga kini belum ada putusan.
“Selain berpotensi merusak lingkungan, pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II juga tidak melibatkan warga dalam perencanaan pembangunannya,” kata Dewa Putu Adnyana, Direktur LBH Bali sebagai kuasa hukum para penggugat.
Masih wajar
Namun, kuasa hukum PLTU Celukan Bawang, Nurbaeni Janah, mengatakan tidak tahu menahu tentang dampak terhadap warga.
“Tidak tahu. Saya tidak tahu kalau ada laporan tentang dampak operasi PLTU pada warga,” katanya.
Adapun Kuasa Hukum Gubernur Bali, Ketut Ngastawa mengatakan pembangunan PLTU Celukan Bawang sudah melalui proses uji Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
“Sudah ada kajian yang melibatkan ahli,” katanya.
Kepala Humas PLTU Celukan Bawang I Putu Singyen tidak mengangkat telepon ketika dihubungi beberapa kali, demikian juga pesan singkat untuk wawancara tidak dibalas.
Pejabat sementara Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Buleleng, I Made Gelgel mengatakan laporan-laporan warga perlu dicek lebih lanjut, seperti siapa saja yang terkena dampak dan bagaimana detilnya.
Menurutnya, pemantauan terakhir oleh BLH Buleleng sekitar tiga minggu lalu, kualitas air dekat PLTU Celukan Bawang masih wajar, baik dari sisi suhu maupun keasamannya.
“Pihak PLTU (Celukan Bawang) juga rutin mengirim laporan tiap enam bulan sekali. Sejauh ini semua masih wajar,” jelasnya.