Warga Rambah Taman Nasional Kutai
2016.05.26
Balikpapan

Sekitar 10.000 hektar kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) yang juga menjadi pusat habitat orangutan dan satwa liar lain di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, telah beralih fungsi karena dirambah secara illegal untuk permukiman penduduk, lahan pertanian dan perkebunan.
“Total area yang diklaim sepihak kepemilikan oleh warga seluas 17.000 hektar,” ujar Kepala Badan Pengelola TNK, Nurpatria Kurniawan, kepada BeritaBenar, Selasa, 24 Mei 2016.
Menurutnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengakomodir sebagian klaim warga dengan menerbitkan enclave 7.018 hektar pada akhir tahun 2015 sebagai area pemanfaatan lain.
Kawasan yang telah beralih fungsi untuk dimanfaatkan warga itu meliputi sepanjang jalan raya TNK, Dusun Sangkima Lama, Sangkima Baru, wilayah Pertamina, PT Pupuk Kaltim Bontang hingga Bandara Kutai Timur.
Sedangkan, kawasan 10 ribu hektar yang dirambah meliputi Dusun Sangata Selatan, Sangkima Lama, Suka Rahmat dan Kandolo, ujar Nurpatria yang menambahkan area TNK kini tersisa seluas 192.709 hektare, tersebar di Kutai Timur dan Bontang.
Kepala Desa Sangkima Lama, Murdoko, mengatakan bahwa warga berhak mendapat kepastian soal kepemilikan tanah di TNK. “Kami sudah lama bermukim di wilayah ini hingga terbentuk dusun-dusun baru,” tegasnya saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Murdoko menegaskan warga tetap menuntut 10.000 hektar lagi. Lahan itu, jelasnya, adalah area garapan berupa perkebunan sawit, karet hingga ladang pertanian yang terletak di Kecamatan Teluk Pandan dan Sangata Selatan.
“Area ini sudah diverifikasi pemerintah daerah untuk diajukan jadi enclave warga,” paparnya, seraya berharap pemerintah segera mengabulkan tuntutan warganya.
Pemerintak tidak kompak
Asisten II Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Pemkab), Rupiahsyah mengatakan pihaknya telah menyurati KLHK terkait permintaan enclave lahan 10.000 hektar karena memang sudah beralih fungsi.
“Seluruhnya sudah menjadi pemukiman dan fasilitas umum warga,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Nurpatria meminta Pemkab Kutai Timur mensosialisasi kepada warganya untuk tidak merambah kawasan TNK karena pihaknya kesulitan menertibkan perambahan tanpa dukungan pemerintah daerah.
Tetapi, Rupiansyah menegaskan bahwa pihaknya tak punya kewenangan melakukan penindakan karena area konservasi TNK adalah kewenangan pemerintah pusat.
“Badan Pengelola TNK punya kewenangan dalam penindakan dengan koordinasi instansi terkait,” ujarnya. “Kami tidak punya kewenangan satu meter pun di area TNK. Semestinya Badan Pengelola TNK yang mengambil tindakan.”
Mengomentari saling lepas tangan Pemda dan pihak Badan Pengelola TNK, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen, mengatakan perambahan TNK terkesan seperti ada pembiaran karena pemerintah tidak kompak.
“Tidak ada sinergi antara keduanya dalam mengatasi masalah perambahan TNK,” ujarnya.
Badan Pengelola TNK, ujar Roziqin, seharusnya tegas dalam penindakan perambahan melibatkan aparat penegak hukum. Tapi hingga kini tak ada tindakan hukum apa pun terhadap para pelaku perambahan hutan TNK.
Habitat orangutan
Sebagai pusat habitat orangutan, taman nasional terbesar di Kaltim itu mencatat adanya 1.511 orangutan yang tersebar di tiga lokasi penelitian di Sangkima, Mentoko, dan Menawang.
“Tiga lokasi ini yang masih terjaga dari perambahan dan perburuan liar. Orangutan berkumpul di lokasi ini untuk menghindari perkampungan manusia,” ujar Nurpatria.
Karena tingginya potensi ancaman terhadap orangutan membuat Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) enggan melepasliarkan orangutan ke TNK.
BOSF beranggapan kelangsungan hidup orangutan terancam dari praktik perburuan liar, minimnya ketersediaan pakan hingga ketatnya persaingan antar orangutan liar lain.
“TNK sudah banyak orangutan liar dan kami khawatir orangutan BOSF sulit bersaing dalam penguasaan wilayahnya,” papar Humas BOSF, Nico Hermanu.
Dia menambahkan BOSF menyewa hutan Kehje Sewen di Kutai Kertanegara, seluas 86.400 hektar untuk kawasan pelepasliaran orangutan. Kini, populasi orangutan Kehje Sewen sudah mencapai 41 individu hasil pelepas liaran BOSF.
“Kami anggap hutan Kehje Sewen masih asri dan terjaga. Kami juga tempatkan tim monitoring untuk mengawasi keberadaan orangutan di sana,” pungkas Nico.